Cengkeh Terakhir di Bumi TERNATE


pemandangan dari bebukitan Ternate

DI Bumi Moloku Kie Raha (Maluku Utara), tanaman cengkeh masih berbunga di setiap tahun. Tanaman yang dahulu menjadi pemantik kedatangan bangsa asing di tanah air kini nasibnya semakin menggiriskan. Hidup petani cengkeh kian terpinggirkan karena kurangnya perhatian pemerintah. Cengkeh seakan kehilangan kesaktiannya sebagai pusaka asli Nusantara yang dahulu telah membius bangsa Eropa. What?

***

BAPAK tua itu sedang memandang sebatang pohon besar yang tak berdaun. Ia lalu mendekat dan menyentuh batang pohon itu. Ketika saya mendekatinya, ia lalu bercerita tentang bagaimana pohon itu telah mati dan kini bekas-bekasnya akan segera lenyap. 

Padahal, katanya, pohon itu punya nilai sejarah yang amat tinggi, Pohon itu pernah membuat Nusantara amat kondang di seluruh dunia. Pohon itu adalah cengkeh Afo, yang merupakan pohon cengkeh tertua di dunia.

Pohon itu terletak di Kelurahan Tongole, sekitar enam kilometer dari pusat kota Ternate. Kondisinya memang memprihatinkan. Di pohon itu, ada tebasan parang yang entah dilakukan oleh siapa. Apakah itu sebuah keisengan? Mungkin. Bisa pula batang pohon itu dijual ke beberapa lembaga asing. Sungguh disayangkan sebab pohon ini adalah aset yang bernilai sejarah di jajaran pulau-pulau di kawasan timur Indonesia.

Bumi Ternate memang serupa surga yang jatuh ke bumi. Setiap kali berkunjung ke tanah ini, saya tak pernah berhenti berdecak kagum menyaksikan hamparan pulau-pulau yang seakan mengitari Gunung Gamalama. 

Di sini, waktu seakan diam di tempat, sebab semua orang terlampau asyik dengan apa yang disaksikannya. Di sini, sejarah dan juga hasil bumi menjadi dua energi yang menggerakkan laju pertumbuhan ekonomi, juga memberikan penghidupan bagi demikian banyak orang.

Di pulau-pulau di jazairah Maluku Utara, cengkeh adalah komoditas utama. Pada tahun 1512, Tome Pires menyebut tentang catatan penjelajah bernama Francisco Rodriguez tentang empat pulau berwarna biu yang disebut sebagai kepulauan rempah-rempah. Empat pulau itu adalah Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. 

Cengkeh lalu menyebar ke pulau lain seperti Banda, hingga akhirnya menjangkau negeri Eropa. Di sepanjang perjalanannya, cengkeh telah menggores peradaban, mempengaruhi banyak tradisi dan kebudayaan, lalu menjadi benih bagi industrialisme bangsa Eropa.

Saya tak terlalu paham tentang sejarah cengkeh. Tapi bapak tua di dekat cengkeh afu itu mengajarkan banyak hal. Ia bercerita tentang pohon cengkeh afu yang berumur 416 tahun. Dengan tinggi 36,60 meter dan lingkaran 4,26 meter, pohon ini mampu menghasilkan sekitar 400 kilogram cengkeh setiap tahunnya. 

Pohon ini menjadi penanda dari banyak kejadian penting. Mulai dari kedatangan bangsa-bangsa asing di Nusantara yang hendak berebut cengkeh, hingga bagaimana komoditas itu menjangkau tanah Eropa, lalu menjadi komoditas paling mahal.

Pelayaran Columbus

seorang petani yang menunjukkan cengkeh

Cengkeh memang menjadi saksi banyak hal. Dahulu, pelayaran yang dilakukan oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 bertujuan untuk menemukan India. Saat itu, India dianggap sebagai tempat mendapatkan rempah-remah dengan kualitas terbaik. Di masa itu, bangsa Eropa mengira bahwa India adalah penghasil rempah-rempah. 

Jalur pelayaran ke kepulauan Maluku pada akhirnya diketemukan melalui tanjung Harapan di ujung benua Afrika. Sejak itulah bangsa kulit putih (Inggris, Belanda dan Portugis) berdatangan untuk mencari rempah-rempah, khususnya cengkeh.

Pada masa itu, krisis pangan kerap melanda  angsa-bangsa berkulit putih. Sebelum lemari es ditemukan, pengawetan daging hanya dilakukan dengan eugenol dari bunga cengkeh. Makanya, bangsa Eropa sangat tergantung dengan bunga cengkeh sebab daging sapi dan domba adalah menu utama. 

