Lelaki yang Berpedang di Dunia Maya




DI panggung kampanye pemilihan presiden (pilpres), kita menyaksikan kesantunan politik. Ada cium pipi, bersalaman, serta saling mengeluarkan pesan bijaksana yang diharapkan bisa menyentuh hati publik. Tapi di balik panggung, terdapat sejumlah intrik, persaingan, serta adu tikam di kalangan pendukung. Bagaimanakah memahami suasana batin para penebar ranjau di ajang kampanye? Mengapa mereka saling menyabet dengan pisau kampanye hitam? Berikut kisah di balik layar.

***

SEUSAI salat zuhur berjamaah, aku menemui lelaki itu di satu masjid di kota Bogor. Umurnya di bawah 30 tahun. Ia sangat santun ketika menjabat tangan, kemudian berbincang. Sembari berdiskusi, ia mengeluarkan tasbih sembari bibirnya komat-kamit merapal bacaan tertentu. Kesanku, lelaki ini seorang yang baik hati dan senantiasa menjaga dirinya dari segala yang dianggap tercela.

Kami hanya berbincang sesaat tentang beberapa buku yang sama-sama kami baca. Ia lalu pamit untuk pulang ke rumah. Beberapa jam berikutnya, aku lalu mengaktifkan facebook. Betapa tercengangnya diriku ketika melihat halaman depan facebook lelaki itu. 

Ia sibuk menebar berbagai link yang isinya adalah keburukan satu pasangan capres. Ia tak henti-hentinya berkampanye bahwa seorang capres adalah antek Yahudi, antek Cina, antek Amerika, hingga boneka dari seorang ketua partai.

Aku coba mengajaknya berdialog. Setiap kalimat langsung ditentangnya. Di dunia maya, ia bukan sahabat dialog yang baik. Ia seolah melihat ajang pilpres sebagai ajang saling menebas pedang. Setiap kalimat tanya dianggapnya sebagai upaya untuk menjatuhkan kandidat presidennya. 

Tanpa banyak argumen, ia menjawab setiap pertanyaan dengan berbagai link yang isinya berita negatif tentang seorang kandidat presiden. Ketika kutanya seberapa yakinkah ia dengan kebenaran berita dari link itu? Ia menolak dialog. Bahkan ketika disodorkan link berita yang isinya bantahan, ia menolak untuk mengaku salah.

Aku melihat dua sisi lelaki itu. Di dunia nyata, ia adalah seseorang yang amat menjaga lidahnya ketika berbicara. Ia menghindari kalimat-kalimat yang bisa menyakiti orang lain. Ia melaksanakan semua ajaran yang menekankan silaturahmi, serta perlunya menjaga prasangka baik ketika bertemu sesama. 

Ia menghormati semua orang, yang terpancar dari kalimat-kalimatnya yang selalu merendah. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Namun di dunia maya, ia menjadi sosok yang lain. Ia laksana seorang ksatria berpedang yang setiap saat menebas pendapat yang berbeda dengannya.

Ketika kami bertemu lagi, ia mulai terbuka. Ia menyebut bahwa dirinya adalah kader dari satu partai berlatar dakwah. Baginya, setiap kalimat dari ustad panutannya adalah kebenaran mutlak. Ia hanyalah seorang pekerja lapangan yang menjalankan instruksi partai. Ia adalah bagian dari cyber army yang bertugas untuk menginvasi dunia maya dengan berbagai isu negatif tentang satu calon.

“Apakah kamu tak merasa bersalah kalau isu itu ternyata tidak benar?” tanyaku.

Ia menggeleng. Baginya, ada satu tujuan besar yang hendak dicapai. Ia berangan-angan tentang Indonesia yang lebih baik, yang hanya bisa diwujudkan dengan memaksimalkan berbagai strategi dan memenangkan seorang calon yang gagasannya selaras.

“Yang kita hadapi ini adalah sosok yang didukung cukong. Makanya, kita harus rebut semua strategi demi mempengaruhi massa,” katanya
“Tapi kan tujuan yang baik harus didukung oleh cara-cara yang baik,” kataku.
“Itu rumus lama. Mereka banyak main kayu. Kita harus berani main logam. Kita harus memastikan tujuan kita segera tercapai,” katanya tegas.

Diskusi kami berakhir. Tak ada guna berdebat dengan seseorang yang merasa telah menemukan kebenaran. Aku memilih untuk lebih banyak diam. Benar kata seorang sufi, jangan sesekali mengkritik seseorang yang merasa menemukan kebenaran. Kritik akan semakin membuat dirinya membenci kita. Kritiklah seseorang yang berakal. Setiap kritik akan membuat kita semakin dicintainya.

