Satu Agamis, Satu Komunis



INI kisah tentang dua sahabat. Satu adalah seseorang yang sangat religius dan amat menjaga ibadahnya. Satu lagi adalah seorang komunis yang mengaku percaya Tuhan, tapi tidak percaya agama. Jika hanya melihat dari luar, maka betapa mudahnya untuk men-judge mana orang baik. Setelah berinteraksi dengan keduanya, saya temukan begitu banyak hal berbeda, namun meruntuhkan banyak tembok dalam pikiran saya.

***

DI setiap waktu salat, kulihat sahabat itu berada di shaf terdepan. Setelah itu ia akan mengaji dengan suara pelan. Biasanya, sesuai salat, saya selalu menyempatkan diri untuk berjabat tangan dengannya. Ia hanya sekilas tersenyum, setelah itu kembali melanjutkan ibadah. Saat pertama bertemu dengannya, saya sempat berpikir bahwa jika tolok ukur surga dan neraka terletak pada kesalehan, barangkali sahabat ini akan menjadi orang pertama masuk surga.

Bagi saya, memilih karakter ibarat memilih satu kue di antara berbagai jenis pilihan kue. Sahabat itu memilih karakter sebagai seseorang yang beriman. Ia menjadikan itu sebagai citra diri. Bahkan ia pun bergaul dengan mereka yang memiliki karakter yang sama. Ia memperbanyak ibadah demi surga yang dibayangkannya.

Bahkan di bulan Ramadhan, ia melipatgandakan semua ibadahnya. Mengapa? Sebab ia berkeyakinan kalau pahala akan berlipat ganda. Malah ia pernah menjelaskan pada saya bahwa pada 10 malam terakhir Ramadhan, ibadah akan dinilai sebanyak 700 kali lipat. Betapa dahsyatnya pahala yang akan didapatkannya.

Yang saya lihat, ia tak punya banyak sahabat. Ia seolah tak mau bergaul dengan banyak orang. Ia tipe yang beribadah sendirian, dan tak bersedia untuk menghabiskan waktu atas sesuatu yang dianggapnya tak seberapa penting. Ia lebih banyak di mushalla, atau di tengah-tengah komunitas para ustad. Beberapa kali bertemu dengannya, ia selalu memberikan kutipan-kutipan ayat. Biasanya, saya hanya mendengarkan saja, tanpa niat untuk bertanya mengapa pesan itu selalu diulang-ulang kepada saya. Jangan-jangan saya dianggapnya seorang pendosa. Entah.

Kadang-kadang ia ikut berdemonstrasi sambil membakar bendera Amerika dan Israel. Katanya, dua negara itu telah menghadirkan banyak nestapa atas dunia. Ia menyebut kata laknat berulang-ulang. Padahal, saya tahu persis kalau dirinya tak mengenal satupun warga Amerika dan Israel. Yang diketahuinya hanyalah gambar-gambar korban perang di Timur Tengah. Katanya, semua itu akibat ulah Amerika.

Setiap kali melihatnya bersama komunitasnya, saya berpikir bahwa mungkin dirinya sedang menjaga kemurnian ahlaknya. Tentunya itu bagus baginya. Minimal ia tak tercemar dengan pergaulan yang suatu saat bisa menjerumuskannya. Ia bisa tetap suci di tengah dunia yang kian berlari tak tentu arah.

Suatu hari, saya berkesempatan bekerja dalam satu tim dengannya. Jujur, saya merasakan banyak hal yang tak nyaman. Ia bukan tipe pekerja keras yang tangguh saat bekerja tim. Ia sering marah-marah ketika pekerjaannya dikritisi. Ia tipe banyak cakap, namun minim teladan. Ia bisa mengeluarkan banyak teori, lalu mengutip berbagai hadis, akan tetapi ia tak pernah mau sekadar menyapa tukang pembersih lantai yang bekerja di kantor kami. Malah, ia mengusir para pengemis yang datang ke tempat kami dengan alasan kalau mengemis adalah tindakan malas yang harusnya dihukum secara sosial.

