Tarian Cantik Partai Beringin



JIKA definisi klasik politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana, maka dari semua partai di parlemen, hanya Partai Golkar yang justru bermain paling cantik. Jika partai lain memasuki gelanggang politik dengan dendam kesumat, maka Golkar justru tenang-tenang saja. Setelah mendapat posisi Ketua DPR, diperkirakan akan jadi salah satu unsur pimpinan MPR, lalu merebut jatah kursi menteri, hingga akhirnya berbalik haluan politik. Hah?

***

DI gedung parlemen yang berkubah hijau itu, saya bertemu sahabat itu. Ia kini bukan lagi sahabat yang dahulu sama-sama menjelajah ke sudut-sudut kampus dalam keadaan kere. Kini ia bersalin rupa menjadi anggota DPR RI. Saat bertemu, saya bisa merasakan aroma parfum mahal yang wangi di tubuhnya. Sungguh beda dengan beberapa tahun silam, ketika bau keringat memancar dari tubuhnya yang berpeluh.

Ia datang bersama beberapa staf ahli. Kami menyeruput cokelat panas sembari bercerita tentang situasi politik. Ia memperlihatkan pesan yang dikirimkan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang mengundang rapat demi membahas komposisi pimpinan MPR. Terhadap undangan itu, ia hanya berujar singkat, “Arena itu mudah ditebak. Pasti milik Koalisi Merah Putih (KMP). Bisa jadi, Demokrat mendapat jatah ketua,” katanya singkat.

Hari itu, ia tak tertarik membahas dinamika siapa yang menang-kalah. Ia menjelaskan tentang langkah-langkah Golkar yang cukup strategis ketimbang partai lainnya. Penjelasannya menarik. Partai Burung dan Partai Banteng sama-sama memasuki arena parlemen dengan dendam kesumat. Mereka berpikir bahwa mereka adalah pengatur ritme atas tarian politik yang lain. Keduanya justru tak melihat kemungkinan betapa lincahnya tarian partai-partai lain di antara keduanya.

Sesat pikir yang melanda Partai Burung dan Partai Banteng adalah sama-sama menganggap arena ini dikendalikan oleh mereka. Padahal, partai lain tengah mengintip posisi dan membidik kue jabatan dan kuasa tertentu. Memang, ada Partai Demokrat yang memosisikan dirinya sebagai penengah, meskipun ujung-ujungnya jadi penopang koalisi pimpinan partai burung. Akan tetapi, posisi seperti itu justru melahirkan ketidakpercayaan. Posisinya menjadi tanggung. Di satu sisi mengklaim sebagai penyeimbang, namun langkah-langkah politiknya sudah bisa dibaca sejak awal.

Sementara Golkar justru bermain lebih cantik. Partai itu sukses memaksimalkan dukungan koalisinya demi menaikkan kadernya menjadi Ketua DPR RI. Tak hanya itu, partai itu juga sukses menaikkan satu kadernya sebagai bagian dari unsur pimpinan MPR.

“Dalam waktu dekat, akan ada kejutan besar dimainkan partai ini. Kejutan itu adalah ketika memilih berbalik haluan dan mendukung pemerintahan. Isunya sudah sangat kencang, tapi semua bisa menahan diri dan menunggu waktu yang tepat,” katanya.

Pernyataan sahabat ini memang menarik untuk dianalisis. Ia menginginkan transisi yang mulus. Sebagaimana dicatat sejarawan David Reeve, Partai Golkar adalah partai yang sanggup beradaptasi pada berbagai situasi. Tadinya, Golkar memberi stempel pada semua kebijakan Soeharto, namun pada saat reformasi, partai ini justru sukses berbalik arah. Tanpa sedikit pun rasa bersalah atas praktik politik Orde Baru, partai ini sukses memenangkan wacana sehingga selalu menempati posisi penting.

Di tahun 1998, partai ini bisa berbalik dengan cepat, lalu mendukung slogan “paradigma baru”. Tokoh militer tersingkir, lalu sejumlah pengusaha mengambil alih pimpinan. Biasanya, karakter para pengusaha lebih fleksibel dalam membaca zaman, mengubah posisi, lalu menyatakan dukungan pada tokoh lain. Politik yang dimainkan Golkar adalah memaksimalkan semua peluang menjadi keuntungan buat partai.

Barangkali, satu-satunya kekalahan telak partai ini adalah ketika gagal mendorong maju Aburizal Bakrie ke arena pemilihan presiden. Bahkan, untuk posisi wakil sekalipun, Aburizal tak berpeluang. Maka yang bisa dilakukan saat itu hanyalah mendukung Koalisi Merah Putih yang mencalonkan Prabowo Subianto. Namun, apakah Golkar akan tetap bersama koalisi itu, bahkan ketika kapal koalisi itu karam? Nampaknya tidak. Sejarah mengajarkan bahwa Golkar bisa dengan mudah berbalik arah mengikuti tarian rezim mana pun.

