Jurnal Ilmiah yang Tak Terbeli



ANEH, sejak sebulan silam, tumpukan jurnal ilmiah ini tak juga terbeli di satu toko buku besar. Ah, mungkin ini hanya dugaan saja. Saya lalu mengecek di katalog. Ternyata memang jurnal ilmiah itu tak terbeli selama sebulan terakhir. Mengapa jurnal itu tak diminati? Apakah ini animo membaca jurnal yang tak begitu baik?

Ada beberapa sebab. Pertama, pembaca jurnal memang terbatas. Hanya kalangan tertentu saja yang melabel dirinya sebagai insan akademik, minimal mereka yang telah bergelar master atau doktor. Saat melihat jurnal, publik membayangkan sesuatu yang berat dan susah-susah.

Kedua, kemasan jurnal memang kaku, tak menarik, tak mengundang hasrat baca. Baru lihat sampul dan sekilas tulisan di situ, saya tak minat untuk membacanya. Bahkan, saya tak ingin menyobek plastik pembungkusnya di toko buku, kebiasaan yang selalu saya lakukan ketika melihat ada buku bagus.

Ketiga, kebanyakan jurnal di tanah air memang hanya ditujukan untuk menaikkan pangkat akademik serta kemudahan menjadi profesor, yang lalu berpengaruh pada besaran gaji dari pemerintah. Makanya, jurnal tak disiapkan secara serius. sepanjang memenuhi syarat terbit, terbitlah dia.

Harusnya jurnal bisa dibuat lebih simpel. Harusnya jurnal bisa dibaca oleh semua orang. Tak hanya kaum intelektual, tapi juga kaum buruh tani yang setiap harinya berjibaku dengan kehidupan yang keras dan tak mudah. Harusnya jurnal bisa dipahami para pembantu dan para tukang becak yang selama ini dijejali dengan program televisi sejenis sinetron yang justru membodohi mereka.

Di sekeliling kita ada banyak yang mengaku diri sebagai intelektual. Mereka  suka mengutip istilah-istilah yang sejatinya tidak untuk menyampaikan maksud, melainkan untuk mengesankan dirinya pintar. Para intelektual itu berdiam di menara gading, memainkan data dan angka lalu menyembunyikannya dalam istilah-istilah rumit, lalu membodohi rakyat, menjauhkan rakyat dan peran sebagai subyek yang bisa berpikir dan merasakan sesuatu.

Para intelektual tukang itu berbangga diri ketika bisa mengutip para pemikir-pemikir barat. Seolah-olah, ketika mengutip orang hebat itu, maka hebatlah gagasan itu. Para intelektual tukang itu justru minder mengutip pendapat orang biasa dan warga biasa yan dianggapnya tak layak masuk dalam publikasi. Tipe intelektual ini adalah mereka yang membahas kemiskinan rakyat di hotel mewah, tanpa mau mendengarkan seperti apa suara rakyat tentang kemiskinan itu sendiri.

Di mata saya, tanggungjawab sosial para intelektual bukanlah membangun menara-menara gading lalu memenuhinya dengan buku-buku penuh istilah ilmiah yang hanya dipahami mereka yang selevel dewa. Tanggungjawab itu harus dibumikan dengan menyajikan sesuatu yang bisa dipahami semua orang, bisa menggerakkan orang lain, serta punya potensi untuk menyusun ulang peradaban yang lebih humanis, menyejukkan, serta menjadi rumah nyaman bagi semua pihak.

Namun sekali lagi, semuanya kembali pada para intelektual itu. Mereka berhak memilh, apakah mau jadi pemburu rente, pengejar materi, tukang intelektual, atau intelektual organik yang mendedikasikan ilmunya untuk orang banyak. Semua berhak memilih ingin jadi apa. Kelak, rakyat dan sejarah yang akan mencatat pilihan-pilihan itu.


Bogor, 4 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar