Kisah Haru Jokowi - JK di Kapal Phinisi


perahu phinisi yang belum kelar di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan (foto: tempo.co)

DI atas Kapal Phinisi Hati Buana Setia, si kurus yang menjadi presiden terpilih itu berpidato bersama wakilnya. Tak ada kalimat berapi-api yang menembus langit. Tak ada kalimat penuh gelora yang menghujam ke dasar samudera. Ketika si kurus itu usai berpidato, ia menuntun wakilnya untuk menemui sang nakhoda, sosok yang mengenali setiap inchi di kapal itu dan setiap saat menyabung nyawa di laut lepas. Maka di atas phinisi khas suku Bugis-Makassar itu, terpampang satu episode paling mengesankan di penghujung fragmen pemilihan presiden.

***

LELAKI itu bernama Gasaling Madali (54). Ia baru saja mengarungi samudera di daratan Sumatera bersama kapal phinisi. Nakhoda yang telah kenyang makan asam garam ini mengantarkan muatan berupa berbagai barang. Hari-harinya adalah meniti di tengah lautan yang seringkali tak ramah. Ia mesti mengemudikan kapal yang setiap saat harus siap menghadapi ombak bergulung-gulung dan hendak menelan. Di tengah keadaan itu, ia harus tenang, lalu membuat banyak keputusan.

Seorang nakhoda adalah seorang pengambil keputusan tertinggi di atas kapal. Ia adalah pengendali serta pengarah ke mana kapal itu hendak melaju. Tak ada satupun orang yang bisa mengingkari keputusannya di lautan lepas. Bahkan seorang jenderal sekalipun harus tunduk padanya ketika berada di kapal itu. Jenderal bisa punya kuasa atas pasukan. Tapi di atas kapal, kekuasaannya mesti tunduk pada seorang nakhoda yang paling mengenali dan memahami laut sebagaimana dirinya.

Tujuh layar pada phinisi adalah simbol dari tujuh samudera. Pantas saja jika pelaut Bugis Makassar bisa berkelana hingga tempat-tempat yang jauh. Mereka mengikuti hukum laut yang diterapkan Raja Gowa, Sultan Alauddin, bahwa “Tuhan menciptakan darat dan laut, maka lautan adalah milik semua orang. Belum pernah saya dengar ada orang yang dilarang karena melayari lautan.” Maka berkelanalah para pelaut itu sejauh kapalnya terbawa angin. Di sepanjang pesisir itu, mereka membangun peradaban, beranakpinak dengan penduduk setempat, dan menyebarkan pengetahuan memahami lautan.

Hari itu, Gasaling dipanggil pihak syahbandar. Ia diberitahu kalau kapalnya akan dipakai untuk pidato kemenangan politik. Barangkali ia tak paham tentang ajang pilpres dan siapa saja yang bertarung. Ia lebih tertarik membahas ombak bergulung atau formasi bintang-bintang yang dipahami para nakhoda Bugis Makassar sebagai peta untuk mengarahkan kapal. Tapi ia sangat mengenali Jusuf Kalla, tokoh masyarakat Bugis yang sekampung dengan Gasaling. Barangkali ia mengenali pria yang dipanggil Joko Widodo atau kerap dipanggil Jokowi itu.

Jokowi lalu menaiki ke kapal itu bersama Jusuf Kalla. Gasaling menyambut mereka. Tim sukses Jokowi – JK, Arya Bima, mengatakan bahwa penyambutan itu berjalan dengan alamiah, tanpa banyak direncanakan. "Yang menyambut bukan pejabat. Tapi kapten kapal yang langsung menyambut Pak Jokowi dan Pak JK sewaktu masuk ke kapal. Jadi penyambutan oleh kapten kapal, sebagaimana wajarnya," jelasnya.

saat Jokowi - JK berpidato di atas phinisi (foto: tribunnews.com)

Orang-orang luput mengenali bahwa fragmen ketika dua pemimpin bangsa yang bertemu soernag nakhoda laut ini adalah episode paling menarik dari fragmen yang sedang berjalan. Betapa seorang nakhoda laut seperti Gasaling mendapatkan kehormatan ketika berhadapan langsung dengan seorang calon nakhoda di kapal yang lebih besa bernama Indonesia. Pertemuan mereka adalah pertemuan pemimpin di dua medan, namun sama-sama saling mengapresiasi keberadaan masing-masing.

Jokowi lalu berpidato tentang Indonesia masa depan yang tak lagi berbicara nomor satu atau nomor dua, angka yang digunakan saat pilpres. Ia meminta semua orang untuk menyongsong sebuah zaman baru, ketika politik menjadi arena kegembiraan sekaligus arena pembebasan bagi semua. Sebuah harapan hadir laksana lumba-lumba yang berkejaran di laut lepas.


***

MEDIA massa mengulas analisis tentang makna pidato di atas phinisi itu. Ada pengamat yang mengaitkan kapal itu dengan Jusuf Kalla sebagai seseorang dengan latar budaya Bugis. Tapi banyak juga tim sukses menyebut pidato itu sebagai penegasan tentang visi maritim yang akan mewarnai kanvas pemerintahan baru nantinya. Tapi saya melihatnya dari sisi berbeda.

Pertama, Jokowi – JK hendak menegaskan tentang kepemimpinan berbasis maritim, yang membenci segala hal menyangkut feodalisme. Di laut, tak ada kepemimpinan yang berbasis kekerabatan atau penunjukan dari atas. Seorang nakhoda adalah seseorang yang memulai karier dari bawah. Tolok ukur seorang nakhoda adalah pengalaman dan kecakapan membawa kapal phinisi, yang tak hanya anggun serupa angsa di atas air, namun juga bisa tangguh dan perkasa ketika menantang ombak.

Barangkali, seorang nakhoda bisa ditunjuk. Akan tetapi samudera akan menjadi penentu sejauh mana kecakapan dan kemampuan seseorang mengendalikan kapalnya. Sebagaimana dicatat antropolog Amerika Serikat Gene Ammarell, nakhoda kapal phinisi lauh lebih ulung dibandingkan nakhoda di negeri-negeri barat. “Nakhoda barat terlalu mengandalkan alat modern seperti kompas dan GPS. Sementara nakhoda phinisi bisa membaca bintang-gemintang, langit, gelombang, angin, hingga hewan laut sebagai peta yang menunjukkan arah.”

Budaya lautan adalah budaya yang anti feodalisme. Tak ada istilah kebangsawanan di laut. Semua orang memiliki tanggungjawab masing-masing. Sekali seseorang berikrar menjadi anak buah kapal (ABK), ia mesti siap sedia dengan berbagai situasi yang kadang susah diprediksi. Hari-hari adalah bekerja serta kesiapan untuk menjadi satu tim yang bekerja sama demi menggapai pelabuhan.

Sebagaimana nakhoda laut, Jokowi bukanlah orang baru di kapalnya. Ia telah lama berkiprah pada berbagai level pemerintahan. Demikian pula dengan Jusuf Kalla. Ia juga telah lama melintang sebagai pebisnis, kemudian menjadi meneteri dan wakil presiden. Mereka menunjukkan pentingnya keja keras dari bawah demi menggapai karer di level yang lebih tinggi.

Kedua, Jokowi – JK ingin menunjukkan filosofi pemimpin lautan yang hendak menjiwai karakter kepemimpinannya. Seorang nakhoda atau kapten laut adalah mereka yang bersedia untuk mengorbankan dirinya pada saat-saat kritis. Para nakhoda memikirkan keselamatan lebih dahulu, setelah itu barulah memikirkan keselamatannya. Melalui pengorbanan, para nakhoda menunjukkan dedikasi bahwa mereka telah mewakafkan dirinya untuk keselamatan orang lain.

replika phinisi di Pulau Barranglompo, Makassar

Dalam berbagai budaya, terdapat satu pahaman universal bahwa nakhoda dan kapal adalah senyawa yang tak terpisahkan. Jika suatu saat kapal itu mengalami nahas dan karam, maka pantang bagi nakhoda untuk menyelamatkan diri. Ia akan ikut bersama kapalnya ke dasar laut demi sebuah tindakan pengorbanan diri, setelah sebelumnya memastikan semua penumpangnya selamat.

Nakhoda kapal Titanic Edward Smith memilih untuk berada di kapal ketika lautan dingin menelan kapal itu. Sikap yang sama juga nampak pada Kapten Rifai, nakhoda kapal Tampomas II yang karam di Kepulauan Masalembo. Nakhoda hebat adalah mereka yang memikirkan orang lain, setelah itu memikirkan dirinya. Keselamatan para penumpang jauh lebih penting dari keselamatn diri. Inilah esensi kepemimpinan maritim.

***

GASALING menyambut Jokowi dan JK. Ia sempat menangis ketika berjabat tangan dengan mereka. Ia sering merasa dirinya hanyalah warga biasa, rakyat kecil yang tak punya kesempatan bertemu seorang kepala negara. Tapi ia merasa amat berbangga sebab seorang nakhoda dari kapal besar bernama Indonesia telah datang mengunjunginya.

Setelah itu, seorang tim sukses mendatanginya. Seseorang itu menyodorkan segepok uang sebagai tanda terimakasih karena mengizinkan kapalnya digunakan. Gasaling langsung menolak. Baginya, kehormatan ketika kapalnya disinggahi jauh lebih bermakna ketimbang segepok materi. Ia mengatakan bahwa keramahan di atas laut itu jauh lebih penting dari apapun. Lautan ibarat kanvas bagi para pelaut untuk saling bersilaturahmi, berbagi inspirasi, bertukar budaya, serta saling memperkaya kebudayaan.

kapal yang berlayar di laut Sulawesi

Sekali lagi ia menunjukkan kearifan di atas laut. Ia seakan menampar orang darat yang begitu tergila-gila dengan materi dan melakukan apapun untuk materi. Baginya, materi adalah konsekuensi dari penjelajahan di atas lautan. Ia menunjukkan bahwa kearifan dan kebesaran jiwa adalah kekayaan terbesar bangsa Indonesia yang selama ini terabaikan. Hanya mereka yang membuka pikiran dan hatilah yang bisa menemukan bahwa kekayaan itu tersebar di mana-mana, termasuk pada diri pelaut tangguh sebagaimana Gasaling.(*)



2 komentar:

lisa s mengatakan...

Cerita yg menyentuh

Anonim mengatakan...

Keren pak gasaling.

Posting Komentar