Rasa Bersalah pada Pramoedya


Pramoedya Ananta Toer

DI banyak tempat bisnis fotokopi di Yogyakarta, saya menemukan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dengan harga yang amat murah. Buku-buku itu memang buku bajakan. Siapapun yang membutuhkan buku itu, cukup membayar harga murah, kemudian di-print dan dibuatkan sampul yang sebagus buku aslinya di jaringan toko-toko besar.  Mulanya, saya bersukacita saat membelinya. Beberapa jam setelah itu, saya merasa amat bersalah.

Saya memang berniat membeli karya Pram, demikian ia biasa disapa, yang berjudul Arus Balik. Saya tertarik untuk mengetahui banyak tentang Nusantara di abad ke-16. Di masa Majapahit, arus peradaban bergerak dari selatan ke utara, baik kapal, manusia, serta ilmu pengetahuan. Ketika Majapahit runtuh dan Islam datang, arus itu langsung berbalik. Wilayah selatan atau wilayah bawah angin kian menderita kekalahan. Peradabannya perlahan runtuh dan hanya menerima begitu saja arus yang datang dari utara.

Selama beberapa bulan, saya mencari-cari buku Arus Balik. Saya paham tentang kekuatan riset sejarah Pram sebelum menulis sebuah fiksi. Semakin membaca Pram, saya semakin disadarkan bahwa ia tidak sekadar menulis fiksi. Ia sedang menyusun ulang pahaman sejarah, serta memberikan sentuhan kemanusiaan yang kuat dalam setiap karyanya. Membaca Pram adalah membaca sejarah yang tak hanya memiliki darah daging dan sumsum setiap kejadian, namun juga napas dan energi yang menggerakkan setiap keping sejarah.

Sayangnya, pencarian selama beberapa bulan itu tak membuahkan hasil. Buku Arus Balik dicetak terbatas, dan selanjutnya tak pernah lagi dicetak. Saya sudah mengunjungi banyak toko buku, serta mengontak langsung penerbit dan situs yang menjual buku. Hasilnya nihil.

Di tengah kesulitan itu, saya menemukan banyak file buku itu di berbagai tempat di Yogya yang bisa dikopi dan dibayar dengan harga murah. Seingat saya, buku itu dijual seharga 150 ribu rupiah. Tapi di tempat fotokopi, harga buku itu hanya 50 ribu rupiah. Harga ini amatlah murah untuk buku dari seorang pengarang besar dengan jumlah halaman sebanyak 760. Mulanya saya senang dengan harga semurah itu. Tapi, ketika menimang buku itu di rumah, saya tiba-tiba saja dikepung rasa bersalah. Hiks.

Saya membayangkan betapa kerja keras serta malam-malam yang dialami Pram di Pulau Buru. Di tengah himpitan hukuman sebagai orang buangan, ia harus menajamkan ingatannya demi menuliskan sebuah fiksi yang diniatkan sebagai tafsir ulang atas sejarah nasional. Saya membayangkan bagaimana ia menyisihkan waktu istirahatnya untuk menulis banyak karya yang kemudian menjadi monumental.

Dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram bercerita tentag hari-harinya yang sulit. Ia ditahan sebagai pesakitan di satu pulau. Ia dipaksa bekerja demi membuka ladang di tanah tandus. Ia juga pernah ditampar dengan popor senapan hingga bibirnya pecah. Tak hanya itu, ia juga sering terpaksa makan malam dengan daging tikus, di tengah kesulitan makanan.

Dalam berbagai kesulitan itu, tak sedikitpun ia patah arang. Ia menghasilkan lembar demi lembar karya sastra berbentuk fiksi. Ia menulis di atas lembaran kertas lusuh, yang kemudian diselundukan ke luar oleh seorang pastor. Ketika terbit, karya-karya itu bernasib tragis sebagaimana pengarangnya. Karya itu dilarang pemerintah dan hanya beredar terbatas.

Butuh sekian tahun untuk memenangkan persabungan itu. Ketika Orde Baru runtuh, karya-karya Pramoedya lalu bergema di sepanjang sejarah, khususnya mereka yang ingin mencintai fiksi kemausiaan dan berhasrat menemukan bacaan alternatif dalam sejarah. Dunia tercengang. Karya-karya itu lalu menjadi magnum opus atau karya terbesar dalam dunia sastra tanah air. Buku-bukunya menjadi cahaya terang yang menjadi mercusuar bagi arah gerak sejarah tanah air.

Kini, sebuah karyanya ada di tangan saya. Sebuah buku yang digandakan dan dijual amat murah. Saya tahu bahwa ilmu pengetahuan harus disebarkan ke segenap penjuru. Saya tahu bahwa demi kemanusiaan karya-karya sebaiknya dibaca oleh semua orang. Tapi saya tiba-tiba memikirkan nasib sang pengarang. Ketika tak ada atupun royalti yang masuk ke pengarang, maka saya berbuat zalim pada seseorang yang telah mendedikasikan dirinya sebagai lilin untuk menghadirkan cahaya terang.

Buku yang amat murah itu membuat saya merasa tidak berlaku adil kepada Pram. Saya tahu bahwa buku ini lahir di tengah penjara yang tak berperi-kemanusiaan. Puluhan tahun ditahan di pulau itu, Pram tak punya satupun kebanggaan, kecuali lembar demi lembar naskah yang sedang ditulisnya. Dan hari ini, saya memegang buku dengan jumlah 700-an halaman karyanya, yang dibeli seharga 50 ribu rupiah. Dan ia tak sepeserpun mendapat bagian dari nilai yang saya keluarkan.

Buku Pram yang murah itu membuat saya merasa amat bersalah. Jika saja buku ini adalah karya novelis Andrea Hirata, mungkin saya tak merasa bersalah. Andrea Hirata sudah kaya-raya berkat novelnya. Bahkan ia mulai angkuh ketika hendak memperkarakan seseorang yang mengkritik karyanya. Lebih angkuh lagi ketika ia menyebut bahwa dalam 100 tahun sejarah sastra Indonesia, bukunyalah yang dicetak dalam berbagai bahasa. Sombong amat. Malah, berita terbaru yang saya dengar, honornya sebagai pembicara adalah 35 juta rupiah untuk dua jam.

Si Andrea itu lupa kalau buku-buku Pram telah diterjemahkan dalam lebih 20 bahasa. Dan saya menyaksikan sendiri betapa buku Pram menjadi buku wajib dalam kelas-kelas sejarah Asia Tenggara di semua universitas di Amerika.

Sayangnya, nasib Pram amat beda dengan Andrea. Pram harus tinggal di jeruji penjara selama puluhan tahun. Ia hanya bisa menyapa anak istrinya lewat surat, yang tak pernah sampai ke tangan mereka. Buku-bukunya lahir dalam atmosfer yang serba susah. Pram hidup melarat, bahkan ketika karya-karyanya mendunia.

Buku Pram yang murah itu ada di tangan saya. Saya masih dihinggapi rasa bersalah. Nampaknya, saya harus mengembalikan buku ini. Atau minimal menyingkirkannya dari jangkauan pandangan saya. Dengan cara ini, saya bisa lebih berkhidmat pada Pram, pengarang yang karya-karyanya serupa sihir telah membukakan mata saya untuk melihat nurani kemanusiaan dengan lebih jernih.

Dan semoga dirinya berdiam di tempat terang di alam sana.


Cangkringan, Yogyakarta, 9 Oktober 2013

3 komentar:

erwan_saripudin mengatakan...

aduh... menohok saya. tetralogi pram kemarin saya beli copyannya.

Dwi Ananta mengatakan...

Hiks tapi mau bagaimana lagi jika bukunya sudah tidak dapat ditemukan dimanapun T_____T Rasanya, mungkin, Pram akan lebih sedih jika karyanya dilupakan >.< Waktu membeli buku bajakan Arus Balik saya pun kesal dan sedih, tapi pas setelah membacanya saya bersyukur bisa membaca karya seindah itu~

Tapi apa tak ada ya penerbit yang mau menerbitkan ulang buku ini?

Meike Lusye Karolus mengatakan...

saya baru tahu loh kak ternyata di jogja byk pembajak buku. saya juga kecewa pas tahu "Nyanyian Sunyi Seorang Bisu" yg sudah tidak dicetak itu kemudian dibajak dengan cover yg lebih oke.....tapi mau diapa, belum dicetak lagi..jadi terpaksa dibeli *maaf ya eyang Pram :(

Posting Komentar