Resensi Bukuku (1)



SAAT berselancar di internet, aku menemukan sebuah resensi yang dibuat oleh Fadhlan L Nasurung, seorang mahasiswa di Makassar. Ia lalu memuat resensi itu DI SINI dan DI SINI. Kepadanya, aku mengucapkan terimakasih karena ia telah membaca buku, lalu berbagi pengetahuan atas buku tersebut. Melalui resensi, ia telah memberitahukan apa yang didapatkannya sekaligus apa yang dirasakannya ketika membaca buku itu.

Aku melihat resensi sebagai arena dialog antara pembaca dan penulis buku. Ketika sebuah buku telah terbit, tugas seorang pengarang telah selesai. Ia telah mengantarkan sebuah karya. Kata seorang penulis, ketika sebuah karya sampai ke publik, maka sang pengarang telah mati.

Aku memosisikan diri sebagai pendengar dan pencatat atas beragam masukan. Kepada sahabat Fadhlan tercurah banyak ucapan terimakasih karena telah berbagi kesan. Berikut, kukutipkan tulisannya seusai membaca bukuku.



Fadhlan L Nasurung

Hari ini aku kembali merasa “cemburu”, pada sebuah kitab yang ditulis oleh orang yang berasal dari sebuah pulau yang terkenal dengan aspal-hitamnya, Kak Yusran Darmawan, sutradara dari naskah yang diterbitkan bulan desember tahun kemarin itu. Aku tak pernah bertemu dengannya secara fisik, namun hampir setiap hari aku menemukannya nongkrong di timur-angin.com rumah ide pribadinya, walaupun dia mungkin tak pernah tahu aku begitu memperhatikan setiap kata yang terucap melalui tulisan-tulisannya yang simple, nendang dan begitu menginspirasi. Itulah ruang virtual dimana aku banyak menemukan kebersahajaan, kesederhanaan, ketenangan dan kedamaian hidup, ruang dimana curhatan, keluh-kesah, kegalauan, kritik, gagasan dan coretan pengalaman mendapat tempat istimewa.

Buku yang sangat inspiratif, ditulis oleh orang yang telah menginspirasi banyak orang, menginspirasi karena ia berhasil membiografikan perjalanan kehidupannya yang penuh suka-duka, kesulitan dan kemudahan, halangan dan rintangan hingga kesuksesan yang membuat seisi kampung halamannya di Buton menjadi sangat berharga, prestasinya turut membawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka yang jauh di ujung tenggara Sulawesi sana, yang umumnya menggantungkan kehidupan pada kekayaan laut juga mendapat tempat mulia dalam karya-karya Kak Yusran. Sebuah dokumentasi kehidupan yang patut dijadikan referensi idealisme hidup bagi siapa saja yang tak ingin larut dalam kubangan kesia-siaan.

Sebenarnya aku belum selesai melahap habis sepotong kue semesta itu, aku baru saja membaca out-line dari keseluruhan isinya, walaupun beberapa tulisan telah lebih dulu aku baca langsung melalui persemayamannya di timur-angin. Setiap tulisan berusaha memaparkan dan menjelaskan realitas secara lebih jujur dan mendalam, bahkan mampu menyampaikan sebuah hal yang terkadang tak orang lain pikirkan atau tak mampu dijangkau oleh imajinasi orang lain, seringkali dia melihat realitas berbeda dari sudut pandang umum. Yah, kecemerlangan pikiran akan senantiasa melahirkan karya yang gemilang.

“Kopi Sumatera di Amerika” adalah sebuah kitab kehidupan seorang anak pulau aspal yang berhasil menjadikan imajinasi sebagai sesuatu yang sangat berarti, tak mudah membahasakan sebuah realitas dan fenomena yang dapat dinikmati semua kalangan lewat makna-makna yang tersirat namun mudah dipahami. Ingin rasanya belajar kepada beliau tentang kiat-kiat menjadi penulis handal, sehingga beliau terpilih sebagai Kompasianer of the year 2013 di Kompasiana yang merupakan media citizen jurnalism terbesar di Republik inisebuah prestasi yang luar biasa kan?  Tentunya beliau tidak sebatas menulis, tetapi juga berjuang mewujudkan harapan dan cita-cita dalam setiap goresannya.

Siapa yang tak berkeinginan mengenyam pendidikan di luar negeri, apalagi negeri super power Amerika serikat,  bukan karena meremehkan kualitas pendidikan dalam negeri, tetapi kita harus jujur bahwa negeri paman sam adalah salah satu pabrik peradaban pengetahuan dan teknologi modern terbesar di dunia, yang terpenting kita tak turut menjadi korban proyek Amerikanisasi. Walaupun dalam kenyataannya ada segelintir akademisi, intelektual, ilmuwan yang hidup tak lagi untuk mengabdi kepada tanah air dan bangsanya. Hal itu untungnya tak menimpa Kak Yusran, justru ia semakin mampu memaknai hakikat ke-Indonesiannya setelah beberapa tahun mendapat kesempatan untuk belajar di negeri dollar tersebut, meskipun kesempatan itu adalah kado istimewa dari salah-satu perusahaan besar di negeri ini. Mungkin karena bibit nasionalisme telah tertanam kuat dan tumbuh kokoh saat masa-masa menjadi seorang mahasiswa yang disibukkan oleh aktifitas membaca, diskusi hingga demonstrasi untuk memperjuangkan nasib rakyat, layaknya heroisme sebagai seorang mahasiswa dengan idealisme dan semangat berapi-api.

Dia adalah seorang penulis aktif, aktif bukan hanya dalam dunia ide tapi juga dalam dunia kehidupan yang nyata, sekiranya ada kesempatan ingin rasanya mengundang beliau untuk berbagi bersama sahabat-sahabat pejuang pendidikan di Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS), juga komunitas-komunitas lain yang telah mengabdikan hidup mereka untuk menyebarkan kebaikan dan menebarkan manfaat. Tentunya ada banyak di antara kita yang bermimpi menjadi seperti Kak Yusran, anak muda yang berkesempatan menciptakan karya di sela-sela kesibukan menjalani hidup, hingga menulis menjadi bagian penting dalam hidupnya. tapi bagi saya setiap orang punya takdir hidup yang berbeda-beda, tak harus mengikuti jejak langkahnya, tetapi bagaimana terus memacu diri untuk mengejar ketertinggalan-ketertinggalan lalu, Kak Yusran biarlah menjadi sosok yang menjadi sumber inspirasi untuk berbuat yang lebih kreatif dan cemerlang. Bahwa Tuhan telah menitipkan potensi pada masing-masing hambanya, tinggal bagaimana kita menggali potensi itu kemudian belajar memproduksi karya, seorisinal mungkin.

Salam salut buat Kak Yusran, sungguh membangkitkan gairah untuk tak berhenti menulis, apa saja!


1 komentar:

jejaring sosial mengatakan...

thanks banget resensi bukunya, menarik banget

Posting Komentar