Sebaris Tanya dari Rerimbunan Hutan Terbakar


ular yang terbakar saat melindungi telur-telurnya

ASAP-asap tengah memenuhi banyak kota dan kampung-kampung. Alarm bencana tengah memenuhi langit-langit kita. Ketakutan tentang dampak bencana menyebar bagai virus. Ada pula kekhawatiran tentang masa depan generasi yang terpapar asap. Kota dan kampung kita dikepung bahaya yang bermula dari hasrat manusia untuk meraup materi.

Di satu media, saya tercenung menyaksikan respon para hewan yang berumah di hutan itu. Di kalimantan, seekor ular terpanggang sembari melilit semua telur-telurnya. Mungkin ular itu bisa menyelamatkan diri. Tapi ia memilih bersama telurnya. Ia adalah ibu yang ingin melindungi anak-anaknya hingga titik darah penghabisan. Orang Utan meninggalkan hutan lalu memasuki kampung dalam keadaan sekarat. Di Sumatera, gajah-gajah mengamuk dan berteriak-teriak saat arena jelajahnya menjadi api yang menyala-nyala.

Di manakah kita meletakkan nurani?

Dahulu, saat tsunami menerjang Aceh, tak satupun bangkai hewan yang pernah ditemukan. Para hewan memiliki instink untuk mendeteksi datangnya bencana, sehingga mereka mengungsi lebih dahulu. Para hewan itu membuktikan dirinya lebih cerdas dari manusia dalam hal membaca tanda-tanda dan getar semesta. Mereka membaca alam lalu bergerak secara cepat.

Tapi di hutan-hutan yang terbakar itu, para hewan hanya bisa meratap. Alam semesta tak lagi mengirimkan sinyal dan tanda-tanda. Alam semesta tak bermaksud alpa mengirimkan sinyal bahaya, sebab bahaya itu muncul dari keangkuhan manusia.

Bencana itu datang dari manusia, mahluk yang menganggap dirinya paling mulia dan tinggi budi pekertinya. Manusia mencemari alam dengan api-api yang lalu menghanguskan. Manusia telah mengabaikan hak-hak hidup tumbuhan di hutan-hutan, hak hidup berbagai jenis serangga, hak hidup semua jamur, tumbuhan merambat, pakis, bunga-bunga, serta daun-daun hijau. Manusia merampas hak hidup semua binatang yang mendiami hutan sebagai rumah untuk tempat bernaung.

Barangkali hewan-hewan itu ingin menerjang sekeras-kerasnya demi menyatakan sikap atas rumahnya yang direnggut secara paksa oleh bala tentara api buatan manusia. Mereka ingin menyatakan sikap pada manusia yang dengan seenaknya telah menyingkirkan hidup mereka. Tapi mereka tak bisa berkata. Kalaupun mereka bisa berkata, mereka tak pernah dianggap. Manusia merasa benar. Manusia merasa memiliki kitab suci yang isinya kebenaran. Manusia merasa punya nalar dan logis. Hewan tak punya kebenaran. Mereka cuma babi, sapi, monyet, dan ular berbisa.

Yang tersaji di hutan-hutan kita itu adalah sebuah hasrat manusia untuk meninggikan derajat kaya raya, lalu mengabaikan hak-hak manusia dan mahluk hidup lainnya. Yang muncul di sana, keinginan akumulasi kapital yang lalu merobek-robek nurani kemanusiaan manusia lainnya. Yang muncul di sana bukan lagi hasrat manusia, namun hasrat yang jauh lebih rendah dari manusia. Apakah gerangan yang lebih rendah itu? Yang pasti bukan hewan. Sebab hewan tak pernah membakar hutan. Hewan melestarikan hutan dalam mekanisme rantai kehidupan. Hewan taat pada asas circle of life di mana mereka adalah salah satu unsur di dalamnya.

Saya sungguh tercenung saat melihat hewan-hewan itu yang hanya bisa pasrah menerima nasib. Manusia bisa meneriakkan bantuan ke mana-mana. Manusia bisa menggunakan berbagai kanal media sosial untuk meminta tolong ke banyak pihak. Tapi hewan tak berdaya. Hewan dan tumbuhan hanya bisa pasrah menerima nasib terbakar atau tersingkir dari hutan. Mungkinkah mereka sedang mengadu ke Yang Maha mencipta tentang tindakan manusia yang membakar ruang hidup demi lembar demi lembar rupiah dan dollar yang dianggap meninggikan derajat manusia?

Saya terkenang kalimat Gandhi, “Alam semesta amat cukup untuk memberi makan manusia, tapi tidak akan pernah cukup untuk keserakahan kita.” Jika saja manusia tidak menjadikan uang sebagai standar kenyamanan, barangkali hutan-hutan kita akan tetap perawan. Barangkali lingkungan kita akan selalu hijau dan menyediakan amat banyak oksigen untuk mengaliri napas kita. Barangkali dunia akan selalu segar.

Di hutan-hutan itu, terselip sebaris tanya yang menyeruak dari rerimbunan pohon yang terbakar. “Masih beranikah kita menyebut derajat manusia lebih tinggi dari hewan-hewan di hutan sana?”


23 Oktober 2015


Catatan:

Berita tentang ular terbakar bersama telurnya bisa dibaca DI SINI.



9 komentar:

Unknown mengatakan...

Menyentuh dalam

Arinta Setia Sari mengatakan...

Sedih bacanya :(
Kasihan ya allah hewan2 yg ada di hutan akibat kebakaran dan asap yg merajalela...

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih beb...

Yusran Darmawan mengatakan...

mudah2an segera ada jalan terang utk bangsa ini.

PESONA INDONESIA mengatakan...

menyentuh dalam sangat,

PESONA INDONESIA mengatakan...

ya Allah selamatkn lah buat mrk yg susah krn api

Unknown mengatakan...

Mntap.. izin share ya bg....

Unknown mengatakan...

Luar biasa menyentuhh... *Terharu

Greenpack mengatakan...

Sangat miris sekali jika melihat keadaan lingkungan sekitar kita saat ini.
Terjadinya pencemaran tidak hanya terjadi di daratan saja, tetapi juga terjadi di lautan. Jika bukan kita yang merubah perilaku kita, siapa lagi? Dukung Greenpack sebagai kemasan makanan ramah lingkungan. Informasi lebih lanjut tentang Greenpack dapat Anda temukan di sini http://www.greenpack.co.id

Posting Komentar