Resensi Bukuku (2)



KEMBALI, aku menemukan sebuah resensi atas bukuku di blog pribadi. Resensi ini dtulis oleh Angelia Yulita, seorang mahasiswi Universitas Al Azhar, Jakarta. Aku berusaha menemukan data dirinya. Sayangnya, Paman Google tak banyak memberikan jawaban. Namun aku menemukan informasi kalau beliau pernah memenangkan lomba sekelas Olimpiade bidang biologi. Semoga tak keliru.

Terhadap semua resensi, aku diliputi rasa gembira dan bahagia. Aku senantiasa mengamini kata-kata seorang penulis bahwa kebahagiaan terbesar para penulis tidak terletak pada seberapa besar royalti, melainkan pada sekeping kenyataan, ketika seseorang membaca lalu mengamini gagasan yang pernah kau torehkan. Bahagianya berlipat-lipat ketimbang materi.

Berikut resensi yang dibuat oleh Angelia Yulita, sebagaimana bisa dibaca DI SINI. Jika Angelia Yulita membaca catatan ini, kuucapkan banyak terimakasih. Aku juga memohon maaf karena tulisannya dimuat di blog ini. Aku ingin mengabadikan catatan dari semua teman dan sahabat yang secara kebetulan membaca kalimat-kalimat yang kugoreskan. Terimakasih.


Kopi Sumatera di Amerika... Sehangat dan Senikmat Kopi Sumatera


Hai teman-teman setanah air!

Kopi Sumatera di Amerika... Sudahkan kalian membacanya? Jika diantara kalian belum pernah ada yang mendengar judul buku tersebut, atau ada yang baru saja hendak membelinya tapi masih menimbang-nimbang, maka kini aku di sini untuk meyakinkan kalian. Kopi Sumatera di Amerika karya kompasianer terkemuka Yusran Darmawan sungguh layak bagi setiap lembaran rupiah dan waktu yang akan kalian habiskan untuk membacanya!

Aku selalu mengapresiasi tinggi akan tulisan tangan hasil buah pikir cemerlang dari pemuda Indonesia. Mereka yang berlatar belakang dari keluarga yang biasa saja; mereka yang sesungguhnya mampu melihat jauh lebih luas dari kota kecil tempat kelahiran mereka; yang menyimpan hasrat dan mimpi sedemikian besar terhadap dunia pendidikan; mereka yang sesungguhnya adalah permata negeri ini. Bukan karena kerupawanan atau kekayaan mereka. Namun intelektualitas dan ideologi mereka yang kemudian menghadiahkan negeri ini satu hal yang amat penting... Inspirasi. Yusran Darmawan, tanpa ragu aku katakan, adalah salah satu pemuda itu.

Membaca buku ini sedari awal telah membuatku tersenyum. Sejak mengambilnya dari salah satu rak buku di Gramedia, aku tidak memiliki bayangan seperti apa isinya nanti. Aku juga tidak tahu siapa itu Yusran Darmawan. Pada sampul buku bernuansa cokelat itu, hanya sepenggal frasa tentang sang penulis: Kompasianer of The Year 2013. Kemudian dari balik sampul buku, aku mengetahui kalau si penulis ini adalah seorang blogger yang karena alunan kalimatnya yang khas, telah menarik perhatian banyak pihak dan berhasil memenangkan beasiswa ke Universitas Ohio di Amerika. Saat itu, aku memutuskan akhirnya membeli buku ini karena dua hal: aku sendiri kepingin banget dapet beasiswa ke Amerika jadi ga ada salahnya membaca kisah pemuda Indonesia yang berhasil melakukannya dan... Kopi! Aku yang adalah perempuan pecinta kopi, aku pikir ini adalah sejenis buku yang memuat kisah perjalanan kopi tradisional Sumatera yang menginvasi citarasa orang Amerika. Aku tentu tertarik. Lalu setelah lembar demi lembar aku membaca, aku sadar tidak ada paparan rinci tentang kisah perjalanan kopi yang aku kira sebelumnya.

Tapi satu hal yang aku rasakan, membaca buku ini rasanya memang seperti minum kopi. Hangat, nikmat, dan selayaknya kopi yang menjadi sahabat bagiku kala pekerjaan menumpuk (atau ketika menulis ini), aku telah tersenyum, tertawa, juga menangis bersama buku ini. Seperti bersama seorang sahabat. Kini ketika usai aku membacanya, tersisa perasaan yang tenteram dan menyenangkan... Sebuah harapan. Mungkin karena Yusran adalah refleksi dari apa yang aku harapkan mampu aku lakukan, yakni seseorang yang ngotot bekerja keras sehingga tantangan sesulit apapun pada akhirnya membuahkan berkah.

