Prasasti yang Menggetarkan Hati




DI Stasiun Tanah Abang, saya menyaksikan satu prasasti yang menggetarkan hati. Prasasti itu menampilkan tiga wajah para masinis kereta yang tewas saat kecelakaan kereta di perlintasan kereta Bintaro, 9 September 2013 silam. Mereka memilih berada di ruang masinis dan tewas terpanggang kobaran api.

Saya tergetar menyaksikan prasasti itu sebab tiba-tiba menyadari bahwa kepahlawanan adalah spirit yang bisa mendekam di hati siapa saja. Siapa pun bisa mengorbankan dirinya untuk banyak orang, mendedikasikan diri, lalu meletakkan kebahagiaan orang lain sebagai hal yang lebih penting ketimbang diri. 

Tak banyak yang mau memilih tindakan heroik itu. Jauh lebih banyak orang-orang egois yang memilih menyelamatkan diri sendiri.

Ketiga masinis itu adalah orang biasa, yang barangkali sering kita lihat lalu lalang di seitar. Mereka bukan mereka yang kaya-raya dan beredar di butik-butik mahal ibukota. Mereka bukan politisi yang saban hari suka mengatasnamakan rakyat jelata. 

Mereka bukan juga para prajurit yang ditempa dengan doktrin nasionalisme. Tapi ketiganya punya spirit yang luar biasa, jiwa yang bening, serta kekuatan hati yang menggerakkan dirinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa.

Ketiga masinis itu adalah karyawan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Ketiganya adalah Darman Prasetyo (masinis), Agus Suroto (asisten masinis), dan Sofyan Hadi (pegawai kontrak). Kisah paling mendebarkan dan sering dikisahkan adalah ketika Sofyan sempat keluar dari kabin masinis. 

Lelaki yang masih berstatus pegawai kontrak ini lalu ke gerbong penumpang dan memperingatkan semua orang bahwa kereta akan mengalami tabrakan. Ia meminta penumpang mundur ke gerbong belakang.

Ia bisa saja ikut mundur bersama penumpang lain. Tapi ia justru kembali ke kabin masinis untuk bergabung dengan dua rekan lainnya. Mereka lalu mengunci rapat pintu agar api tak menyembur ke penumpang. Sedetik kemudian kereta menabrak mobil tangki. Api menyembur ke angkasa. Tiga gerbong depan hangus. Tubuh ketiga masinis itu ikut menjadi arang.

Tapi mereka tak benar-benar menjadi arang. Semangat mereka tetap hidup dan menjadi nyala kecil yang terus menyala di hati mereka yang mendengar kisahnya. 

Mereka laksana Edward John Smith, nakhoda kapal Titanic yang memilih tenggelam bersama kapal. Mereka ibarat Kapten Rivai, nakhoda kapal Tampomas yang karam di Pulau Masalembo. Ketiga masinis itu adalah martir yang memilih untuk menyelamatkan orang banyak, lalu menyelamatkan dirinya sendiri.

Saya tersentuh karena perusahaan sebesar PT KAI adalah perusahaan yang sangat humanis dan menghargai dedikasi karyawannya, meskipun karyawan itu adalah karyawan biasa. Perusahaan ini membuatkan prasasti, serta menjadikan nama ketiga masinis itu sebagai nama lembaga pelatihan. 

Makna dan hikmah atas peristiwa itu tetap diserap demi menjadi semangat yang terus hidup di hati semua karyawannya. Yang saya renungi di prasasti itu adalah pertanyaan yang sering menohok mengenai siapakah gerangan pahlawan di zaman kini?

Dahulu, saya mengira bahwa kepahlawanan adalah kategori yang seolah sudah selesai. Kita sering alpa melihat pahlawan sebagai kualitas yang seyogyanya dimiliki untuk setiap orang pada zaman apapun. Belakangan, saya sadar bahwa kepahlawanan adalah potensi yang bisa melekat pada siapapun.

Belajar dari tiga masinis itu, para pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, mereka yang ikhlas mengorbankan apapun demi kepentingan yang lebih besar. Pahlawan adalah mereka yang bekerja dengan hati, tanpa mengharapkan gaji atau imbalan. Pahlawan adalah mereka yang mengabdikan dirinya untuk orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Pahlawan adalah para bapak dan ibu yang menyayangi anaknya sepenuh hati. Pahlawan adalah para guru yang mengabdi di ujung pelosok negeri ini. Pahlawan adalah para tukang sayur dan penjual ikan yang saban hari sudah memenuhi pasar demi sesamanya. 

Pahlawan adalah para masinis yang mengorbankan dirinya untuk orang lain. Pahlawan adalah mereka yang bahagia ketika membantu sesama, meskipun dirinya ibarat lilin yang memberi nyala terang, namun selanjutnya punah terbakar.

Mereka tersebar di masyarakat kita, dan bekerja dengan diam-diam, tanpa berharap untuk dikenal orang lain. Merekalah pahlawan zaman ini yang tak butuh popularitas, sebagaimana politisi kita hari ini. 

Anda pun bisa menjadi pahlawan yang mengabdikan diri pada sesama dengan berbekal tetes demi tetes cinta kasih pada sesama, hati yang bening, semangat dan kekihlasan berbagi, serta harapan kuat untuk memberikan kekuatan bagi orang lain. Inilah pahlawan zaman ini. Pahlawan kehidupan.

Ketiga masinis itu memilih untuk mengorbankan diri. Barangkali mereka sadar bahwa tindakan heorik itu kelak akan menjadi sesuatu yang bermakna. Mereka ibarat dewa-dewa yang memberi arah bagi tindakan heroik di masa depan. 

Sungguh tepat uraian di bawah prasasti ketiganya, “Kita bekerja untuk mengingat kemarin, memperbaiki hari ini, dan demi masa depan."


Tanah Abang, 24 Juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar