Revolusi yang Bermula dari Kata




BARANGKALI tak semua orang Indonesia paham tentang jejak-jejak sejarah peradaban di Maluku. Tapi di mata Daron Acemoglu, salah satu ekonom Amerika Serikat yang paling berpengaruh, Maluku menyajikan satu sketsa buram tentang bagaimana satu wilayah yang dikenal kaya-raya, namun berubah menjadi miskin akibat datangnya bangsa Eropa.

Dalam buku Why Nations Fail, yang ditulis pada tahun 2013, Acemoglu dan James A Robinson menjelaskan satu bab tentang kejayaan Maluku yang kemudian porak-poranda akibat kedatangan bangsa asing. Kejayaan itu adalah situasi ketika komoditas alam di Maluku adalah komoditas yang paling laku di pasaran internasional. Sayang, kegagalan untuk membangun satu sistem politik yang inklusif, Maluku serupa bola yang diperebutkan pedagang asing, hingga akhirnya menyisakan kesengsaraan dan kepedihan bagi warga yang dilanda kemiskinan.

Acemoglu memaparkan dengan sangat berani bahwa institusi politik-ekonomi suatu negaralah yang menjadi penentu. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. 

Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal. Salah satu contoh yang dikemukakannya adalah fenomena Maluku pada abad ke-17 yang berlimpah sumberdaya, namun gagal mengelola kedatangan pengaruh bangsa lain, hingga akhirnya menyisakan kemiskinan dan keterbelakangan penduduknya.

Uraian tentang Maluku ini tentu saja tidaklah baru. Yang mengejutkan adalah Acemoglu bergerak menjauh dari eksplanasi dalam sejarah kita yang hanya fokus pada tapak-tapak historis kedatangan bangsa lain. Ia seolah menampar keengganan kita untuk menelusuri sejarah kita demi menemukan berbagai pejelasan atas asumsi-asumsi ilmiah yang kita bangun. Ia menelusuri sejarah demi menemukan berbagai mutiara dan hikmah atas fenomena ekonomi yang disaksikannya di masa kini.

Tentu saja, Acemoglu bukan seorang sejarawan. Ia adalah profesor ilmu ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang memenangkan penghargaan John Bates Clark Medal sebagai ekonom yang memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran dan ilmu ekonomi. 

Ia seolah menunjukkan pada kita smeua bahwa disiplin ilmu ekonomi tidaklah sekaku apa yang dianggap banyak orang di tanah air tentang ilmu ini. Ia menyerap sejarah, sosiologi, antropologi, serta ilmu politik demi menjelaskan banyak hal menarik dalam ilmu ekonomi, khususnya menyangkut ekonomi kelembagaan.

Banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu senantiasa berdiri sendiri, seolah tak ada kaitan dengan ilmu lain. Pemikiran ini jelas dipengaruhi oleh perspektif Cartesin-Newtonian, perspektif paling dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan. 

Di tanah air kita, seseorang yang belajar di fakultas ilmu sosial tak pernah menimba ilmu pada ilmu budaya. Kampus-kampus kita terbagi dalam sekat-sekat jurusan dan program studi. Yang kemudian terjadi adalah tiadanya ruag-ruang dialog antar disiplin ilmu.

Masing-masing ilmu laksana ‘katak dalam tempurung.’ Mahasiswa diperkenalkan dengan disiplin yang sedemikian kaku, tanpa mengasah pisau analisis di bidang lain. Jika kondisi ini terus dipertahankan, kita tak bisa berharap banyak akan lahirnya generasi sekelas Acemoglu di tanah air kita. Karakter ilmuwan yang dilahirkan adalah mereka yang terbiasa berpikir dalam kotak sempit, tanpa melihat secara holistik tentang realitas yang saling jalin-menjalin.

Pada diri Acemoglu, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari. Pertama, bagaimana memahami satu kenyataan secara mendalam, lalu mengangkat kenyataan itu ke permukaan sehingga menginspirasi dunia penelitian. Kedua, pemikiran yang tak sekadar puas dan berkutat hanya pada satu disiplin ilmu, namun senantiasa membangun pertautan-pertautan pemikiran. Ketiga, bagaimana membangun reputasi dan karakter sebagai seorang pemikir yang menulis gagasan-gagasan hebat, dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami oleh orang paham.

Kekuatannya terletak pada tulisannya yang sederhana, namun penuh perenungan mendalam. Kekuatannya terlihat pada produktifitasnya dalam menulis dan menganalisis. Suri tauladan yang ada pada diri Acemoglu adalah kemampuan menyatukan beragam realitas, lalu melihatnya secara utuh untuk diperas maknanya, menemukan benang merah dan saling hubung, lalu menjadi cara untuk memahami kenyataan.

Menumbuhkan Tradisi

Acemoglu tak sendirian. Di berbagai ranah pengetahuan, terdapat banyak akademisi ataupun peneliti asing yang mengkaji Indonesia. Kerap kali mereka disebut sebagai Indonesianis karena penguasannya pada banyak aspek tentang Indonesia. 

Hebatnya, banyak di antara mereka yang kemudian mendunia karena mengembangkan gagasan-gagasan tentang Indonesia. Barangkali, yang membedakan mereka dengan akademisi ataupun peneliti kita adalah kemampuan untuk menuliskan gagasan lalu mempublikasikannya secara luas.

Harusnya, ada banyak intelektual ataupun cendekiawan kita yang bisa mengolah gagasan-gagasan baru yang digali dari kekayaan sejarah dan dinamika sosial kita. Harusnya, sosok seperti Acemoglu lahir di tengah-tengah masyarakat kita demi menemukan berbagai insight teoritik di dalam masyarakat kita yang kemudian memperkuat sendi ilmu pengetahuan.

Sejatinya, banyak pihak yang mehadari bahwa ada virus besar yang tengah menggerogoti tubuh bangsa kita. Virus itu adalah kemampuan menulis dan menyebarkan gagasan. Padahal, hampir semua akademisi paham pada kalimat: “Jika satu peluru bisa menembus satu kepala, maka satu tulisan bisa menembus berjuta-juta kepala sekaligus.” 

Sejarah telah lama mencatat bahwa setiap tulisan adalah senjata untuk perubahan sosial. Hanya saja, banyak di antara mereka yang kerap kali terjerat dalam belantara kata dan gagasan sehingga tak menghasilkan satu pun publikasi.

Belajar dari Acemoglu, ada beberapa persoalan mendasar yang melanda para cendekiawan kita. Pertama, keterbatasan dalam menulis hal-hal sederhana, yang kemudian menjadi dasar bagi penulisan yang lebih rumit. Kedua, cara berpikir yang hanya melihat persoalan dari satu titik, tanpa menelaahnya dari berbagai titik. Inilah dua hal yang harus sesegera mungkin dipecahkan demi menghasilkan para intelektual organik yang mencerahkan publik dan menjadi obor bagi perubahan.

***

ARTIKEL singkat ini hendak mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi writer’s block atau hambatan di kalangan akademisi ataupun peneliti kita. Pernah, saya menjadi fasilitator untuk memandu diskusi kepenulisan bagi para akademisi di Mataram dan Ambon. Saat sesi sharing, saya bertanya pada beberapa dosen senior, mengapa mereka tak banyak melahirkan karya-karya akademik dengan produktivitas sebagaimana Acemoglu.

Saya mendapatkan satu kenyataan menarik. Bahwa banyak di antara mereka yang merasa kesulitan ketika hendak mulai menulis. Padahal, pekerjaan mereka senantiasa terkait dengan teks, serta bagaimana memahami dunia teks. Jika saja mereka pun mengalami kesulitan, bagaimanakah halnya dengan masyarakat kebanyakan yang lain?

