Orang KOTA, Orang DESA


pemandangan di Pulau Badi, Pangkep, Sulawesi Selatan


ANDA ingin tahu seperti apakah makna ketulusan? Sempatkanlah waktu untuk ke desa-desa. Jangan terkejut ketika banyak yang menyapamu, lalu mengajakmu ke rumahnya. Di situ, kamu akan dijamu dengan makanan yang paling enak. Pelayanan terbaik diberikan. Makanan terenak juga dikeluarkan.

Tak hanya itu. Sang pemilik rumah akan menemanimu berbicara hingga kamu mengantuk dan terlelap. Setelah kamu bangun, kembali ia menghidangkan makanan terbaik. Ia akan memperlakukanmu sebagai tamu besar yang harus dilayani. Untuk semua pelayanan itu, tuan rumah tak meminta bayaran sepeserpun. Ia melakukannya dnegan ikhlas. Ia semata-mata hanya ingin bersahabat denganmu. Tak lebih. Bukankah itu sebuah ketulusan dan keikhlasan tanpa syarat?

Mereka yang berkunjung ke desa-desa pastilah paham bahwa selalu ada ketulusan dan penerimaan yang amat tinggi pada siapapun tamu yang datang. Mereka yang berumah di desa masih memelihara jaringan kekerabatan, lalu memperluasnya pada titik di mana semua orang bisa menjadi saudara. Mereka menghargai orang kota yang datang berkunjung lalu memastikan bahwa semua yang datang itu dihinggapi kenyamanan.

Namun, seringkali ada banyak tanya yang tumbuh. Apakah orang-orang desa menemui perlakuan yang sama ketika berkunjung ke kota? Apakah orang desa akan menemui ketulusan yang sama sebagai balas atas apa yang pernah diberikannya di desa?

Mereka yang di kota seringkali merasa lebih beradab, lebih berpendidikan, lebih moderen, lebih hebat, lebih kaya, dan lebih segala-galanya. Mereka yang di kota sering memandang sebelah mata mereka yang datang dari desa. Hanya karena pakaian yang yang lebih mahal dan mentereng, orang kota itu kerap memandang hina orang desa yang berpakaian sederhana. Hanya karena merasa lebih kaya, mereka yang di kota itu akan menertawakan orang desa yang datang membawa pisang dan ubi sebagai tanda ketulusan dan tali kasih.

Orang kota sedang membangun peradaban yang materialistik yang ditopang oleh pandangan tentang diri yang lebih hebat. Yang dibangun oleh peradaban ini adalah kuasa tentang diri yang lebih, lalu memandang rendah yang lain, tanpa melihat bahwa yang lain itu boleh jadi adalah mata air inspirasi. Orang kota yang mengklaim diri moderen itu telah lama kehilangan kepekaan serta nurani yang mudah basah oleh tetesan embun kebaikan. Mereka lama menjadi karang yang selalu berdiri kukuh, namun alpa untuk menyapa gelombang yang setiap saat membelainya.

Kita tak banyak bertanya dalam diri, mengapa harus memandang remeh yang lain? Mengapa kita tak memandang kebaikan dan ketulusan sebagai senyawa yang akan menjadikan kaki-kaki seseorang amat kokoh untuk berpijak laksana karang di samudera kehidupan? Mengapa mereka yang di kota itu tak belajar ikhlas dan memperlakukan semua orang sebagai sahabat sebagaimana yang di desa itu?



Hari ini aku banyak merenung. Aku adalah orang desa yang kemudian tinggal di kota demi sesuap nasi. Kupahami benar bagaimana sikap orang kota pada orang desa, kendatipun orang kota itu justru berakar di desa. Selama beberapa hari, aku berkeliling ke banyak pulau-pulau kecil. Warganya demikian hangat ketika kutemui. Semua rumah yang kusinggahi menyediakan penganan. Mereka seolah tak rela ketika kukatakan bahwa aku hendak beranjak pergi. Mereka menahan langkahku hanya karena makanan telah disiapkan untuk dicicipi. Padahal, aku tak memberi apapun pada mereka. Dan mereka pun akan tersinggung jika aku hendak membayar semua kebaikan itu.

Perjalanan ke desa-desa dan pulau-pulau semakin membuka mataku untuk lebih lebar menatap kenyataan. Aku mulai mempertanyakan makna kemajuan dan peradaban hari ini. Kutentang pula pandangan yang menilai seseorang dari kehebatannya ketika memasuki sirkuit pengejaran materi dan kemegahan. Kulihat dunia dengan cara baru. Mereka yang hebat adalah mereka yang berumah di desa, mereka yang memperlakukan semua orang sebagai saudara, mereka yang membuka pintunya ketika ada yang hendak berkunjung. Mereka adalah sosok yang melakukan hal-hal baik, tanpa mengharap apapun.

Apakah anda punya pengalaman berkunjung ke desa?




4 komentar:

Mang Lembu mengatakan...

artikel yang keren dan pas untuk bahan perenungan, terutama bagi para orang desa seperti saya ini nih...deh nih

suradin radent mengatakan...

Di Desa Parado Kabupaten Bima juga akan memperlakukan orang dngan cara yg sama seperti yg dicertikan oleh pak Yusran, Cerita yang menarik Pak Yusran..

Yusran Darmawan mengatakan...

hehehe. makasih krn udah singgah dan baca.

Yusran Darmawan mengatakan...

iya pak. sy banyak menemui keramahan seperti itu di desa-desa.

Posting Komentar