Untuk soal ini, saya masih bisa menolerir. Tapi ada satu hal yang paling membuat saya jengkel. Terhadap segala sesuatu yang menyangkut uang, ia tiba-tiba saja menjadi seorang kapitalis. Pekerjaan yang nilainya hanya A, bisa digandakannya menjadi banyak A. Ia berani melakukan mark up atas sesuatu yang dipikirnya hanya diketahui olehnya. Ia lupa bahwa ada banyak orang yang punya kualifikasi sama dan memberikan penilaian berbeda atas pekerjaannya. Dipikirnya, orang-orang tak tahu bahwa ada banyak keuntungan pribadi yang dikeruknya dalam satu jenis pekerjaan.

Hidupnya mewah, untuk ukuran seorang pekerja sosial. Ia memakai sedan terbaru ke mana-mana. Bisa saya lihat kalau di bagian kemudi sedan, ia meletakkan tasbih yang menggantung. Mungkin, dipikirnya tasbih itu bisa selalu memgingatkannya pada Tuhan. Entahlah. Yang pasti ibadahnya sangatlah rajin sampai-sampai jidatnya terdapat dua garis hitam.

Sering saya bertanya-tanya dalam hati. Apakah ia tak berpikir bahwa pada setiap uang yang diambilnya bisa menjadi cambuk api angin yang bisa memecutnya dalam perjalanan menuju surga? Apakah ia tak merasa bersalah dengan segala tindakan mengumpulkan uang yang bukan bagian dari rezekinya sendiri? Di manakah letak kearifan Rasul dan para imam yang menganjurkan hidup bermakna dan menjadi berkah bagi seru sekalian alam?

***

SATU lagi sahabat mengaku sebagai seorang komunis. Tak pernah saya lihat dirinya menjalankan salat. Ia selalu sengit saat berdebat tentang agama. Baginya, agama hanya menyediakan batas-batas yang membuat manusia suka berkonflik. Ia tak percaya kalau agama akan membawa seseorang pada jalan keselamatan. Ia amat fasih mengutip berbagai konflik yang meruntuhkan peradaban, yang pangkalnya adalah perbedaan keyakinan. Katanya, manusia bisa saling membunuh hanya karena merasa lebih benar, dan yang lain adalah sesat.

Ia membaca buku-buku para filosof seperti Marx dan Nietzsche. Setiap bertemu dengannya, saya akan menyiapkan semua argumentasi untuk menangkal pandangan-pandangan ‘sesat’-nya. Jujur, saya tak pernah bisa mematahkan argumentasinya yang dibangun di atas berbagai pilar-pilar penalaran logis. Biasanya, saya hanya berkata singkat, “Agama itu selalu sempurna. Manusia yang tak sempurna.” Mendengar kalimat itu ia akan terkekeh, lalu mengambil gitar, kemudian menyanyikan lagu karya John Lennon, “Imagine there’s no heaven, there’s no religion too. Imagine all the people living as the one. Yuhuu”

Setiap kali ke rumahnya, saya selalu tercengang. Rumah kecilnya diramaikan para pengemis dan gelandangan yang datang dan duduk-duduk di teras. Rupanya, ia membuka kelas kecil untuk mengajari para gelandangan itu baca tulis. Ia pernah berkata, “Pengetahuan itu adalah cahaya yang bisa membebaskan. Mengajari para gelandangan ibarat meletakkan mercusuar yang kelak akan memandu perjalan mereka pada suatu saat. Di tengah kegelapan itu, mereka akan menemukan cahaya.”

Selain di teras rumahnya, ia juga kerap saya saksikan mengajari para pengamen di bawah lampu merkuri terang di malam hari. Energinya seolah tak pernah habis. Ia tak hanya mengajari pengamen. Ia juga mengorganisir para pekerja seks untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ia tekun membagikan kondom, membantu para pekerja seks untuk memeriksakan kesehatan secara rutin, serta mengusahakan agar para pekerja itu mendapat layanan kesehatan yang memadai.