Tadinya saya beranggapan bahwa jangan-jangan, mereka kesulitan ketika hendak membuat tulisan ilmiah. Ternyata tidak juga. Jangankan menulis ilmiah, menulis secara lepas saja mereka kesulitan. Para akademisi yang saya temui ini merasa kesulitan untuk menggerakkan pena dan menghasilkan banyak tulisan, baik untuk jurnal ilmiah, maupun untuk konsumsi media massa.

Sejak dahulu, saya beranggapan bahwa menulis adalah soal bagaimana mengalirkan energi secara lepas dan dikanalisasi ke dalam kata. Saya tak hendak membedakan antara tulisan ilmiah dan tulisan populer. Bagi saya, keduanya hanyalah style atau bentuk yang berbeda. Tapi ‘sumsum’-nya sama, yakni bagaimana melepaskan gagasan ataupun mengalirkan energi ke dalam teks.

Problem besar yang kerap dihadapi lebih mengarah ke aspek psikologis, yakni kekhawatiran-kekhawatiran tentang tulisan yang akan lahir kelak. Banyak orang yang memelihara kekhawatiran sebelum aktivitas menuis dimulai. Sebagai akademisi, mereka takut kalau-kalau tulisannya dianggap jelek oleh orang lain, dianggap basi, dianggap tidak paham perkembangan, ataupun dianggap tidak standar.

Padahal, kodrat seorang akademisi ataupun ilmuwan adalah belajar dari semua kesalahan. Ilmu pengetahuan berkembang pesat melalui trial and error alias coba dan gagal. Tanpa pernah mengalami kesalahan, ilmu tak akan bisa menemukan bentuknya seperti sekarang. Lantas, mengapa mereka sampai takut melakukan kesalahan?

Barangkali, pangkal persoalan ada di lembaga pendidikan kita. Sejak awal, kita selalu diajarkan untuk takut melakukan kesalahan. Kita tak belajar untuk menulis secara lepas. Kita tak dibiasakan untuk menulis catatan harian. Di sekolah-sekolah, menulis diajarkan sebagai tugas yang lalu diberi penilaian benar dan salah. Menulis dilatih dengan rumus-rumus yang ketat sehingga melahirkan kekhawatiran kalau-kalau bertindak tidak sesuai dengan aturan kepenulisan.

Harusnya, menulis dikembalikan pada kodratnya sebagai medium atau cara untuk menyampaikan gagasan. Yang dinilai bukan soal bagus-tidaknya, atau benar-salahnya, melainkan sejauh mana pesan yang disampaikan bisa diterima publik. Kalau publik bisa memahami pesannya, maka tujuan sang penulis telah tercapai. Kalau tulisan itu bisa menggerakkan orang lain, maka sang penulis layak mendapat acungan jempol. That’s it.

Tentu saja, untuk bisa menembus media massa dan jurnal-jurnal ilmiah, ada tata cara yang harus dipatuhi. Namun, persyaratan itu akan mudah dipenuhi kalau seseorang punya passion kuat untuk menulis dan berbagi. Inilah yang harus ditemukan oleh siapapun yang hendak meniti di jalan aksara.

Makanya, kelas-kelas kepenulisan harusnya diisi dengan bagaimana menumbuhkan passion kuat untuk berbagi pengalaman melalui tulisan. Yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat tulisan yang benar, melainkan bagaimana memberanikan diri untuk menulis sesuatu, serta membuka pikiran untuk selalu belajar, lalu membiasakan diri untuk selalu produktif.

***

HAL lain yang kerap mencuat adalah seringkali para cendekiawan kita berbicara dalam bahasa ilmiah yang sukar dipahami oleh rakyat biasa. Seringkali, gagasan yang dikemukakan terlampau jlimet sehingga tidak bisa mencerahkan banyak orang. Rupanya, ada saja yang beranggapan bahwa semakin rumit gagasan, maka semakin hebatlah idenya. Padahal, tulisan yang aik adalah yang mudah dipahami dan isinya mencerahkan, sebagaimana catatan-catatan Acemoglu.

Sejak era pencerahan dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai obor terang pemandu peradaban, sains menjadi pembatas antara satu manusia dan manusia lainnya. Banyak akademisi maupun ilmuwan yang memosisikan dirinya eksklusif sehingga membangun jarak dengan manusia lainnya. Bahasa ilmu pengetahuan dianggap lebih tinggi dari bahasa awam. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang berbicara bak dewa dengan beragam istilah. Sementara rakyat biasa berbicara dengan bahasa jelata yang bisa dipahami siapapun.

Yang terjadi kemudian, kata kehilangan makna. Kalimat menjadi kehilangan substansi dan karakter. Di Indonesia, tulisan yang paling memusingkan adalah tulisan para akademisi yang kerap menggunakan beragam istilah. Tulisan para generasi kampus kita seakan kehilangan sentuhan emosional yang kuat. Bahasa menjadi sedemikian kaku dan monoton, sebab bersembunyi di balik berbagai istilah-istilah rumit yang tak semua orang bisa memahaminya.

Yang terjadi kemudian adalah adanya kesenjangan yang semakin lebar antara lapis cendekia dan masyarakat awam. Tugas para cendekia adalah seyogyanya menyediakan obor pencerahan yang bisa menuntun publik untuk memahami persoalan dengan akal sehat yang jernih.

Yang seharusnya dilakukan adalah menjadikan kegiatan menulis sebagai upaya untuk menyerap dan melepas energi. Kegiatan menulis akademik seyogyanya berpatokan pada tiga hal. Pertama, menulislah secara bebas. Tak usah peduli dengan berbagai rumus dan tata bahasa. Setiap orang punya kisah ataupun gagasan yang layak untuk dibagikan. Tak semua orang ditakdirkan untuk menjadi penulis besar ataupun menjadi sosok hebat dalam menulis. Makanya, tak perlu ada jurus yang sama dalam menulis. Semua orang bisa menemukan jalan kepenulsian sendiri-sendiri yang paling membuatnya nyaman.

Kedua, jadikan menulis sebagai proses yang bertumbuh. Pada hari ini kita menulis gagasan A, yang lalu akan tumbuh melalui nutrisi masukan serta koreksi dari orang lain. Kita akan menyianginya dari semua kritik dan cacian sehingga terus melesat tumbuh besar. Pada akhirnya, kita akan memanen buah dari proses tersebut. Minimal kita mendapatkan

Ketiga, buka hati dan pikiran untuk selalu belajar. Jangan pernah melupakan aktivitas untuk selalu membaca dan belajar dari tulisan-tulisan orang lain. Belajar terbaik dalam hal menulis adalah membaca. Membaca adalah sisi lain dari dunia menulis yang saling memperkuat dan melengkapi. Seorang penulis hebat adalah juga seornag pembaca hebat. Temukan jenis tulisan yang diminati, pelajari gaya dan teknik menulisnya, lalu jadikan itu sebagai inspirasi bagi karya terbaik. Semakin banyak membaca, seseorang akan menemukan sendiri kriteria dan jalan ke arah dunia menulis.

Harusnya semua orang menyadari bahwa setiap tulisan ibarat tanaman yang harus terus dipupuk dan dibesarkan melalui tangan dingin kita. Bahwa ada pula parasit yang kelak akan mengecilkan tanaman itu. Parasit itu seringkali sukses mematikan tanaman menulis seseorang. Namun mereka yang punya passion kuat akan sukses membesarkan tanaman itu, lalu menikmati buah-buah manisnya.