Buku ini memiliki enam bagian utama: prolog dan lima bab isi. Pada prolog aku menjadi lebih mengenal Yusran Darmawan. Sejatinya ia hanya seorang pemancing ikan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ayahnya juga bukan professor lulusan Harvard, tetapi hanya seorang guru biasa. Bukankah profil seperti ini juga dimiliki oleh jutaan anak lainnya di Indonesia? Bahkan mungkin ada diantara kalian yang membaca tulisanku sekarang. Satu hal lagi yang membuat Yusran Darmawan sama dengan kita semua adalah ia pun seorang pengkhayal dan penakut!

Ia kerap memimpikan bisa kuliah di luar negeri; mengkhayalkan bahwa dirinya cukup beruntung untuk bisa mewujudkan mimpi itu, tetapi juga kian pesimis terhadap dirinya sendiri. Ia pun merasakan takut bahwa mungkin peluang yang ia harapkan tak pernah datang. Dan inilah titik baliknya. Pada akhirnya ia tidak membiarkan rasa takut dan pesimis menggerogoti kehidupannya. Ia melangkah dan mencoba peruntungannya sendiri. Satu langkah maju inilah yang kemudian mengantarkannya sebagai salah satu dari 50 penerima beasiswa International Fellowship Program (IFP) dari Ford Foundation. Dan dimulailah perjalanannya ke negeri Paman Sam.

Ia yang sempat tertimpa sial dan kena omelan isteri karena hilangnya tas ransel berisi laptop dan berbagai dokumen penting sesaat sebelum ia berangkat. Ia yang sempat dicurigai oleh pihak imigrasi Amerika karena namanya yang berbau Arab. Ia yang memulai studinya dengan bahasa Inggris pas-pasan. Lalu kemana semua sandungan itu membawanya? Sudah kubilang ia ini ngotot bekerja keras bukan? Maka sebagai hasil kengototannya itu, ia selalu memperoleh nilai terbaik di setiap subjek kuliah yang diambilnya. Dan jangan lupa... Ia kini seorang penulis yang kian disegani! Baik di dalam dan luar negeri. Apa yang terjadi padanya sungguh serupa dengan kalimat bikin-bikinan ku sendiri: Curiosity and passion to learn make Da Vinci.

Bagian pertama dari buku ini berjudul Menjemput Takdir. Halaman demi halaman dari bagian ini membuatku tersenyum dan seringkali terpingkal. Secara lugas Yusran menceritakan kesulitan dan kesialannya setelah meneguhkan niat untuk terbang ke Amerika demi cita-cita yang susah payah diraihnya. Pada bagian ini pula ia menyelipkan bab yang menyemangati kita untuk tidak perlu takut akan kendala bahasa. "Bahasa Inggris Hancur, Cumlaude di Amerika". Judul bab yang amat menggugah sekali bukan! Dan aku terlebih lagi berhasil termotivasi oleh Yusran. Bagaimana tidak? Kuliah dalam negeri yang pakai bahasa Indonesia saja aku ga berhasil cumlaude. Apalagi yang berbahasa Inggris?

Oh tapi tunggu dulu, mungkin memang benar kendalanya bukanlah bahasa. Karena di bagian ini Yusran menceritakan pula perbedaan atmosfer akademik antara Amerika (lebih tepatnya di universitasnya tempat ia belajar) dan Indonesia. Ini sepenggal kata-kata yang aku suka: "Di beberapa kampus di Tanah Air, ujian menjelma sebagai pengadilan atas mahasiswa. Ujian akhir menjadi pembuktian apakah mahasiswa layak melangkahkan kaki di semesta kehidupan.". Nah bagaimana menurut kalian? Kalau menurutku sih, sepertinya bukan hanya di beberapa kampus ya Mas Yusran. Hampir semuanya sepertinya.

Memasuki bagian kedua buku, ini yang paling kusuka: Ada Indonesia di Negeri Paman Sam. Pada bagian ini aku tergugah betapa Indonesia sungguh sangat diminati oleh penduduk negeri adidaya itu! Seorang professor di Universitas Ohio, Prof. William Condee, yang sampai ke Bali demi belajar pementasan wayang, lalu pulang kembali ke negerinya dan mementaskannya sendiri sebagai dalang! Betapa mengagumkan komitmen seperti itu.

Belum lagi banyaknya bule-bule yang senang belajar bahasa Indonesia. Bahkan salah seorang dari bule-bule itu meyakini bahwa kelak bahasa Indonesia akan menjadi bahasa internasional karena penuturnya terbanyak keempat di dunia. Tidak berhenti sampai di situ saja, aku tersenyum lebih dalam lagi saat Yusran menceritakan literatur-literatur dari Indonesia yang terpelihara rapi di perpustakaan-perpustakaan Amerika. Terjejer secara terhormat pada rak yang bersih dan berpernis. Diantaranya bahkan ditemukan komik mahakarya dari sang komikus Indonesia RA Kosasih!

Balik membalik halaman di bagian kedua buku ini, akhirnya sampai juga aku di bab yang awalnya kukira adalah topik utama buku ini: Kopi Sumatera di Amerika. Tak terbayangkan betapa bangganya aku ketika mengetahui kalau kopi Sumatera merupakan menu kopi andalan di kafe mumpuni seperti Starbucks dan di kedai-kedai kopi lainnya di Amerika. Tapi semuanya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ketika mendengar penduduk asing di sana mengagumi sosok Presiden pertama kita, Pak Sukarno.

Bagian kedua ini tak lain juga adalah bahan perenungan dari Yusran untuk kita anak-anak Indonesia. Ketika orang-orang asing begitu mengagumi seni budaya kita, mengagumi keberagaman suku dan adat-istiadat kita, mengagumi bahasa kita, bahasa Indonesia... Kita yang berdiam di negeri ini malah terbawa arus modernisasi dan sontak menganggap kekayaan budaya kita sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Seni tari, alat musik daerah, ritual keagamaan suku pedalaman... Sebagian besar kini hanya bernapas lewat panggung festival dan bukan lagi terpelihara sebagai tradisi. Sebagian lagi bahkan berusaha kita matikan karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan. Lantas siapakah kita hendak menghakimi mereka dan mengajarkan mereka tentang sebuah norma?

Masih pada bagian kedua buku ini, Yusran menyisipkan pula pengalamannya sebagai seorang Muslim di Amerika. Bagian ini mungkin adalah rekomendasi utama untuk teman-teman Muslim ku di Universitas Al Azhar Indonesia dan juga untuk kalian semua para Muslim yang membaca tulisan ku. Yusran memberikan gambaran tentang kehidupan sebagai Muslim di Amerika yang mungkin belum banyak diketahui teman-teman. Tentang betapa ketatnya pengawasan terhadap penganut Muslim sejak peristiwa penabrakan pesawat ke menara WTC yang didalangi teroris tak bermoral dan tak bertanggung jawab.

Tentang sepinya suasana puasa dan lebaran di Amerika sana. Tanpa parade, perayaan dan kembang api yang riuh. Tentang sulitnya mencari masjid untuk shalat. Namun diantara semuanya itu, kaum Muslim di Amerika menjadi semakin solid dan nyata dalam mengkampanyekan sisi indah dari Islam itu sendiri. Mereka semua semakin kuat bergandengan tangan untuk bertahan dari prasangka banyak pihak. Sungguh disayangkan memang prasangka dan kecurigaan itu masih cukup kental di Amerika. Tapi mungkin luka penduduk negeri itu akibat serangan 9/11 telah menjadi monumen peringatan bagi mereka bahwa sejarah tidak boleh terulang. Aku sendiri berharap, kelak perbedaan antar manusia dapat menjadi kepingan puzzle yang akhirnya saling melengkapi dan menghasilkan lukisan besar nan indah.

Dari banyak tulisan dalam buku ini yang menggambarkan kekaguman Yusran akan Amerika, maka bagian ketiga: Tak Selalu Adidaya, adalah cara Yusran untuk mengimbangi pandangannya. Pada bagian ini, kita diajak melihat wajah lain Amerika yang tidak selalu cantik dan glamor. Satu permasalahan yang sama-sama dialami Indonesia dan Amerika adalah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin tanpa tempat tinggal yang layak terus bertambah di kedua negeri yang saling berjauhan ini. Mereka sama-sama mengemis demi sedikit receh yang bersedia disisihkan oleh siapa saja yang lewat di depan mereka. Walaupun memang ada perbedaan cukup besar antara pengemis Indonesia dan Amerika. Yah harus aku akui bahwa pengemis di Amerika sana lebih kreatif dalam teknik-teknik mengemis. Berbeda dengan di Indonesia yang sebagian besar tanpa usaha (hanya diam saja menanti recehan jatuh ke wadah penampungan uang mereka) atau paling tidak, mengamen. Meskipun demikian, dari buku ini aku pun mengetahui kalau pengemis Amerika yang lebih lugas dan kadang memaksa sepertinya menakutkan juga! Ingat-ingat untuk menghindari tipe yang seperti ini kalau jalan-jalan ke Amerika.

Secara mengejutkan pula aku membaca dari bagian ketiga ini bahwa Amerika pun sempat mengalami krisis kebudayaan! Sempat pada suatu masa di mana mereka melupakan bahwa suku Indian sejatinya adalah penduduk asli Amerika. Suku Indian sempat terisolir dari peradaban dan budayanya kian tergerus arus modernisasi masyarakat Amerika lainnya. Ini sungguh sisi lain dari Amerika yang baru ku tahu. Mungkin memang benar kata-kata Yusran... Tidak selalu adidaya. Negara sebesar Amerika pun tidak resisten menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi.

Sisi lain dari Amerika dapat kita selami lebih dalam pada bagian keempat buku. Warna-warni Amerika, demikian judul bagian ini. Di dalamnya, Yusran menceritakan kembali mengenai tragedi penembakan yang dilakukan oleh seorang mahasiswa doktoral, James Holmes, pada saat pemutaran film Batman: The Dark Knight Rises di Aurora, Colorado. Peristiwa tersebut sungguh membuka penyadaran ku akan besarnya potensi depresi seorang mahasiswa doktor di Amerika sana. Memang tragedi penembakan itu bukanlah yang pertama, namun yang kesekian dari yang pernah terjadi sebelumnya.

Yusran memaparkan pula bahwa akar permasalahan dari tragedi tersebut sebenarnya terletak pada dunia sosial, bukan pada beban kuliah doktor. Sejak masih kecil, anak-anak diarahkan untuk menjadi sosok yang diharapkan orang-orang di sekitarnya. Terutama keluarga. Pada kepala yang masih kecil itu, pada mata yang belum melihat seluruh dunia itu, ditanamkan suatu ambisi yang harus ia raih ketika ia dewasa nanti. Pada akhirnya, arahan tanpa pilihan inilah yang lambat laun menyakiti jiwanya. Membaca ini, aku tertegun dan diam-diam bersyukur bahwa keluarga ku tidak pernah sedikit pun berusaha mengarahkan aku. Bukan karena tidak perduli, namun karena percaya. Aku sungguh bersyukur.

Cukup dengan tragedi yang memilukan, Yusran lekas membawa kita pada sisi cantik lainnya dari Amerika. Entahlah, menurut ku mungkin karena Yusran sendiri lebih banyak merasakan hal positif di sana. Toh semua negara tentu punya tantangannya sendiri. Ada luka masa lalu yang membekas di wajah glamor negara tersebut. Tapi justru luka itu lah yang membuatnya tangguh. Ibarat luka perang yang menjadi tanda keperkasaan seorang tentara. Dari berbagai sisi cantik Amerika pada bagian ini, aku tertarik akan mitos bahwa apabila kita mengelus sepatu patung John Harvard, sang pendiri Harvard, maka kesempatan kita masuk universitas itu meningkat 50%!

Nah, aku tergoda mencoba peruntungan itu. Tidak hanya itu saja, Yusran berhasil membuat ku miris dengan membandingkan perpustakaan Amerika dan Indonesia. Belum lagi tulisannya tentang petani yang menjadi profesi terhormat di negeri itu. Aku hanya berpikir, apakah kini saatnya menambah definisi baru tentang negara maju? Bahwa sesungguhnya negara maju adalah negara yang menghargai para petani dan nelayannya. Mereka yang terjun langsung berkotor-kotor di tanah dan lumpur demi memenuhi kebutuhan pangan kita, mereka yang meninggalkan keluarganya untuk pergi melaut demi ikan yang kita makan. Mereka yang menanam dengan tangannya sendiri. Memancing dengan kapal buatannya sendiri. Sedih rasanya melihat mereka yang menyediakan kita makanan malah harus yang merasa kelaparan dan kurang gizi. Mengapa sedikit sekali penghargaan yang kita berikan padahal sebegitu besarnya kita bergantung kepada mereka? Sunguh miris benar aku.

Namun pada bagian ini, aku suka dengan gagasan Yusran untuk mengganti nama Rumah Sakit menjadi Rumah Bahagia berdasarkan pengalamannya di Rumah Sakit O'bleness di Athens, Ohio. Suasana yang hangat, ceria, juga para perawat yang ramah adalah penyembuh utama di rumah sakit tersebut. Orang sakit tidak diperlakukan selayaknya orang yang memiliki penyakit menular. Dokter dan perawat bekerja tanpa terlihat terbeban. Seandainya setiap rumah sakit di dalam negeri seperti ini, aku tidak tahu apakah akan mengurangi jumlah pasien, atau malah menambahkannya hehe...

Memasuki bagian terakhir buku, inilah saat aku mulai menitikan air mata kala terharu akan kisah-kisah yang disajikan. Bagian terakhir ini berjudul Cinta Rasa Amerika. Awalnya aku masih terpingkal tak percaya ketika membaca kisah teman si penulis di Amerika yang menikah via Skype dengan suaminya yang ada di Sulawesi sana. Betapa internet kini telah menjawab pertanyaan yang bahkan mungkin tidak bisa dijawab Einstein: bagaimana caranya menyatukan ruang dan waktu! Sungguh revolusioner pemanfaatan internet zaman sekarang. Kemudian, ketika Yusran menceritakan upayanya menyatukan sepasang sejoli yang kini telah sangat lanjut umurnya, nah aku menangis. Tipikal perempuan kalau membaca kisah romantis kelewat batas. Bagaimana tidak! Ah tapi aku tidak mau menceritakan detilnya di sini. Biar kalian membaca sendiri kisahnya yang teramat indah itu. Tapi yang pasti, aku memberi tepuk tangan kepada Yusran yang mau repot-repot terlibat dalam kisah cinta itu. Seandainya ia tidak kurang kerjaan mungkin kini dunia kekurangan satu pasangan dengan kisah cinta yang tak termakan waktu.

Aku juga amat terbawa ketika membaca berbagai perbuatan baik orang-orang Amerika sana yang dialami oleh Yusran. Selalu menyenangkan mengetahui bahwa di luar sana ada sebuah tempat di mana para penduduknya saling tolong-menolong lepas dari segala perbedaan yang ada. Selama ini aku selalu merasa bahwa orang-orang Amerika itu individualis dan cuek satu sama lain. Kini aku menyadari bahwa mereka mungkin individualis sampai pada tingkat tertentu. Masing-masing menyadari bahwa setiap orang memiliki hak-nya sendiri. Pada tahap itu mereka tidak banyak menginterfensi atau menghakimi. Namun di sisi lain, mereka tahu kapan harus menawarkan pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkan. Aku sendiri ingin berada di tempat seperti itu.

Ulasan ku tentang Kopi Sumatera di Amerika karya Yusran Darmawan berakhir sampai di sini. Apa yang aku tulis baru sedikit sekali dari berbagai kejutan yang akan kalian temui ketika kalian membaca buku ini sendiri. Pada buku ini, aku dapat merasakan besarnya cinta Yusran kepada Indonesia meskipun ia mengambil studi di negara lain. Layaknya seorang pria yang tengah jatuh cinta dan melihat wajah kekasih wanitanya kemana pun ia melangkah, demikianlah rasanya si Yusran itu. Kemana pun ia pergi, ia selalu bisa melihat jejak bumi Indonesia.
Bukan karena jejak itu begitu mudah terlihat, tapi cinta dan rindunya kepada negeri ini yang membuatnya selalu melihat Indonesia. Apa yang ia lakukan membuka wawasan baru bagaimana mencintai negeri ini lebih baik lagi. Ia menunjukan bahwa kita tidak harus berada di sini untuk membaktikan diri. Prestasi yang kita raih di negara lain akan turut mengangkat derajat tanah air kita. Hal positif yang kita rasakan di negara lain biarlah turut memperkaya perenungan kita terhadap kondisi negeri ini. Kita bebas mencari ilmu dan pengalaman di mana pun yang kita mau. Tapi ingatlah untuk kembali. Makanlah tahun-tahun untuk menjelajah luasnya samudera dan benua, tapi lalu pulanglah. Karena saat kita pulang kembali, kita akan memperbaiki, merubah, memperkaya dan memperindah wajah ayu Ibu Pertiwi sehingga tidak kalah elok dari tempat-tempat yang kita kagumi di luar sana.

"Keajaiban adalah milik mereka yang menyingsingkan lengan baju untuk melakukan sesuatu dan berani menebar jaring harapan."
Yusran Darmawan

Loves,
Angelia Yulita


3 komentar:

Angelia mengatakan...

Waduh malunya dibaca penulisnya langsung. Ini di luar skenario hehe.. Terima kasih Mas Yusran! Ditunggu buku selanjutnya..! Salam sukses selalu, Angelia.

Yusran Darmawan mengatakan...

hallo Angelia. Justru sy yang malu. mudah2an karya sy bisa menginspirasi.

Unknown mengatakan...

Saya begitu menikmati tulisan, 2 penulis hebat ini. Sehat selalu pak Yusran dan Angelina

Posting Komentar