Kisah Para Pengendali Twitter





DI gedung DPR RI, saya bertemu sahabat itu. Ia bekerja pada ruang kecil, yang tak seberapa besar. Namun dari ruangan kecil itu, ia bisa mengatur seluruh wacana yang memenuhi benak bangsa Indonesia. Ia punya seorang rekan yang mengendalikan dunia maya. Mereka bisa mengatur agar satu kicauan di twitter bisa di-retweet hingga jutaan kali lalu menjadi trending topic dunia. Ia sungguh menakjubkan.

Tadinya saya menganggap bahwa dunia sosial adalah dunia yang netral. Tak ada yang bisa mengendalikan apa yang hendak diposting oleh orang-orang. Semua orang punya kebebasan untuk memposting hal-hal yang dianggapnya benar, atau hal-hal yang diyakininya. Tadinya saya menganggap bahwa kerja seorang komunikator politik hanya sebatas merancang pesan di twitter, lalu bekerja sama dnegan para buzzer yang langsung menyebarluaskan semua pesan politik secara luas dalam waktu singkat.

Namun ternyata saya keliru besar.

Dari ruangan kecil di gedung DPR RI itu, semuanya bermula. Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia adalah negeri yang paling ramai di dunia twitter. Jumlah pengguna aplikasi bergambar burung biru itu adalah jumlah terbesar di seluruh dunia. Makanya, setiap hiruk-pikuk di tanah air bisa menjadi trending topic atau wacana paling ramai dibahas di level dunia.

Kerja sahabat itu seupa intelijen yang bisa merancang strategi komunikasi untuk menyebar pesan secara cepat dan serupa virus merambah ke dunia maya. Virus yang ditebarnya lalu disebar ke mana-mana, lalu menjelma sebagai kehebohan di level dunia. Ia seorang lihai yang bersenjatakan teknologi demi menjajah pikiran orang-orang lalu mengisinya dengan satu isu politik untuk disebarkan.

Susahkah melakukannya? Sahabat itu hanya terkekeh. Ia menjelaskan beberapa wacana politik yang kemudian membesar justru bermula dari cuitan satu orang yang kemudian terus-menerus diulang oleh jutaan orang. Ia hanya menjawab dengan setengah bercanda kalau dirinya punya saham di twitter sehingga punya otoritas untuk menyebarkan pesan secara cepat.

Dulu, saya tak percaya. Tapi sahabat pengendali twitter itu pernah mengejutkan saya ketika berhasil menambah jumlah follower saya secara cepat. Ia menyuruh saya untuk membuat status di twitter. Ia lalu membuat status itu diteruskan oleh jutaan akun aktif yang sama sekali tidak saya kenal. Amazing! Politik menjadi arena untuk mengisi kepala jutaan orang dengan satu gagasan yang sama.


Saya tiba-tiba saja membayangkan apa yang terjadi di timur tengah. Saya teringat sahabat saya asal Qatar yang bernama Abdul. Suatu hari di Ohio, Amerika Serikat, ia pernah menjelaskan tentang risetnya bahwa apa yang disebut sebagai Arab Spring atau revolusi di dunia Arab itu bermula dari cuitan twitter. “Saya melacak melalui twitter bahwa sesungguhnya gagasan tentang revolusi itu dimulai dari beberapa orang, yang kemudian serupa virus telah membakar dunia.”

Saya juga teringat pada kisah tentang Wael Ghonim, seorang blogger yang pertama memicu revolusi di Mesir. Kiprahnya di internet telah menggerakkan jutaan orang untuk turun ke jalan dan menentang pemerintahan otoriter. Majalah Time menobatkan dirinya sebagai satu dari 100 orang terkemuka dunia sebab bisa menggerakkan revolusi yang berbasis teknologi informasi.

Jika pengguna twitter di Mesir bisa menggerakkan revolusi yang berbasis teknologi, mengapa hal yang sama tidak bisa dilakukan di Indonesia?

Saya memang memikirkan revolusi. Kerja-kerja seorang praktisi komunikasi politik memang selalu terkait dengan bagaimana ‘menggoreng’ isu sehingga menjadi wacana besar. Namun, penguasaan atas teknologi bisa membantu seseorang untuk menguasai ranah dunia maya secara cepat. Dan jika saja teknologi itu berada di tangan seorang baik yang di kepalanya penuh gagasan revolusioner, maka perubahan bisa berlangsung dengan cepat.

Saya juga memikirkan bahwa sekadar berkeluh-kesah di dunia maya tak ada guna. Yang jauh lebih penting adalah proses engagement ketika seseorang bisa memaksimalkan dunia maya untuk membentuk barisan pengikut yang memiliki visi dan ideologi yang sama, setelah itu membakar api perubahan di benak kesadaran orang-orang. Pada titik ini, sebuah gagasan akan memiliki kaki-kakinya sendiri untuk bergerak dan menjangkau banyak tempat.

Seusai berbincang dengan sahabat itu, saya memutuskan untuk pulang. Entah kenapa, ia menahan langkah saya, lalu membisikkan kalimat. “Kita bisa mengendalikan satu teknologi komunikasi. Mengapa kita tak bersama merancang satu perubahan besar yang menyentuh segala sendiri republik ini dengan bermodalkan kemampuan mengatur lalu-lintas isu? Saya butuh seorang pengatur strategi dan penguasa konten. Kamu mau membantu khan”

Saya terdiam dan tak tahu harus menjawab apa. Hingga kini, saya masih memikirkan kalimatnya.


Bogor, 17 Februari 2015

2 komentar:

Imam Rahmanto mengatakan...

Saya juga pernah melihat yang semacam ini di film Republik Twitter. Paling tidak, film itu sudah menggambarkan bagaimana "politik di balik layar" bekerja mempengaruhi pikiran bangsa, Bang.

Zulfiqar Rapang mengatakan...

BANG ASA ini ��

Posting Komentar