ilustrasi |
LEBIH 10 tahun saya tinggal di Makassar. Saya
tak pernah sedikitpun meragukan solidaritas dan rasa setia kawan para sahabat
di sana. Sekali mengucap ikrar persahabatan, maka ikrar itu akan dijaga hingga
napas penghabisan. Benar atau salah, urusan belakang. Sekali seorang sahabat
tersakiti, pantang bagi sahabat lain untuk mendiamkannya.
Hanya di Makassar saya melihat rasa
solidaritas sehebat itu. Orang Makassar memang punya sejarah hebat, yang ketika
dituturkan bisa membuat bulu kuduk merinding. Sejarawan Anthony Reid pernah
mencatat bahwa perang Makassar di tahun 1669 adalah perang paling dahsyat yang
pernah dihadapi oleh VOC di Nusantara. Keberanian dan sikap ksatria orang
Makassar benar-benar tak tertandingi. Hari ini, orang Makassar masih mewarisi
sikap ksatria itu. Mereka adalah petarung yang siap membela saudaranya sampai
mati.
Pernah, saya menemui seorang sahabat yang
babak-belur ketika berkelahi di Jalan Bung, Makassar. Sahabat itu terdiam
ketika saya tanyai motifnya berkelahi. Ia membela temannya yang sedang
dikeroyok. Temannya meminjam uang pada seseorang, lalu tak mengembalikannya. Di
satu sisi, wajar saja jika teman itu dikeroyok. Tapi di sisi lain, sahabat saya
tak mau tahu. Ia membela temannya hingga akhirnya babak belur.
“Dia memang salah. Tapi dia sahabat saya.
Saya akan membelanya, apapun yang terjadi,” katanya saat itu. Luar biasa. Saya
terkesima. Selama tinggal di Makassar, saya selalu merasa aman. Sebab sekali
dianggap sahabat, maka kita akan selalu dijaga dan dilindungi oleh mereka.
Namun, sekali kita berbuat jahat atau menyakiti, maka mereka tak mengenal kata
ampun. Mereka bisa kejam pada orang yang dianggap musuh.
Saya memahami satu hal penting yang selalu
dijaga oleh orang Makassar. Hal penting itu adalah kehormatan, sebagai
perhiasan paling berharga yang melekat pada diri seseorang. Kehormatan di sini
punya dimensi luas. Tak hanya kehormatan diri, tapi juga kerabat, teman, dan
komunitas. Kehormatan ibarat porselen mewah yang dibawa ke mana-mana. Sekali
kehormatan itu retak dan pecah, maka seseorang bisa melakukan apapun, bahkan
hal yang paling gila sekalipun.
***
BEBERAPA hari ini, saya tergelitik untuk
merenungi makna persahabatan di tanah Makassar. Seorang pejabat tinggi
kenegaraan sedang ‘diserang’ oleh dua rekan sekampungnya, sesama berasal dari
Makassar. Pejabat yang mengklaim dirinya sebagai pendekar hukum, tiba-tiba
harus berjumpalitan ketika diserang berbagai isu hukum yang bisa menggoyahkan
integritasnya. Ia harusnya berdiri tegak, tapi dua temannya menyerang
habis-habisan. Ia nampak limbung.
Saya teringat kata seorang bijak, musuh
paling berbahaya adalah mantan sahabat kita. Mengapa? Sebab para sahabat tahu
banyak sisi yang ada pada diri kita, dan tak diketahui orang lain. Para sahabat
adalah mereka yang tahu apa yang kita pikirkan, sekaligus apa saja yang kita
rencanakan, serta apa saja rahasia yang kita sembunyikan. Sekali sahabat itu
menjadi musuh, kita jelas akan kerepotan mengarahkan bidak catur. Kedua belah
pihak bisa saling mengunci.
Terlepas dari perseteruan itu, saya
bertanya-tanya, mengapa sampai harus ada konflik dan saling tikam dari
belakang? Saya tak habis pikir. Selama ini saya beranggapan bahwa di Makassar
semua persoalan dibahas secara terbuka. Lihat saja pakaian adat lelaki Bugis
dan Makassar yang justru menyimpan badik di posisi depan perut. Itu bermakna
bahwa mereka tak menyembunyikan maksud. Mereka terbuka, lebih memilih
berkelahi dan melepas amarah, lalu setelah itu mengucap kata damai dengan tanpa beban.
Tapi perseteruan itu nampaknya amatlah
serius. Barangkali, ada nilai-nilai dan sesuau yang prinsipil di situ.
Barangkali kedua belah pihak sama-sama punya ekspektasi dan pengharapan yang
kemudian tak kesampaian. Barangkali ada hal substansif, sesuatu yang
sesungguhnya besar namun hanya diketahui oleh segelintir orang yang berada di
lingkaran kecil.
Susahnya, konflik di ruang politik kita
laksana konfik dalam kelambu. Sebagai publik kita tak punya akses untuk tahu
apa yang terjadi di dalam kelambu. Kita tahu bahwa ada kegaduhan di situ. Kita
menyaksikan ada pergumulan yang membuat kelambu itu oleng ke kiri dan ke kanan.
Tapi kita tak kuasa untuk mengetahui dan berempati pada mereka yang sedang
berknflik itu. Kita hanya bisa merasakan, tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
Beberapa hari silam, saya bertemu dengan
satu pihak yang sedang berkonflik itu. Ia lebih banyak terpekur dan berdiam
diri ketika ditanyai tentang konflik itu. Ia hanya mengeluarkan napas panjang,
sebelum akhirnya berkata, “Saya agak kesal karena banyak masukanku yang tidak
diturutinya. Dia sudah terlalu jauh. Saya pun tak kuasa untuk menahan-nahan banyak
informasi. Maka biarlah kita saling membuka,” katanya.
Hmm. Saya belajar hal baru
di situ. Saya mengamini kalimat seseorang tentang tiga hal. (1) bahwa pada
akhirnya sahabat sejatimu itu adalah mereka yang berdiri di sisimu ketika kamu
sedang membutuhkan sahabat. (2) bahwa sahabat sejati bukanlah seseorang yang
meninggalkan sahabatnya ketika sedang berjaya dan menikmati kekuasaan. (3) sahabat sejati adalah mereka yang merawat pertemanannya hingga akhirnya berbuah manis dan memberikan kebahagiaan.
Yang pasti, waktu telah membuka satu rahasianya.
Ia telah menyodorkan catatan buat kita tentang tiga sahabat yang ternyata bukan sahabat
sejati.
Bogor, 5 Februari 2015
1 komentar:
sahabat sahabat HMI sepertinya bang...
Posting Komentar