Keliru besar jika Prabowo mengklaim bisa mengendalikan situasi internal Partai Beringin. Dinamika internal dan konflik beragam kelompok tak mungkin bisa dipadamkan dengan mengangkat retorika nasionalisme ala Prabowo. Jika ia merasa sanggup, maka ia tidak mungkin harus tersingkir dari partai itu. Saat ini, faksi-faksi di partai itu mulai bergerak. Namun semua faksi itu sama-sama berpikir untuk memaksimalkan dulu keberadaan kapal koalisi merah putih, sebelum meninggalkannya secara hormat. Inilah politik.

Revolusi Senyap

Beberapa sumber di internal Golkar bercerita tentang revolusi senyap yang tengah terjadi. Fenomena ini juga tengah melanda partai berlambang ka’bah. Bedanya, semua dinamika dan pertentangan di partai Ka’bah dengan mudah disaksikan dan dibaca oleh publik. Sementara Golkar justru tertutup. Dinamikanya hanya dirasakan para pengurus inti serta beberapa pengurus yang sejak dulu terbiasa bermain politik.

Di hajatan politik pemilihan ketua DPR dan MPR, Golkar bisa menaikkan kader. Berikutnya, partai ini bersiap-siap menaikkan kadernya di posisi menteri. Lobi-lobi politik dan deal-deal telah dibangun melalui perantaraan beberapa faksi yang dekat dengan Jusuf Kalla. Sebagai mantan ketua umum, Jusuf Kalla nampak tenang menghadapi dinamika politik. Namun jangan kira ia benar-benar diam. Ia punya banyak kartu politik yang masih bisa dimainkan.

“Golkar menunggu saat yang tepat. Ibarat rumah, Golkar ingin mengisi rumah dengan perabot, setelah itu baru mengundang tamu besar untuk masuk dan berteduh,” kata teman tersebut.

Pernyataan ini senada dengan Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari mengatakan, secara teoritis sebuah koalisi politik akan bertahan dan permanen jika ada kekuasaan yang dibagi bersama secara adil (power political sharing) dalam sepanjang periode waktu. KMP memang memegang kekuasaan, tetapi sangat terbatas, yaitu kekuasaan di legislatif. Dan kekuasaan ini tidak berusia panjang.

Bagi mereka yang kerap wara-wiri di Senayan, tentunya paham bahwa Golkar sedang membangun bargaining untuk posisi menteri. Dengan posisi sebagai pemenang kedua pemilu, partai ini bisa lebih leluasa untuk mengarahkan biduk dukungan.

Melihat dinamika politik yang ada, maka Golkar akan sukses menggapai banyak kursi berkat kemampuannya berakrobat, yang disusul Demokrat dan PPP. Sementara PDIP yang justru memenangkan Pemilu justru tak banyak mendapatkan apa-apa, selain dari posisi presiden. Yang parah adalah Gerindra bersama satu atau dua anggota koalisinya. “Yang pasti, gelombang pragmatisme pasti akan menggerus bangunan oposisionalisme yang fondasinya tidak kuat itu. Saya tahu betul pragmatisme sebagian besar jajaran pimpinan DPR itu,” kata Tohari

Yah, inilah politik kita. Politik kita hari ini masih jalan di tempat. Politik kita belum bisa menjadi api terang yang menerangi seluruh warga. Politik kita masih berisikan kontestasi dari beberapa kekuatan demi meraih jatah dan kue kekuasaan. Semoga saja presiden terpilih bisa membawa cahaya terang itu.



4 komentar:

Fajar mengatakan...

Wah luar biasa opininya mas, kupikir tak ada yang mau puasa selama 5 mas, jadi baik golkar maupun partai lain akan segera merapat ke pemerintahan yang baru, hanya saja mereka semua belum mendapatkan momen yang tepat untuk masuk dengan cara yang berkarakter.

Fajar mengatakan...

Wah luar biasa opininya mas, kupikir tak ada yang mau puasa selama 5 tahun mas, jadi baik golkar maupun partai lain akan segera merapat ke pemerintahan yang baru, hanya saja mereka semua belum mendapatkan momen yang tepat untuk masuk dengan cara yang berkarakter.

Unknown mengatakan...

Setuju dengan argument atau tulisan diatas :D

madhan mengatakan...

begitulah yang namanya politik gan hahaha :D

Posting Komentar