Dilema PKS, Dilema KUASA



KEMARIN, petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) datang menemui Presiden Joko Widodo. Meskipun mereka menolak sinyal tentang merapatnya partai dakwah itu ke pemerintah, opini publik perlahan terbentuk. Di akar rumput, sedang ada kegamangan tentang sikap itu. Padahal, di kalangan elite politik, beberapa sinyal sudah terbaca sejak pilpres berakhir. Apakah gerangan yang sedang terjadi?

***

ANAK muda itu kini lebih banyak diam. Padahal, beberapa waktu lalu, ia sangat aktif di dunia maya. Setiap kali ada celah yang mengabarkan tentang keburukan pemerintah, pasti akan segera dibagikannya. Ia tak menyisakan sedikitpun apresiasi. Tak ada sedikitpun harapan akan pemerintahan yang lebih baik. Hari-harinya adalah menebar kabar yang tak mengenakkan terhadap rezim.

Anak muda itu adalah salah satu simpatisan partai berlabel Islam. Sejak sebelum kampanye presiden, ia mendedikasikan dirinya sebagai seorang pejuang di dunia maya. Ia produktif dalam mencari celah dan kesalahan. Dianggapnya semua yang dilakukannya adalah bagian dari dakwah. “Umat butuh pandangan kritis. Saya akan menjadi salah satu pengisinya,” katanya.

Politik adalah seni untuk mengelola berbagai kemungkinan. Dalam politik, kelenturan adalah bagian dari keahlian yang diasah seorang politisi. Segala hal bisa dinegosiasikan. Sikap yang kaku dan keras, bisa menjadi simbol ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang terus berubah. Tanpa sikap adaptif, seseorang bisa ditelan oleh mesin besar perubahan.

Sikap pengurus pusat itu tentu saja memuat anak muda itu terhenyak. Ia membayangkan sikapnya yang meneruskan segala cuitan dari Fahri Hamzah, salah satu petinggi partai yang paling berani. Ia mengingat kalimat benci yang disuarakannya di berbagai media sosial. Ia juga mengingat berbagai kabar yang terlanjur disebar. Lantas, apakah semua itu akan berubah haluan?

Di depannya, saya tak banyak berkomentar. Sejak beberapa bulan lalu, saya sudah mendengar rumor tentang apa yang terjadi di tubuh partai ini. Seorang sahabat yang menjadi tenaga ahli partai dakwah itu di DPR RI telah menjelaskan peta politiknya. Ia menyebutkan tentang adanya keinginan dari banyak orang untuk melakukan reposisi gerakan.

Sikap yang terlalu membela mati-matian rezim Koalisi Merah Putih (KMP) ditafsir bukan sikap yang tepat. Sikap itu hanya menyulitkan partai dan banyak kader yang sedang meniti buih di atas samudera politik. Sementara sikap membenci habis-habisan pada pemerintah hanya akan membuat partai itu mengempis. Asumsinya kalau kinerja pemerintah kian populis dan menyentuh banyak orang, suara pendukung pemerintah akan membesar, dan suara partai itu akan mengempis.

Maka, jalan tengah harusnya dihamparkan. Partai harus merapat ke pemerintah, demi menjaga kelangsungan gerak semua kader di level bawah, yang berprofesi sebagai pengusaha, rekanan pemerintah, pejabat eleson dua, pejabat daerah, hingga sejumlah walikota, bupati dan gubernur. Sikap membenci semua yang dilakukan pemerintah bisa kontra-produktif dengan tindakan kader yang sedang melakukan sesuatu.

Demi untuk menjaga marwah partai yang bisa dituduh oportunis, istilah “oposisi loyal” dikemukakan. Tujuannya adalah tetap menegaskan posisi yang berseberengan dengan pemerintah, namun tetap mendukung kebijakan yang pro-rakyat. Sikap ini jelas abu-abu dan terkesan membingungkan.

Harusnya, yang dibangun adalah sejumlah kriteria tentang politik yang lebih menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat, lalu menjadikan itu sebagai lensa untuk mengamati dunia politik. Dan sikap oposisi yang paling berani adalah keberanian untuk berdiri di luar pemerintah, namun menjadi partner yang cerdas, tak sekadar membebek, tapi konsisten menawarkan nilai dan jalan keluar paling baik untuk memastikan pemerintah sedang memihak rakyat.

Kita juga bisa melihatnya dari sisi yang pragmatis. Seorang teman yang menjadi kontraktor malah dengan tenangnya bercerita banyak hal. Sejak partai itu memilih sikap oposisi, semua proyek disambar oleh pihak lain. Yang paling menyedihkan adalah beberapa kementerian yang selama ini proyek-proyeknya dikapling kader partai itu tiba-tiba saja menutup pintu untuk mereka. Pemain baru berdatangan. Banyak yang terpental. “Partai kan dibentuk untuk memberikan akses bagi kader. Apa kita sanggup puasa selama lima tahun?” katanya.

