Catatan ini dibuat tahun 2011. Ketika
memeriksa beberapa file di laptop, tulisan ini tersimpan, tanpa sempat
di-posting. Sungguh sayang jika tulisan ini dibuang begitu saja. Padahal, ada
pengalaman dan makna yang terangkum dalam tulisan ini.
***
“Semuanya
menduduk! Awas!”
PULUHAN orang yang sedang berada di ruang
tunggu kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat di Jalan Merdeka
Selatan, Jakarta, sontak menduduk. Hari itu, saya ada dalam barisan orang-orang
yang hendak diwawancarai. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja sirine
berbunyi. Semua dipaksa menunduk. Sekitar 10 menit berikutnya, situasi dianggap
aman.
Awal datang ke Kedubes AS, saya disambut
dengan rasa kekhawatiran. Usai menunduk, saya merasa seolah disadarkan bahwa
untuk menggapai Amerika mesti siap nyali dengan berbagai situasi. Melalui
sejumlah film Hollywood, saya mendapat kesan bahwa Amerika bukanlah wilayah
yang aman. Ada banyak cerita tentang kriminalitas serta diskriminasi yang bisa
mengancam para pendatang. Namun saya justru ingin melihat langsung bagaimana
negara demokrasi itu menyemai gagasan-gagasan tentang pluralitas.
Usai perintah menunduk itu, semua orang
lalu antri berdasarkan nomor urut. Semua orang akan ditanyai tentang tujuan
serta rencana selama di negeri Paman Sam. Seringkali pihak pewawancara
menanyakan bukti tabungan, asuransi, serta nomor kontak.
Saya lalu merenungi proses yang saya
jalani hingga tiba pada sesi wawancara. Sebelumnya, saya telah mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang pengurusan visa. Ternyata, prosesnya tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Saya menemukan banyak kisah tentang mereka
yang ditolak mendapatkan visa. Proses pendaftaran dilakukan secara online.
Setelah mengirimkan sejumlah informasi, foto, dan membayar biaya pendaftaran,
saya mendapatkan konfirmasi untuk wawancara.
Ketika hari wawancara tiba, saya lalu
datang ke kantor Kedubes Amerika di Jakarta. Penjagaannya sangat
ketat. Semua bawaan mesti dipindai. Tak boleh membawa telepon genggam. Sang
petugas nampak galak dan tegas dalam menjalanan perintah. Semua orang mesti
ikut aturan.
Di ruang tunggu kedutaan, saya kemudian
dikejutkan sirine serta perintah agar semua orang menunduk. Untunglah, tak ada
hal yang luar biasa. Kata seorang kawan, sejak peristiwa hancurnya WTC, pihak
kedutaan lebih mengetatkan penjagaan. Pihak kedutaan berhak untuk tidak
mengeluarkan visa bagi orang tertentu jika dirasa mencurigakan.
Saat wawancara, saya ditanya beberapa hal.
Mulai dari tujuan ke Amerika, siapa yang menjadi sponsor, serta sampai berapa
lama. Setelah itu, pihak pewawancara lalu terdiam sambil memandang laptop. Ia
lalu mengeluarkan lembar kuning. What?
Terdapat tiga jenis lembar usai wawancara
di kedubes. Pertama adalah putih, yang menandakan bahwa kedubes menyetujui
permohonan visa dan akan mengeluarkannya dalam tiga hari. Kedua adalah kuning,
yang menandakan bahwa pihak kedutaan membutuhkan waktu untuk menelusuri dokumen
tentang seseorang. Terakhir adalah merah, yang bermakna penolakan.
Ketika saya menerima lembar kuning, itu
berarti saya harus sabar menunggu persetujuan pihak kedubes. Lama menunggu tak
tentu. Bisa tiga hari, dua minggu atau malah bisa sampai enam bulan. Saya makin
sedih saat mengecek jadwal akademik perkuliahan di Ohio yang akan segera
dimulai. Yah, jika sampai lebih sebulan, terpaksa saya menunda keberangkatan
hingga satu semester.
Saya akhirnya berkesimpulan bahwa meyakinkan
pihak Kedutaan Besar (Kedubes) untuk mengeluarkan visa, lebih sulit dari
meyakinkan seorang gadis agar bersedia untuk dipinang. Saat meminang gadis, Anda cukup menunjukkan keseriusan, sorot mata yang penuh meyakinkan, serta
pengharapan bahwa Anda akan menjagai dan melindunginya sampai kapanpun.
Tapi untuk meyakinkan pihak kedutaan negeri yang jauh itu,
tidaklah mudah. Mereka tak butuh ketulusan. Mereka butuh bukti-bukti empiris
bahwa Anda tidak sedang berangkat untuk menambah daftar pengangguran atau
menambah daftar mereka yang menggelandang di sana. Anda mesti meyakinkan bahwa
anda punya cukup tabungan yang bisa menghidupi anda pada periode tertentu, lalu
menunjukkan surat dari lembaga prestisius yang mensponsori keberangkatan.
Ternyata tak mudah untuk mengetuk pintu
negeri orang lain. Tak semudah uraian para penulis catatan perjalanan tentang
cara-cara memasuki kampung orang lain, bertegur sapa dengan ramah, lalu
melangkah dengan penuh keyakinan. Selalu saja ada yang harus diperjuangkan agar
perjalanan itu bisa mulus, tanpa dirintangi berbagai kekhawatiran.
Yang bisa saya lakukan hanyalah membangun
sebuah refleksi. Barangkali, negeri itu memang terlampau banyak memelihara
ketakutan. Takut atas manusia,. Takut atas bala, takut atas bencana, takut
atas huru-hara, takut atas balas dendam, dan takut atas segala hal yang ditanam
dalam pikiran. Mungkin negeri itu banyak menanam bom waktu di mana-mana,
makanya banyak pula yang ingin membalas dendam.
Negeri itu tak pernah memahami hukum
keseimbangan; sekali anda menyakiti orang lain, maka anda pun akan tersakiti
oleh balas. Namun sekali anda berbuat kebaikan kepada banyak orang, maka sikap
ramah dan kebajikan akan selalu menghinggapi hati anda. Inilah rumusan purba,
yang seringkali diingkari oleh kita, yang mengklaim diri sebagai manusia
modern.
Saya lalu mencari-cari penjelasan mengapa
mendapatkan lembar kuning. Dugaan saya, mungkin ini disebabkan oleh nama yang
bernuansa Arab. Jika itu alasannya, maka saya merasa telah didiskriminasi. Saya
merasa dipandang sebagai sosok yang bisa mengancam keselamatan pihak lain.
Padahal, tujuan saya hanyalah untuk belajar.
Barangkali, jangkar dari diskriminasi itu
muncul pada konsep ‘aku’ yang lebih superior atas orang lain. Ada diri yang
merasa lebih entah itu lebih gagah, lebih layak, lebih hebat, atau lebih
beradab. Selanjutnya ada konsep orang lain yang dilihat membawa masalah,
membawa petaka bagi diri yang dianggap serba berkelebihan tersebut.
Dalam proses interaksi sosial, diri yang
lain itu dikhawatirkan akan mencemari diri yang sempurna itu. Maka si lebih
yang punya kuasa itu lalu menetapkan aturan. Hukum dibuat untuk melindungi si
lebih dan nenjauhkan si kurang. Mereka yang kurang itu harus dipelakukan
khusus. Mereka harus didiskriminasi agar tidak menyebarkan sesuatu yang akan
menganggu kemapanan. Diri yang serba kurang itu harus diperangi. Ia tidak boleh
menginfeksi tatanan peradaban yang dikontrol si lebih.
Saya telah mengalami diskriminasi. Sungguh
tak nyaman mengalami diskriminasi, tapi saya tidak punya kekuatan untuk
mempengaruhi apa yang menjadi persepsi dan keyakinan orang lain atas diri saya.
Yang bisa saya lakukan adalah menerima semua kenyataan dan merumuskan alternatif
lain atas segala kondisi. Mungkin sudah saatnya saya mencari kanalisasi dari
ketidaknyamanan ini dan menemukan energi positif atas segala pengalaman ini. Inilah
hal terbaik yang bisa saya lakukan.(*)
Catatan:
Dua minggu berikutnya, saya lalu
mendapatkan lembar putih dari kedutaan. Saya diminta untuk segera mengambil
paspor yang telah ditempeli visa Amerika. Satu kaki saya telah berada di negeri
itu. Dan perjuangan sesungguhnya akan segera dimulai.
2 komentar:
ka , ak juga kmren apply dan dapat kertas kuning.. ktanya disruh tunggu 1 mggu paspor ditahan mereka ,, yg mau sy tanyakan kaka ada diminta dokumen tambahan lagi gak ? terima kasih
ka kemarin saya apply visa amerika ,, nah dikasih kertas kuning ktanya dsuruh tunggu 1 minggu , nama saya berbau islam juga nur azizah ,, kaka di minta dokumen tambahan lagi atau tidak ? terima kasih .
Posting Komentar