Dari Pancawarna Hingga Bacan



DI Jakarta, kelas menengah kita sibuk membahas politik. Hari-hari dipenuhi dengan menebar pernyataan sikap pada pemerintah berkuasa. Nun jauh di daerah-daerah, di lapak-lapak masyarakat biasa, di warung-warung kopi, politik menjadi arena yang membosankan. Orang tak tertarik membahas politik. Banyak orang sedang terserang virus batu akik yang kian hari kian mengilap dan membuat banyak orang ketagihan untuk memilikinya.

Jika politik membuat orang-orang terbagi dalam kubu-kubu, batu akik telah mempersatukan masyarakat ke dalam satu barisan, menghubungkan berbagai orang yang punya hobi sama, serta menggugah kesadaran babyak orang tentang betapa berharganya mineral negeri ini.

***

SUATU malam di Cianjur. Saya dan sahabat Syahrir Ramadan tiba-tiba saja merasa lapar. Kami baru saja datang dari Jakarta, lalu mengerjakan tugas-tugas untuk wawancara. Kami sama lelah. Setelah menaruh tas di satu hotel di tengah kota Cianjur, kami memutuskan untuk mencari makan di satu warung kaki lima.

Sembari makan, kami berbincang dengan logat khas Indonesia timur. Tak jauh dari situ, seorang bapak memperhatikan kami yang sedang ngobrol. Ia lalu mendekat, dan tiba-tiba saja menyapa kami.

“Saya dengar dari cara bicara teman-teman, nampaknya bukan dari tanah Sunda yaa” tanyanya.
“Iya Pak. Kami baru saja datang dari sini,” jawab saya.
“Dari mana asalnya?”
“Dari Buton, Sulawesi Tenggara,”
“Ooo. Wah senang sekali bisa ketemu kalian. Di sana banyak batu khan? Buton kan dekat Pulau Bacan,” katanya.
“Hah? Buton itu di Sulawesi Tenggara, Pak”
“Tapi kan sama-sama Indonesia Timur. Di sana ada banyak batu akik,”

Saya tak hendak berdebat. Sudah terlampau sering saya menemukan anggapan warga Jakarta dan Jawa Barat yang mengira jarak antar pulau di kawasan timur serupa jarak antara Jakarta dan Bogor, atau jarak antara Bogor dan Cianjur. Saya juga sudah terlampau sering menjelaskan tentang betapa jauhnya jarak antar pulau yang seringkali butuh bermalam-malam jika kita menggunakan kapal laut.

Bapak itu tak tertarik membahas jarak pulau. Ia jauh lebih tertarik membahas batu akik. Ia bercerita tentang hobinya mengumpulkan batu akik. Saya melihat dua cincin besar di jari bapak itu. Tak hanya itu, ia juga memakai kalung besar yang di tengahnya ada liontin batu akik. Nampaknya, bapak ini memang penggemar batu akik. Ia satu dari sekian juta orang yang terserang virus wacana tentang akik.

Tanpa saya minta, bapak di Cianjur  itu menjelaskan jenis-jenis batu akik. Ia menyebut batu pancawarna yang berasal dari Garut, Jawa Barat. Katanya, batu itu istimewa karena terdapat lima warna yang berkilauan ketika disinari cahaya. Katanya, harganya bisa jutaan rupiah.

Terkait harga mahal, saya bisa memakluminya. Bagi saya, fenomena ini tak jauh beda dengan kesukaan orang pada mobil-mobil mahal, atau kesukaan para wanita pada permata mahal. Demi hobi dan kesenangan, orang bisa saja menghabiskan banyak uang. Tak ada yang keliru dengan kegemaran atas sesuatu.  Yang tidak saya sepakati adalah melakukan justifikasi atau pembenaran atas hobi melalui teks keagamaan. Seorang sahabat pernah meyakinkan saya tentang pentingnya batu akik melalui cerita-cerita tentang Rasul dan ayat Al Quran. Mungkin dia benar. Tapi aneh saja ketika teks agama dikutip untuk membenarkan kesenangan pribadi.

Pembicaraan dengan bapak di Cianjur itu lalu berakhir setelah dirinya menitip pesan kalau-kalau saya melakukan perjalanan ke Indonesia timur dan menemukan batu, maka dirinya siap membeli.

Selama beberapa bulan terakhir, saya bertemu beberapa teman yang hobi dengan batu akik. Ada yang hanya suka mengamati batu dengan senter kecil sembari menikmati garis-garis cahaya di dalam batu, ada juga yang sampai pada level maniak. Seorang sahabat kerap membawa karung plastik lalu menyusuri sungai demi mengumpulkan batu. Setelah itu, ia akan merendam batu itu dengan air hujan lalu mulai menggosoknya secara perlahan. Ia membeli mesin yang digerakkan listrik demi menggosok batu setiap hari. Nah, inilah yang saya sebut sebagai level maniak.