***

WAJAH politik kita hanya hiruk-pikuk saat momen pemilu legislatif. Saat itu, semua ideologi, citra, serta cita-cita partai dilafalkan semua kader dengan bibir bergetar. Setiap kader mengujungi rumah-rumah demi memberikan pencerahan, lalu meniupkan berbagai imaji tentang Indonesia yang lebih baik.

Di ajang pemiihan presiden, politik kembali hiruk-pikuk. Semuanya menawarkan janji-janji perubahan. Saat seorang kandidat kalah, maka saat itu juga peta langsung berubah. Pihak yang kalah tak bisa mengelola energi kekalahan itu menjadi masukan yang konstruktif sebagai amunisi untuk pemilihan mendatang. Yang muncul di kubu yang kalah adalah kesunyian, ketiadaan energi kreatif, lalu berubah menjadi sikap nyinyir.

Yah, yang muncul adalah sikap nyinyir. Sikap ini bisa diterjemahkan sebagai sikap yang selalu mencari celah dan menciptakan keburuan atas sesuatu. Tentu saja, Indonesia butuh sikap kritis yang fokus pada substansi serta gagasan-gagasan. Tapi kenyinyiran hanyalah tanda kekanak-kanakan. Yang hendak dihadirkan bukan lagi sikap kritis, tapi sikap olok-olok dan benci yang bisa menelan energi besar untuk selalu menyebarkannya ke mana-mana.

Dunia politik kita serupa piramida. Di lapis bawah, terdapat banyak orang yang menjaga marwah dan ideologi perjuangan. Wacana tentang perjuangan dan ideologi terdengar dengan nyaring di lapis bawah, lapisnya mereka yang masih bening dan jernih melihat politik sebagai arena untuk membumikan nurani publik. Di berbagai ajang kaderisasi, politik menjadi mata air untuk mengalirkan visi-misi serta menjadi ruh yang menggerakkan semua hal. Mereka yang berada di bawah, akan merasakan betul betapa partai politik memiliki niat luhur.

Di lapis bawah, semangat perubahan dan menjebol zaman itu terasa sedemikian kencang. Seorang kader rela melakukan apapun demi membumikan spirit dan ideologi pergerakan. Bahkan setiap kader berani menyandang pedang keadilan demi mengadili pemerintah ataupun oknum yang dianggapnya telah menyimpang dari garis perjuangan partai.

TAPI di level atas, semangat itu tak begitu terasa. Yang ada adalah semangat pragmatisme, serta sikap yang selalu mencari celah-celah nyaman. Akan sulit mencari konsistensi di tengah iklim politik yang serba tak pasti. Demi mufakat, semua politisi melakukan musyawarah yag lalu bermuara pada kompromi dan sikap tahu sama tahu. Lobi-lobi dan negosiasi menjadi sesuatu yang lazim demi memuluskan banyak hal, yang semuanya bermuara pada tercukupinya kebutuhan ‘sandang-pangan-papan’ dari beberapa pihak yang terlibat di dalamnya.

Politik adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Politik adalah soal keberanian untuk memilih antara aspek “keadilan” ataukah aspek “kesejahteraan,” dua hal yang sejak lama saling tarik-menarik di tubuh partai itu. Di level pusat, semua politisi bisa memiliki perilaku yang sama, apapun ideologinya. Dan pada akhirnya, ideologi hanya menjadi materi di foum pengkaderan, tanpa mewujud dalam sikap dan tindakan.

“Ah, saya tak bisa berkata-kata. Saya memilih menunggu sikap pengurus pusat,” demikian kata sahabat yang dahulu aktif di media sosial itu. Saya bisa merasakan ada getir dalam kalimat-kalimatnya. Entah.

22 Desember 2015

5 komentar:

Pakdhe Sam mengatakan...

Politik adalah tentang siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana...
Sebuah kalimat yang mampu mengambarkan esensi politik kita.

Unknown mengatakan...

itulah kenapa Soe Hok Gie bilang, politik itu barang yg paling kotor. Dalam politik selalu moral dikesampingkan ut meraih pencapaian tertentu dan mempertahankan kuasa.

Yusran Darmawan mengatakan...

Iya. itu definisi politik menurut Harold Lasswell.

Yusran Darmawan mengatakan...

Boleh jadi demikian. Tapi saya selalu melihat politik bisa membawa harapan, yakni ketika dikelola oleh orang2 baik.

Yusuf Basayev mengatakan...

Semangat pragmatisme memang bukan ciri gerakan islam, sejak dahulu Rasulullah bersama sahabat bergerak dengan strategi yang terprinsip, bukan terpragmatik. :) ijin nimbrung akhi

Posting Komentar