***

AZAN magrib berkumandang. Aku mulai mencicipi hidangan buka puasa. Di depanku, dua orang kawan alumni kampus di Amerika Serikat yang kini bekerja sebagai konsultan media sosial. Kami adalah teman di twitter yang tiba-tiba saja sengaja janjian untuk bertemu. Mereka dikontrak seorang kandidat presiden. Mereka menjelaskan padaku tentang peta pertarungan pilpres. Mereka menjelaskan tentang informasi yang disebarkan secara berjejaring yang lalu disebarkan secara viral.

Tugas mereka membuatku terkesima. Mereka membuat isu-isu hitam demi menurunkan elektabilitas seorang capres. Mereka mengendalikan dana besar untuk membayar media. Iklan disebar di mana-mana. Mereka telah membuatku tercengang saat bercerita tentang cara kerja intelijen yang mereproduksi isu. Mereka lalu memanfaatkan para buzzer atau penggema isu yang akan meneruskannya hingga ke lorong-lorong dunia maya.

Cara kerja mereka adalah ‘menyerang sebelum diserang.’ Di saat mereka tahu bahwa tim lawan memiliki amunisi serang, maka mereka menyerang terlebih dahulu. Mereka lalu menebar isu ke beberapa grup besar facebook atau twitter, kemudian disebarkan ke mana-mana.

Diskusi dengan kawan-kawan ini membuatku sadar bahwa di dunia maya, etika adalah sesuatu yang tak pernah menjadi landasan gerak. Jika semua relawan terlanjur melihat arena pilpres sebagai arena pertempuran, maka semua gerak dan energi diarahkan untuk menang.  Mungkin mereka berpikir bahwa hanya dengan kemenangan, semua cita-cita bisa digapai dengan mudah.

Lewat kampanye hitam itu, mereka memperbanyak pundi-pundi keuangan. Mereka menangguk dana besar dari capres, serta dari para donatur yang tersebar di mana-mana. Mereka memanen banyak rupiah, hanya dengan cara menganalisis peta politik, mereprodiksi isu, menyebar kabar melalui media rekanan, dan terakhir, menyebarkannya melalui para pasukan dunia maya.

Politik memang telah lama kehilangan esensinya. Bukan lagi arena untuk merepresentasikan kepentingan publik, lalu mencari cara-cara paling tepat untuk membumikannya. Di mata kawan-kawan di hadapanku ini, politik adalah arena untuk menyebar kebencian, mengalahkan sosok lain dengan cara menikam dari belakang, lalu terus-menerus mempropagandakan gagasan tentang dunia yang lebih berkeadilan dan sistem yang menyejahterakan.

Dalam iklim politik yang penuh bujuk rayu itu, mereka membuai para laskar dunia maya untuk bergerak dengan ide-ide utopis yang diyakini akan terwujud kalau kandidatnya skses menjadi pemimpn. Politik menjadi alat untuk kuasa.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan teman yang menjadi pasukan dunia maya itu. Aku teringat pada ketulusannya dalam bersahabat, serta sikapnya yang menjaga tutur kata. Tak kusangka, dirinya yang tulus itu tiba-tiba saja menyebarkan berbagai isu ciptaan dua sosok yang mendadak kaya di hadapanku ini. 

Aku tiba-tiba saja mengingat keikhlasan sahabat itu. Aku sedih kala membayangkan dirinya yang diserahi pedang demi menjadi martir di dunia maya, sementara orang-orang yang dibantunya adalah mereka yang sedang memperkaya diri, mereka yang melihat politik sebagai ladang untuk menanam gagasan, yang kemudian dipanen sebagai materi.

Tiba-tiba saja, semuanya menjadi getir.



3 komentar:

Anonim mengatakan...

Memang ketika fitnah sudah dipakai untuk menyeràng menjatuhkan lawan maka telah nyata sebagai indikator kumpulan orang yang telah kehabisan akal sehat yang merasa kesulitan untuk mendapatkan sisi kekurangan faktual dari orang yang difitnahnya.

Anonim mengatakan...

Bro Yus...
terima kasih tulisan yang keren ini. Indonesia butuh orang seperti Anda yang peduli. Jujur als follow Bro Yus.
ingat sebuah ungkapan 'vince in bono malum'= kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan...
Salam DUA JARI.
als

rakyat mengatakan...

posting yg menarik bro. isinya membuat saya berpikir apakah permainan politik akan selalu kotor dan makin kotor, begitu sulitkah mendapatkan politik yg bersih dan mendidik? kapan yaa.. kapan...

Posting Komentar