Beberapa hari setelah kunjungan ke Cianjur, saya diajak satu lembaga ke Mataram di Pulau Lombok. Saya bertemu banyak peneliti muda yang tengah antusias berdiskusi tentang kaitan antara menulis dan dunia penelitian. Semangat mereka membuat saya merinding. Saya percaya bahwa kelak mereka akan bisa berkiprah banyak di ranah penelitian serta perubahan sosial di daerahnya masing-masing.

Yang menarik, saat berdiskusi, beberapa anak muda bersemangat saat membahas batu akik. Ada seorang kawan yang bercerita tentang fenomena ketika ada warga yang membongkar fundasi sekolah. Saat ditanya mengapa melakukan itu, warga itu menjawab kalau dirinya sedang mencari batu akik. Hah?

Beberapa hari dari Mataram, saya melanjutkan perjalanan ke Ambon, Maluku. Saya bertemu beberapa sahabat yang memakai cincin batu akik berwarna hijau di jemarinya. Ternyata, batu hijau itu yang disebut sebagai batu Bacan. Katanya, batu itu adalah batu yang paling dicari oleh para penggemar batu. Bahkan beberapa pengusaha Korea dan Cina ikut mencari batu yang sepintar mirip batu giok itu.

Beredar pula cerita kalau Presiden SBY pernah menghadiahkan batu bacan kepada Presiden Obama. Entah benar atau tidak, namun kisah ini sukses membangkitkan animo dan minat orang-orang atas batu bacan. Namun, apakah batu ini semakin langka di tanah Maluku?

“Sekarang susah mencari batu bacan. Di Bacan sendiri, batu ini sulit untuk dibawa keluar. Pemerintah mengeluarkan regulasi yang memperketat perdagangan batu,” kata sahabat asal Ternate.

Bagi saya sendiri, nama Bacan sangat familiar. Bacan sendiri adalah nama pulau yang terletak di Kepulauan Maluku. Beberapa keluarga saya telah lama merantau dan menjadi penduduk asli Bacan. Saya membayangkan, jika seluruh penggemar batu akik menginginkan Bacan, apakah akan terjadi peningkatan ekonomi yang cukup signifikan di daerah itu?

Teman asal Ternate itu tak menjelaskan lebih jauh. Saya hanya bisa menduga-duga. Barangkali yang paling diuntungkan dari meroketnya batu bacan adalah para pedagang batu. Mereka sukses mengemas kisah tentang keindahan batu, serta merancang satu situasi di mana semua orang langsung ketagihan untuk memiliki batu. Dalam bahasa marketing ala Malcolm Galdwell, yang sedang terjadi adalah fenomena ‘getok tular’ yang sejatinya dipicu oleh sejumlah agen pemasaran yang kreatif. Maka semua orang terserang demam batu akik.

Batu akik, mulai dari yang bernama Pancawarna hingga Bacan, menjadi satu magnet banyak orang. Batu akik sukses menggantikan berbagai diskusi tentang harga beras yang katanya naik, harga gas, ataupun kian menguatnya dollar atas rupiah. Batu akik menjadi arena yang di dalamnya terdapat pembicaraan tanpa henti, petualangan untuk menemukan batu yang menarik, penjelajahan, serta mempertautkan banyak orang yang memiliki hobi yang sama. 

Siapa sangka, di balik wacana batu akik itu, terdapat segumpal kecintaan pada tanah air. Buktinya, hampir semua daerah memiliki batuan akik yang unik. Kalimantan punya batu kecubung, Jawa Barat punya batu pancawarna, Maluku punya batu bacan. Kecintaan pada batu bisa pula dilihat sebagai kecintaan pada segala yang ada di perut bumi kita, tanah air Indonesia, serta kegandrungan untuk memahami karakter mineral di setiap wilayah sekaligus merasakan keunikannya.

Saat hendak meninggalkan Ambon, seorang sahabat datang menyerahkan dua cincin batu bacan. Ia berbicara dengan sedikit memelas. “Bang, terimalah batu ini. Saya anggap ini sebagai tanda persahabatan di antara kita,” katanya.

Dengan senang hati, saya ingin bersahabat dengan siapa saja. Sayangnya, saya bukan penggemar batu. Saya lalu meyakinkannya kalau banyak orang yang akan bersorak gembira ketika dihadiahkan batu hijau yang indah itu.


Ambon, 7 Maret 2014

0 komentar:

Posting Komentar