Jokowi, Prabowo, dan Kurusetra Dunia Maya


Jokowi dan Prabowo di pilkada DKI


PUBLIK dunia maya tanah air tengah menyaksikan satu palagan pertempuran paling seru di dunia politik kita hari ini. Bukan pertarungan gagasan atau adu cerdas, melainkan duel kampanye negatif. Relawan bayangan capres Prabowo Subianto dan relawan Joko Widodo tengah adu kuat untuk berebut wacana demi menebar keburukan lawan politiknya. Pelajaran apakah yang tersisa bagi publik saat menyaksikan duel sengit di kurusetra internet ini?


LELAKI itu baru saja mengaktifkan jaringan internet di rumah kecilnya di kota Makassar. Ia lalu membuka situs facebook dan twitter demi mengetahui informasi tentang teman-teman serta keluarganya. Sebagai profesional muda, ia rajin berselancar di dunia maya dikarenakan dirinya tak cukup waktu untuk menemui semua sahabatnya yang tersebar di banyak kota.

Baginya, internet adalah ruang untuk memperbarui kabar, sekaligus belajar memahami berbagai  wacana yang tengah marak. Dunia maya serupa oase untuk sejenak melepaskan diri dari rutinitas kerja kantoran yang tensinya kadang tinggi hingga mulai menjenuhkan. Kemarin, ketika lelaki itu membuka facebook, ia lalu bersungut-sungut dan menunjukkan kekesalan. Ketika kutanya ada apa gerangan, ia menjawab singkat, “Saya kesal melihat orang-orang saling menjelekkan di dunia maya.”

Lelaki itu benar. Bagi mereka yang mencari kedamaian, dunia internet tanah air bukanlah rumah yang nyaman. Seiring dengan momentum politik, banyak yang memanfaatkan internet untuk berbagi pesan-pesan politik. Belakangan ini, pesan itu tak lagi dikemas dengan santun sebagaimana seorang sales berwajah ramah. Pesan itu mulai dikemas menjadi bahasa penuh sindiran, saling klaim kehebatan, hingga saling menjelekkan kandidat lain. Dunia maya serupa padang kurusetra, yang dalam kisah Mahabhatrata menjadi arena pertempuran akhir. Dunia maya kita telah menjadi tempat berbagi energi negatif.

Malah, belakangan ini istilah-istilah dalam dunia peperangan mulai sering disebut. Tim sukses satu presiden Prabowo Subianto membuat cyber army (pasukan maya), yang bertujuan untuk menyosialisasikan pesan tentang Prabowo di dunia maya. Di facebook, saya menemukan banyak teman yang hari-harinya adalah mempromosikan Prabowo.

Awalnya positif. Belakangan, ketika Jokowi mulai memproklamirkan diri sebagai capres, tim itu mulai mereproduksi isu-isu yang berisi serangan. Muncullah isu tentang keterlibatan asing, permainan para cukong, hingga mempersoalkan religiusitas seorang kandidat. Serangan itu justru disulut oleh beberapa akun anonim, yang datang dengan membawa banyak info-info yang menjadi api untuk menyirami bensin. Tanpa verifikasi, info itu menyebar cepat dan seolah menjadi kebenaran. Puncak dari serangan itu adalah munculnya puisi dari pimpinan partai yang isinya adalah kecaman kepada tim pendukung Jokowi.

Sayangnya, puisi itu justru membangkitkan macan tidur. Tim dan relawan Jokowi langsung bangkit dan tak mau lagi berdiam diri. Jika selama pemilu legislatif tim ini bungkam, maka belakagan ini mereka mulai unjuk kekuatan. Meskipun di twitter, akun Jokowi sangatlah lemah sebab tidak dikoordinir dengan baik, tim ini mendapat banyak bala bantuan dari relawan yang tersebar di mana-mana.

Dari berbagai tempat, banyak orang bersedia untuk menjadi tameng dan membalas komentar. Beberapa dari mereka adalah relawan Jasmev, yang merupakan singkatan dari Jokowi-Ahok Social Media Volunteer, yang dahulu menjadi relawan untuk pemenangan pilgub DKI. Mereka muncul di berbagai tempat, susah terdeteksi, dan secara simultan mulai membalas semua cacian dan hinaan pada Jokowi. Mereka tak hanya membentengi Jokowi, namun juga mulai menyerang Prabowo. Melalui sejumlah status dan komentar, mereka hendak menunjukkan bahwa Prabowo tidaklah lebih baik dari Jokowi. Entahlah.