Di musim dingin, ternak yang jantan harus segera dipotong supaya tidak menghabiskan persediaan jerami. Untuk mengawetkannya, daging tersebut dilumuri dengan serbuk bunga cengkeh kering.

Cengkeh juga identik dengan gaya hidup kelas atas. Sebelum memutus perkara, para hakim di Eropa mengunyah cengkeh terlebih dahulu. Harum-haruman cengkeh adalah gaya hidup kelas atas para bangsawan Eropa, yang kemudian menjadikan cengkeh sebagai komoditas utama yang dikejar hingga ke ujung dunia. Inilah penanda era kapitalisme yang melahirkan kongsi-kongsi dagang yang lalu datang untuk merambah Nusantara.

Cengkeh lalu didagangkan lintas pulau. Dari Maluku, cengkeh dibawa ke Jawa, lalu ke Sumatera, hingga Semenanjung Malaya. Setelah itu, cengkeh menempuh dua jalur perdagangan. Pertama melalui laut ke India dan jazirah Arab, Balkan lalu ke Eropa. Kedua ke Cina lalu melalui jalur perdagangan sutera langsung ke Timur Tengah dan Balkan. 

Cengkeh lalu menyisakan nestapa berkepanjangan. Datangnya kongsi-kongsi dagang Inggris dan Belanda lalu melahirkan monopoli, yang berujung pada kolonialisme. Nusantara menjadi tanah terjajah demi memuluskan hasrat mengejar kekayaan bangsa-bangsa Eropa.

***

BAPAK tua itu terdiam sesaat. Ia lalu bercerita masa kecilnya di kebun cengkeh. Ia masih ingat persis bahwa di tahun 1960-an dan 1970-an, para petani cengkeh bersorak kegirangan. Harga cengkeh melambung tinggi seiring pertumbuhan industri rokok kretek. Bahkan masyarakat lalu tergoda untuk menanam cengkeh besar-besaran. Banyak sawah disulap menjadi kebun cengkeh. 

Apalagi, menteri pertanian di masa itu adalah Prof Thoyin Hadiwijaya, seorang pakar cengkeh. Puncak kejayaan itu berakhir pada era 1990-an. Pemerintah untuk membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek justru menjalankan sistem monopoli. Para petani semakin terlantar karena tidak bisa menjual cengkeh. Banyak yang kemudian menebang pohon cengkeh.

saat saya ikut bermain 'bambu gila' di depan Kedaton Ternate
bersama dua gadis Ternate

Bapak itu masih mengingat jelas bahwa harga cengkeh pernah mencapai 80 ribu rupiah per kilogram. Inilah zaman keemasan baginya sebagai petani. Selanjutnya, keadaan mulai kontras ketika pemerintah melalui BPPC menangani pemasaran cengkeh. 

Komoditas ini hanya dihargai 7 ribu per kilogram. Kontras bukan? Itupun, para petani hanya akan menerima harga Rp 4.000,- per kilo. Itu pun banyak yang ditipu dan tidak dibayar. Untunglah, BPPC telah dibubarkan seiring dengan tumbangnya Orde Baru.

Di tanah Ternate, cengkeh menjadi saksi bisu atas banyak kejadian. Meskipun kini, masa depan cengkeh tetap saja tak jelas. Hingga kini, Indonesia belum juga punya pakar yang menguasai tanaman cengkeh. 

Di pasar global, India menjadi eksportir minyak cengkeh terbesar, padahal mereka tak punya cengkeh. Di dalam negeri, industri rokok kretek juga terancam tutup karena aturan pemerintah. “Tak lama lagi, keemasan cengkeh akan berakhir, sebagaimana era 1990-an,“ kata bapak itu dengan sedih.

Sungguh ironis. Negeri yang masyhur karena cengkeh, negeri yang banyak rakyatnya menggantungkan hidup pada cengkeh, justru tak bisa menjamin hidup para petaninya. Barangkali, bapak tua itu benar. Kelak, bunga cengkeh tidak seharum di abad-abad sebelumnya. Kelak, hanya akan akan satu cengkeh terakhir di tanah Ternate. Semoga tidak demikian.





2 komentar:

Unknown mengatakan...

Itu kampung halaman ku kak, ibu sy berasal dari sana ...tulisan ini sangat menarik seperti tulisan2 Ka yusran lainnya ... kita hrs ttp optimis kak, akan selalu ada tunas2 cengkeh yg baru :)

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar