Pengalaman Tinggal di Kompleks DPR RI


anak saya bermain di kompleks perumahan DPR RI di Kalibata, Jakarta

DUA minggu lalu, saya ke Jakarta bersama istri dan anak. Saya menghubungi seorang kawan demi menumpang tidur di rumahnya. Sejak dulu, kawan itu meminta saya ke Jakarta dan tinggal di rumah yang ditempatinya. Ketika tiba di rumah teman itu, saya tersentak. Ternyata ia tinggal di Kompleks Perumahan anggota DPR RI di Kalibata, Jakarta.

Teman itu bekerja sebagai staf ahli DPR RI. Posisinya adalah staf ahli bagi seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. Bosnya sudah lama tinggal di Jakarta, dan telah memiliki rumah bagus. Makanya, teman saya diminta untuk tinggal di rumahnya, di kompleks DPR. Teman saya langsung mengalami gejala ‘naik kelas.’ Ia seolah-olah menjadi anggota dewan, dan menikmati fasilitas dan kemewahannya.

Selama beberapa hari, saya pun ikut menikmati semua kemewahan sebagai anggota DPR. Rumah yang ditempati itu lumayan besar. Saya menghitung ada tiga kamar tidur utama, satu kamar tidur pembantu, satu ruangan kantor, satu gudang, serta garasi yang cukup lebar. Perabotan di rumah itu sangat lengkap, sehingga siapapun yang masuk, cukup bawa pakaian saja. Tak perlu membeli apapun.

Perumahan itu dijaga ketat. Kompleksnya dikelilingi pagar besi. Hanya ada satu jalan masuk yakni melalu gerbang depan. Di situ, ada puluhan anggota Patwal berjaga-jaga. Semua taksi yang masuk akan diminta menyerahkan kartu identitas. Jika yang masuk mobil pribadi, maka semua Patwal akan berdiri dan memberikan penghormatan.

Teman saya itu cukup beruntung. Ia juga dizinkan memakai mobil jenis BMW. Sayang sekali, ia jarang menggunakannya. Katanya, ia tak sanggup mengisi bensin mobil itu. Makanya, ia lebih memilih untuk memakai motor honda. Ternyata, selalu ada ongkos untuk setiap fasilitas mewah yang dimiliki. Tak semua orang sanggup mengongkosi gaya hidup mewah.

Saat menginap di situ, saya baru tahu kalau tidak semua anggota DPR menempati rumahnya. Banyak di antara mereka yang tidak tinggal di situ. Entah apa alasannya, mereka lebih memilih untuk memiliki properti sendiri di Jakarta. Boleh jadi, mereka sudah lama tinggal di Jakarta, kemudian saat mencalonkan diri sebagai anggota DPR, mereka kembali ke daerah dan bertarung di situ untuk memperebutkan suara pemilih. Boleh jadi pula, standar kemewahan memang berbeda-beda. Ketika saya menganggap rumah itu sudah sangat mewah, anggota DPR malah menganggapnya biasa saja. Mereka butuh standar yang lebih tinggi. Entahlah.

Sungguh disayangkan karena banyak rumah yang kosong melompong. Padahal, anggaran negara untuk pengadaan dan pemeliharaan rumah-rumah itu cukup besar. Negara telah mengeluarkan biaya besar yang sia-sia. Bayangkan, ada 550 anggota DPR, dan sebagian besar di antaranya tidak menempati rumah itu. Yang kemudian tersisa adalah rumah-rumah kosong tak berpenghuni, berdebu, serta tak terurus.

Tapi setidaknya saya cukup bahagia karena bisa menempatinya selama beberapa hari. Ternyata, seringkali ada bahagia yang terselip, ketika orang lain tak merasakannya. Anggota DPR itu tak menempati rumahnya, maka berkah bahagia hinggap di hati teman saya. Saya pun ikut merasakannya.


2 komentar:

computer mengatakan...

gaya hidup mewah harus di barengi sama biaya, hehe...nice share

Anonim mengatakan...

drbtahun 87-2001 saya tinggal di kompleks itu... benar2 kenangan.. kompleks yang tetangga sudah seperti keluarga..

Posting Komentar