Pribadinya hangat dan bisa diterima di mana-mana. Belakangan, hari-harinya dipenuhi seabrek kegiatan. Ia sering berada di satu pasar tradisional dan mengorganisir para pedagang pasar yang hendak digusur oleh mal baru yang dibuat pemerintah dan pengusaha. Para pedagang kecil itu dibelanya habis-habisan. Ia mengorganisir gerakan, memimpin pemogokan massa, lalu berdiri di baris terdepan saat Satpol Pamong Praja beserta marinir datang menggusur pasar itu.

Suatu hari ia meminta saya ke kantor polisi. Ternyata ia ditahan selama beberapa hari karena aksinya membela pedagang kecil. Sebagai sahabat, saya lalu menjaminkan pembebasannya. Biasanya, saya akan mendamprat, apa mau jadi jagoan? Ia lalu menjawab, “Bro, harus ada di antara kita yang berdiri bersama mereka yang hendak direnggut kehidupannya. Apa guna kita belajar berbagai kepandaian kalau itu tak bisa membebaskan orang lain? Apa kamu mau jadi sekrup kecil yang akan menguatkan mesin besar yang licik bernama birokrasi negara?”

Peristiwa itu menjadi titik balik bagi kehidupannya. Ia semakin yakin pada jalan yang dipilihnya. Ia lalu menjadi aktivis buruh dan aktivis lingkungan sekaligus. Hari-harinya adalah bersama masyarakat pinggiran hutan yang selalu saja hendak disingkirkan oleh pengusaha hutan. Ia juga keluar masuk desa demi belajar pada petani tentang bagaimana memuliakan alam.

Penampilannya serupa gembel yang tak pernah mandi. Rambutnya kian gondrong dan kumal. Saat bertemu, ia akan bercerita tentang pelajaran hebat dari masyarakat yang dibelanya. “Pendidikan kita memang keliru. Harusnya kita belajar di tengah-tengah rahim masyarakat. Di situ ada banyak kearifan hebat yang harusnya kita serap untuk memperkaya nurani kemanusiaan kita. Iya khan?”

Hingga akhirnya saya mendengar berita kalau dirinya tertembak oleh peluru nyasar dalam satu aksi demonstrasi. Di situlah saya menyadari siapa sesungguhnya kawan ini. Melihat banyaknya masyarakat biasa yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir, melihat masyarakat hutan yang berjalan berkilo-kilo meter untuk melihat dirinya, melihat iring-iringan tukang becak yang berbaris rapi untuk mengantar dirinya, hingga melihat seorang anak gelandangan datang membawa sekuntum bunga di pusaranya, telah menggetarkan hati saya. Air mata saya jatuh.

Sahabat saya itu adalah seorang biasa yang mendedikasikan dirinya untuk orang banyak. Ia adalah seorang komunis yang serupa lilin di tengah gelap. Ia menghadirkan cahaya, meskipun dirinya pelan-pelan terbakar oleh cahaya itu. Ia ikhlas menjadi martir demi hidup yang singkat, namun penuh makna. Ia pahlawan di hati banyak orang biasa.

***

MALAM ini saya tiba-tiba saja terkenang dua sahabat itu. Keduanya punya jalan berbeda. Pada keduanya, saya menemukan pelajaran berharga. Bahwa kehidupan ibarat satu kanvas yang tak akan pernah selesai. Setiap orang menggoreskan sesuatu di kanvas itu lalu membiarkan orang lain berusaha untuk memahaminya sebelum menggores sesuatu di situ. Bahwa setiap orang menjalani hidup yang kelak akan menjadi persembahan untuk dibawa ke hadapan Yang Maha Mengenggam, yang sejatinya telah memiliki pilihan untuk menerima yang mana.

Entah, saya tak ingin menebak pilihan-Nya.


Bogor, 9 Juli 2015


1 komentar:

rendra purba mengatakan...

Mereka yang buta oleh rutinitas dan sejarah yang dangkal
membawa pada kebutaan sesungguhnya.

Tulisan yang membebaskan.

Posting Komentar