PEREMPUAN itu tersenyum seusai menyapaku.
Selanjutnya ia menunduk. Hatiku tiba-tiba saja mekar. Suatu hari, aku mengenalnya. Kami sama-sama baru saja kembali dari kampus, di
hari pertama kami sebagai mahasiswa. Di dalam mobil kampus, aku berkenalan
dengannya. Ia membuatku tersenyum setelah sebelumnya kami sama-sama ‘disiksa’
oleh para senior.
Sesekali aku curi pandang ke arahnya.
Sosoknya tak seberapa tinggi. Ia semanis Yuni Shara, penyanyi yang saat itu
sedang naik daun. Model rambutnya juga mirip. Satu yang membuatku terkesima
adalah suaranya yang selalu lembut. Sungguh beda dengan intonasi suara
oang-orang sekampungku, yang lebih banyak teriak-teriak, walaupun kadang lawan
bicaranya itu sedang di hadapannya.
Selanjutnya kami sama-sama menjadi
mahasiswa. Kami tak menjadi teman akrab. Pada masa itu, aku sering merasa
minder. Aku agak menjauh dari para perempuan, apalagi kalau perempuan itu
cantik. Aku sering merasa sebagai orang udik yang tak pantas berada dalam iklim
pergaulan kota besar. Aku semakin minder ketika seorang sahabat sering menyebut
diri seperti kotoran. Di tengah rasa minder itu, aku tetap memperhatikan
sosoknya.
Suatu hari, ia menyuruh temanku untuk
mengangkat dua jergen air. Suaranya sangat lembut ketika menyuruh. Dengan
semangat 45, temanku mengangkat jergen besar itu. Aku yakin persis, kalau aku yang memintanya, pastilah teman itu akan menolak. Beda dengan dirinya yang bersuara lembut. Lagian, siapa sih yang akan menolak
jika diperintah dengan suara lembut?
Di luar dugaanku, ia tak sombong. Pernah,
ia datang dan duduk di dekatku, sembari ikut membaca buku wayang yang tengah
kubaca. Ia bisa menjelaskan beberapa istilah Jawa yang tak kupahami. Sebagai
balasannya, aku lalu membaca garis tangannya. Tentu saja, demi memudahkan
proses membaca garis tangan, aku mesti memegang tangannya. Saat itu kulihat barisan
teman lain menatap iri karena aku bisa menyentuhnya.
Pada masa itu, aku sukses menanamkan
keyakinan di mata banyak orang bahwa aku ini seorang cenayang. Dengan teknik
ala dukun sakti, aku mengaku bisa membaca garis tangan seseorang. Maka antrilah
para cewek untuk diramal masa depannya. Mereka tak tahu kalau aku hanya seorang pembual yang ingin mengambil kesempatan untuk memegang tangan mereka. Sementara para cowok justru marah karena aku tak mau meramal mereka. Enak saja,
ramalanku hanya buat cewek!
***
SEMALAM, aku membaca informasi di layar
facebook. Ia telah berpulang ke Rahmatullah. Ia meninggalkan seorang suami,
serta dua anak kecil yang manis. Dua anak itu semanis dirinya. Barusan pula
kuketahui kalau ia cukup lama bertarung dengan penyakitnya. Dan tiba-tiba saja hatiku
merasa kosong. Aku terdiam sesaat ketika ucapan duka mengalir melalui jejaring
sosial.
Kenangan itu ibarat porselen yang
tersimpan dalam lemari hati. Dalam hidup, kita menyimpan satu demi satu
porselen kenangan, kemudian terus bergerak mengumpulkan porselen lainnya. Hidup seringkali menjadi gerak untuk mengumpulkan beragam porselen kenangan, lalu menyimpannya secara rapi dalam banyak
rak-rak hati. Ada porselen yang terlupakan, namun ada pula yang sesekali muncul
dan membanjiri ingatan kita.
Tatkala mendengar berita tentangnya, semua
informasi menyangkut dirinya hadir dalam benakku. Porselen ingatan tentangnya
muncul seketika. Kami pernah melalui hari-hari yang sama. Ada suka dan ada
duka, yang kesemuanya berpadu menjadi satu kenangan yang susah dilenyapkan.
Kepergiannya mengingatkanku pada seorang sahabat dekat di
Papua yang meninggal dunia karena kecelakaan, dua tahun silam.
Dalam kurun waktu lima tahun, telah ada
beberapa sahabatku yang berangkat untuk menemui Yang Maha Mencipta. Hidup ini
serupa antri KTP di kelurahan. Tak ada aturan siapa yang duluan. Bahkan datang
lebih awal pun tak jadi jaminan akan dipanggil duluan. Kamu mesti siap setiap
saat jika dipanggil. Ketika saat itu tiba, kamu tak akan pernah bisa menolak.
Kamu harus patuh dan ikhlas menjalaninya.
Rupanya ia telah dipanggil. Namun ia telah
menunaikan tugas-tugas mulianya sebagai seorang istri dan ibu yang baik. Semoga
saja, tugas mulianya yang ditunaikan dengan baik itu akan menjadi cahaya terang
yang menuntunnya di alam sana, di alam penuh keabadian. Kuyakin kalau jalannya
amat baik, sebaik kesan yang ditanamkannya pada banyak orang.
Yah, perempuan bersuara lembut itu telah
pergi. Tapi porselen kenangan baik tentangnya, masih tersimpan baik di sini. Di
hati kami.
Selamat jalan sahabatku Nining Indrajaya.
2 komentar:
meski saya tidak mengenal siapa perempuan yang mas Yusran maksud, saya turut mendoakan semoga ia mendapat tempat terindah disisi-Nya, :)
salam hangat dari Bandung, :)
Terimakasih atas ceritanya mas Yusran, meskipun saya tidak mengenalnya, tapi saya ikut berduka.
Posting Komentar