Inspirasi di Kampus Yahudi


berpose di depan pusat studi pendidikan Yahudi

BANGUNAN itu tak seberapa besar. Atapnya berwarna merah. Di bangunan itu, saya melihat banyak orang keluar masuk. Saat saya mendekat, saya melihat sebuah plang bertuliskan Mandel Center for Studies in Jewish Education. Saya terkejut. Ternyata bangunan itu adalah semacam pusat studi untuk pendidikan bagi kaum Yahudi.

Tak jauh dari bangunan itu, saya juga melihat plang bertuliskan Israeli Studies. Saya juga menyaksikan monumen kecil tentang tragedi holocaust yang menimbulkan trauma bagi orang-orang Yahudi. Ketika melihat lambang pusat studi itu, saya baru sadar kalau terdapat huruf Ibrani sebagaimana yang digunakan di kitab Taurat. Semua yang saya saksikan ini kian menegaskan bahwa saya sedang berada di depan bangunan yang merupakan pusat kajian bagi orang-orang Yahudi yang merupakan bagian kecil dari masyarakat Amerika yang plural.

Pusat studi itu terletak di kota kecil Waltham, sekitar 16 kilometer dari Boston, Masschusetts, Amerika Serikat. Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengajak saya untuk melihat pusat studi yang merupakan bagian dari Brandeis University. Kampus ini memang salah satu universitas besar dan berpengaruh di Boston. Meskipun di Boston, terdapat banyak kampus-kampus besar, yakni Harvard University, Massachusetts Institute of Technology (MIT), hingga Boston University, akan tetapi Brandeis University memiliki sejarah serta kisah yang juga unik sebagai bagian dari perguruan tinggi yang didirikan dan disemarakkan oleh orang Yahudi.

Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa teman berkunjung ke kampus itu demi menghadiri kuliah umum yang dibawakan oleh Noam Chomsky, salah seorang Yahudi yang dikenal paling kritis atas kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah. Chomsky pula yang menyebut pemerintah Amerika ‘seperti maling teriak maling’ ketika negara itu menginvasi Irak. Sayangnya, pada waktu itu kami gagal menyaksikan kuliah umum Chomsky karena jadwal yang mepet.

Tapi saya sangat beruntung karena bertemu beberapa sahabat asal Indonesia yang kemudian mempromosikan sejarah kampus itu. Kata mereka, kampus itu telah  melahirkan beberapa ilmuwan dunia. Bahkan beberapa kolumnis di media Amerika juga lahir dari kampus itu. Satu di antaranya adalah Thomas Friedman.

Saya sendiri lebih tertarik ketika melihat tentang sejarah kampus ini yang didirikan oleh orang-orang Yahudi. Di tanah air, kata-kata Yahudi sering diucapkan dengan negatif. Banyak demonstrasi yang mengecam orang Yahudi. Banyak tudingan dan kecaman pada mereka dengan mengambil acuan pada dalil-dalil atau teks keagamaan. Banyak pula kecaman atas Yahudi yang dipengaruhi oleh informasi tentang apa yang terjadi di Timur Tengah. Padahal, perangkat informasi dan social media, seperti facebook, yang memberi kabar itu adalah hasil kreasi orang-orang Yahudi yang merupakan sumbangan berharga kepada dunia.

monumen Holocaust di Brandeis University
salah satu gedung kampus Brandeis University
kampus Brandeis University

Harus diakui, orang Yahudi punya begitu banyak kontribusi besar bagi peradaban. Mereka adalah bangsa yang memiliki barisan ilmuwan dunia yang mewarnai zaman hari ini. Salah satunya adalah si jenius Albert Einstein yang disebut-sebut sebagai fisikawan terhebat abad ini. Nah, Einstein memang punya andil besar dalam mendirikan Brandeis University. Kata seorang teman, pendirian kampus ini diawali rasa kesal orang Yahudi yang ditolak masuk ke Harvard.

“Dahulu, banyak orang Yahudi yang ditolak masuk ke Harvard University. Beberapa ilmuwan Yahudi seperti Einstein lalu membangun kampus ini sebagai wadah pendidikan bagi orang Yahudi. Ketika orang Yahudi diizinkan kembali masuk Harvard, kampus ini tetap dibuka untuk umum hingga sekarang,” kata sahabat tersebut.

Saya terkesima. Ketika mereka dilarang masuk ke satu kampus, mereka tak memprotes dengan cara berdemonstrasi atau membakar kampus tersebut. Mereka melakukannya dengan cara yang sangat cerdas yakni membangun kampus hebat yang kemudian menjadi saingan dari Harvard. Pada akhirnya, kebencian atas mereka bisa ditransformasi menjadi persembahan berharga bagi zaman yakni ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang juga mengagumkan, kesediaan Einstein membangun kampus itu ternyata juga dipicu oleh rasa bersalahnya atas jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Ia lalu amat peduli pada isu-isu kemanusiaan dan kedilan. Ketika membuat kampus itu, ia mencantumkan kata “kebenaran” dalam bahasa Ibrani di lambang kampus. Ia juga mencantumkan nama aktivis kemanusiaan Louis Brandeis sebagai nama kampus.

Di Amerika Serikat, jumlah populasi orang Yahudi adalah lima juta orang. Jumlah ini menempatkan Amerika sebagai negara dengan populasi Yahudi terbanyak setelah Israel. Meski jumlahnya tak seberapa, namun mereka mengendalikan ekonomi dan politik Amerika. Bahkan, mereka bisa mengendalikan ekonomi dunia melalui berbagai lembaga keuangan yang tersebar dan bisa mendikte banyak negara. Di tanah Paman Sam, orang Yahudi tersebar dalam banyak organisasi, salah satunya adalah Zionist Organization of America (ZOA) yang memiliki anggota 30 ribu orang.

Dari sisi politik, pilihan mereka tak selalu seragam. Tak semua orang Yahudi mendukung apa yang dilakukan Israel. Teman saya menuturkan bahwa dalam beberapa kelas ilmu politik, banyak mahasiswa Yahudi yang mengatakan sangat malu dengan apa yang dilakukan oleh Israel di Palestina.

Beberapa profesor seperti Noam Chomsky adalah pengkritik keras kebijakan Amerika yang membela Israel lewat bantuan 150 juta dollar setiap tahunnya. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah “Penyelesaian masalah Israel – Palestina adalah di sini, di Amerika. Sebab Amerika adalah negeri yang paling bertanggung jawab atas konflik yang terjadi di sana.”

Atas pernyataan-pernyataannya yang kontroversial, Chomsky dituding sebagai self hating Jews atau seorang Yahudi yang membenci Yahudi. Saya melihat itu sebagai konsekuensi dari pemahaman yang dalam atas sesuatu. Pengetahuan memang bisa menjadi kompas yang kemudian memandu sikap politik seseorang. Pengetahuan bisa menjadi cahaya terang yang membawa seseorang keluar dari kegelapan. Pada titik ini, Chomsky menemukan lapis-lapis pengetahuan yang kemudian menggiringnya pada sikap kritis atas negara yang ditinggalinya.

Mahasiswa Indonesia

BAGAIMANAKAH halnya dengan interaksi antara mahasiswa Indonesia dengan komunitas Yahudi Brandeis University? Sahabat saya Irfan banyak berkisah tentang interaksi itu. Ia punya banyak pengalaman menarik yang kemudian mengasah pengalaman batinnya, seperti orang Yahudi yang suka datang mendengarkan khtbah Jumat, hingga sikap anak-anak Yahudi pada orang Islam.

Dalam buku berjudul Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu, Irfan bercerita bahwa pihak universitas memiliki program orangtua angkat kepada mahasiswa internasional di Brandeis University. Program itu adalah Brandeis Osher Lifelong Learning Institute (BOLLI). Para mahasiswa menyebutnya Bolli Family. Banyak orangtua di Amerika yang bersedia menjadi orangtua angkat yang menjadi teman diskusi serta sahabat bagi para mahasiswa.

berpose di depan Pusat Studi Israel

Kata Irfan, orangtua angkatnya bernama Rochelle. Di rumahnya, ia melihat demikian banyak buku, termasuk buku mengenai agama Islam. Irfan sempat terkejut ketika Rachel bertanya, apa kamu tidak keberatan bersahabat dengan orang Yahudi? Selanjutnya, hubungan mereka menjadi seperti ibu dan anak yang saling memperhatikan. Pada suatu hari, Rachel bercerita bahwa seorang saudaranya ada dalam pesawat yang menabrak WTC. Apakah ia dendam dengan umat Islam atas apa yang terjadi di WTC? Rachel menggeleng. “Saya tidak percaya bahwa suatu agama bisa bertanggungjawab atas peristiwa seperti itu,” katanya.

Sungguh, inspirasi memang bisa ditemukan di mana-mana, sepanjang kita bersedia membuka pikiran hati kita. Di kampus yang didirikan oleh orang Yahudi itu, saya belajar untuk melihat kenyataan dengan lebih jernih, dan tidak terjebak dengan berbagai dogma ataupun pandangan mereka yang disesatkan sejumlah informasi.(*)

0 komentar:

Posting Komentar