Jika dirunut, kehadiran perang di dunia cyber ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, tim sukses Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lebih dulu membentuk jejaring dunia maya demi melawan habis-habisan semua kecaman atas partainya, sekaligus ajang promosi. Sayangnya, relawan yang idealnya bisa menyuarakan hal positif ini belakangan justru ikut menebar energi negatif yang menghabisi kelompok lain. Maka kian ramailah dunia maya dengan mereka yang saling menebar isu, menebar berita, serta energi kritik yang dikemas dalam pesan-pesan penuh kebencian.

Suara Publik

BAGAIMANAPUN juga, pertarungan sengit di dunia maya itu bukanlah representasi dari suara publik. Para petarung dunia maya itu laksana pedagang kecap yang saling klaim bahwa kecapnya nomor satu. Di luar lingkaran mereka, ada publik yang tengah menimbang-nimbang mana yang terbaik. Tanpa disadari para ‘prajurit’ itu, banyak orang yang justru jenuh dan mulai muak menyaksikan adu kebencian di dunia maya itu.

Saya mengenal seorang sahabat yang kerap memblokir akun dari tim sukses atau simpatisan capres yang setiap saat menebar kebencian pada kandidat lain. Kata sahabat itu, dunia internet sejatinya menjadi tempat untuk  menemukan inspirasi. Nmaun banyaknya kabar penuh kebencian pada orang lain justru menghadirkan rasa tak nyaman. Meskipun pesan penuh kebencian itu biasanya musiman, dalam artian hanya pada musim tertentu, tetap saja menimbulkan ketidaknyamanan.

Pertanyaannya, mengapa para kandidat capres itu tidak belajar dari pengalaman di tempat lain bahwa mereka yang memulai serangan atau ikut-ikut menjelekkan kandidat lan adalah mereka yang akan mendapat cap negatif di mata publik? Mengapa mereka tak juga mengubah pola kampanye menjadi arena untuk menyerap berbagi inspirasi dan kebaikan, lalu menjadikannya sebagai spirit untuk membangun tanah air?

Dua tahun lalu, saya menyaksikan bagaimana kampanye presiden Amerika Serikat di media sosial. Ketika menghadiri kampanye Obama, tim sukses akan mencatat alamat email semua orang. Setelah itu, semua orang mulai mendapatan pesan email  dari Obama, Michelle (istri Obama), atau tim kampanye seperti Hillary Clinton yang berisikan inspirasi atau pesan-pesan positif agar orang lain bisa memulai hari dengan penuh inspirasi. Saya masih menyimpan salah satu pesan positif Michelle Obama yang meminta agar semua orang memahami betapa beratnya perjuangan suaminya untuk kemasalahatan orang banyak.

Jika di negeri Paman Sam itu, kampanye politik dikemas menjadi ajang persuasi yang serupa gadis manis sedang menawarkan dagangan, maka di tanah kita, politik laksana arena pertarungan antar para bandit yang saling pukul, saling piting, saling kunci, dan saling menghabisi. Saya tiba-tiba saja berpikir, apakah model saling serang di dunia maya ini adalah sisi yang sejatinya menunjukkan karakter bangsa kita yang tak suka membicarakan gagasan secara terbuka? Mengapa setiap perbedaan tak diselesaikan dengan saling adu argumentasi dengan menghampar data dan fakta lalu membiarkan publik menilainya?

Yup. Yang pasti, publik sedang menilai. Gara-gara politik dan anggapan bahwa kandidat capresnya adalah segala-galanya, dua orang sahabat bisa tak tegur sapa dan terlibat konflik. Gara-gara kampaye politik ala duel preman pasar itu, publik tidak mendapat banyak pencerahan dan pencerdasan. Kedepannya, publik harus dicerahkan untuk lebih kritis memandang siapapun yang membawa informasi. Peran-peran edukasi dan program media literasi mesti digelar demi mengasah kesadaran kritis. Partai politik juga mesti memiliki tim public relation yang handal, yang setiap saat bisa memberikan jawaban atau klarifikasi atas semua isu yang dilontarkan di dunia maya.

Yang pasti, publik tidak sedang diam. Banyak yang paham bahwa dalam dunia politik semua serangan ibarat melempar bumerang. Jika tak hati-hati, serangan itu akan kembali dan melukai diri sendiri. Nah, bisakah kita berharap banyak pada mereka yang suka menjelekkan sesama anak bangsa?





1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ente nyoblos jokowi ya?

Posting Komentar