***

KULTUR penulisan terus-menerus berhadapan dengan berbagai tantangan zaman. Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg, maka kerja-kerja kepenulisan tidak lagi dimonopoli oleh para cendekiawan istana. Kegiatan menulis menjadi sesuatu yang open access, semua orang berhak untuk menulis dan mengabarkan pada dunia tentang apa yang terjadi. Era media sosial juga mengubah semuanya. Dahulu, para akademisi dan intelektual menjadi satu-satunya pihak yang mencerahkan publik, kini tak lagi demikian. Seorang warga biasa bisa mengemukakan buah pemikirannya dengan kualitas yang sama baiknya dengan para intelektual.

Namun peran para intelektual tetaplah penting untuk memberikan obor pencerahan bagi publik. Tulisan mereka bisa ditafsir sebagai upaya untuk memberikan advokasi kepada masyarakat dengan cara memberinya kekuatan untuk bergerak. Satu kekeliruan yang kerap melanda para insan kampus adalah anggapan bahwa advokasi adalah tindakan berdemonstrasi dan berdiri tegak untuk menghadapi senjata dari aparat pemerintah. Advokasi dilihat sebagai kegiatan heroik, revolusioner, serta penuh keberanian.

Padahal, melalui tulisan, langkah-langkah advokasi itu bisa dipicu daya ledaknya. Melalui tulisan, orang-orang bisa memberikan panggung bagi masyarakat agar suaranya bisa didengar publik luas. Pada titik ini, kita telah membuka pintu gerbang perubahan dan revolusi yang sejatinya bermula dari kata. Pada titik ini, sebuah tulisan bisa menjadi jendela bagi nurani banyak orang. Sebuah tulisan bisa menjadi nyanyi sunyi yang mengingatkan kita akan begitu banyaknya hal yang terjadi di sana.



Bogor, 30 Agustus 2015

3 komentar:

ahyarros mengatakan...

Sangat mencerahkan bang Yusran. Ulasan yang ringan, ibarat makanan. Tulisan bang Yusran renyah & mudah dikunyah oleh semua pembaca.

Anonim mengatakan...

Ironi,

mutia ohorella mengatakan...

Saya baru kembali dari Maluku Tengah (Tulehu), kampung saya ini sama sekali tak miskin. Tak ada keluhan di sana! Mereka heran ada orang yang makan nasi aking di tempat lain. Waktu melihat gerombolan ikan datang hingga merubah wajah biru laut jadi abu-abu, saya berteriak memanggil nelayan, ia hanya santai menatap sambil membersihkan perahunya.Malam hari banyak orang mengeluarkan dagangan di depan rumah, hiburan perut itu tak lama dipajang, langsung jadi uang! Sapi sapi berjalan tanpa pemilik di pinggir trotoar, merumput bebas di lapangan2, tanpa ada yang mengganggu, apalagi mencuri. Yang ada, mereka terlalu santai jika tak ingin dibilang pemalas. Hari itu bisa makan, bisa sekolah, bisa kelakar dipinggir jalan sudah cukup! Saya tak melihat anak anak muda ke hutan utk belah bohon sagu, Saya tak tahu bagaimana dengan pohon cengkeh dan pala, apakah hanya dikunjungi orang-orang tua saja seperti masjidnya? Saya berkesimpulan, Penduduk kampung saya seperti orang kaya yang tak tau kalau saldonya di Bank menumpuk. Kartu ATM dan buku tabungan hilang, tak mau di urus. Mereka merasa cukup. Tidak tau kalau minyak kayu putih sekarang mahal, sampai orang memilih yg abal-abal. Saya jadi membayangkan, blogger blogger Maluku mau menceritakan kecukupan mereka dan memberi ide utk pengelolaan hasil bumi. Agar kita tak bersandar pada kacamata penulis asing. Acemoglu harus faham bahwa adakalanya ketenangan dan kecukupan dianggap kekayaan bagi satu kelompok masyarakat. Saya khawatir mindset kemiskinan yang dimasukkan dalam fikiran kita akan mengkerdilkan jiwa kita. Just my opinion..

Posting Komentar