Gerald Whittle in memoriam |
SEBUAH pesan masuk ke kotak surat elektronik
saya. Seorang sahabat Linda Esch memberikan informasi bahwa sahabat lainnya
Gerald Whittle telah kembali pada genggaman Yang Maha Mengenggam di kampung
halamannya, di Leipzig, Jerman. Saya sempat terpekur sesaat ketika mengenang
perkenalan dan interaksi singkat dengan sahabat itu.
Beberapa hari berikutnya, Linda kembali
mengirim kabar. Kabarnya, Gerald tidak meninggal karena kecelakaan, sebagaimana
dikatakan sebelumnya. Gerald meninggal karena bunuh diri. What? Ini sungguh
mengejutkan. Waktu memang penuh misteri. Kita tak pernah tahu kapan akan
berangkat untuk menemui-Nya. Namun kepergian seorang pemuda cerdas berusia
20-an tahun adalah sesuatu yang amat menyesakkan dada. Apalagi jika kepergian
itu karena bunuh diri.
Dua tahun silam, saya bertemu anak muda
itu. Suatu hari di Athens, Ohio, saya datang ke Interational Student and
Faculty Service (ISFS) demi mengikuti tur. Hari itu, salju perlahan mulai turun
di Athens. Saya melihat kapas-kapas putih turun dari lagit dan menyelimuti
jalan-jalan.
Anak muda itu memakai jaket tebal berwarna
hitam. Ia memakai topi ketika datang bersama dua sahabatnya sesama Jerman yakni
Kim dan Theresa. Ia nampak ceria dan suka bercanda. Ketika melihat salju turun
berbaris, saya mengambil beberapa gambar bersama sahabat Yan Zheng asal Cina.
Pemuda itu datang bergabung. Kami lalu berkenalan lalu sama-sama berfoto.
Suasananya ceria.
Ketika masuk ruangan ISFS, kami sempat
diskusi. Ia bercerita tentang tanah airnya, Jerman, serta negeri tempatnya
menghabiskan masa kecil yakni Inggris. Pantasan, aksen bicaranya agak British,
seperti yang saya dengar dalam film Harry Potter. Demi melancarkan komunikasi,
saya lalu menyebut beberapa pemikir Jerman yang pernah saya baca. Saya menyebut
Marx, Hegel, Max Horkheimer, Theodore Adorno, dan Jurgen Habermas. Matanya
berbinar-binar ketika saya bercerita tentang buku karya Max Horkheimer yang
berjudul The Dialectics of Enlightment.
Saya kisahkan padanya tentang kritik
bertubi-tubi Horkheimer atas masa pencerahan yang merambah Eropa hingga seluruh
negara. Para pemikir Jerman itu punya gagasan yang menggema hingga ke
Indonesia. Kritik mereka atas rasionalisme adalah pijar intelektual yang
membakar banyak pemikir di tempat lain untuk sama-sama menelanjangi
rasionalisme. Pantas saja jika di tahun 1980-an ada banyak buku-buku dari aliran
filsafat Jerman, khususnya Mazhab Frankfurt, yang kemudian beredar di
kampus-kampus tanah air.
Anak muda itu teramat girang mendengarnya.
Ia tak menyangka gagasan filsafat Jerman ibarat virus yang menyebar ke
mana-mana. Ia lalu menjelaskan perkembangan gagasan-gagasan filsafat Jerman
pasca-periode kejayaan mazhab Frankfurt. Kali ini, saya yang terpengarah
melihat kemampuannya berenang di rimba raya filsafat. Ketika hendak berpisah,
ia lalu menjabat tangan saya sembari meminta waktu untuk diskusi kembali. Ketka
saya menyebut nama, ia juga menyebut namanya. Gerald Whittle.
Gerald Whittle (dua dari kiri) berpose bersama saya dan teman-teman lain |
saat saya berpose bersama Kim dan Theresa |
Mulai saat itulah saya akrab dengan
Gerald. Apalagi, kami adalah tetangga apartemen. Ia adalah mahasiswa
Universitas Leipzig yang ikut dalam program pertukaran mahasiswa dengan Ohio
University. Ia hanya datang selama enam bulan, sebuah masa yang cukup singkat.
Namun selama enam bulan itu, ia telah mewarnai kampus ini dengan gagasannya
tentang keadilan dan pembebasan.
Suatu hari ia mengundang saya ke
apartemennya untuk merayakan ulang tahunnya. Ia menyediakan beberapa botol bir
serta minuman beralkohol lainnya. Saya hanya menyentuh beberapa kali, sebab tak
ingin larut dalam pesta-pesta anak muda itu. Saya merasa cukup tua untuk
bergabung bersama mereka. Saya lebih memilih untuk duduk di sudut sembari termenung.
Gerald lalu datang menemani. Ia
menunjukkan sebuah majalah Resist yang dicetak terbatas. Para mahasiswa kiri,
yang menggeluti kajian Marxisme di kampus, membuat majalah demi menyatukan
ide-ide berbeda yang bersarang di benak mereka. Lewat majalah itu, mereka
menyuburkan gagasan sosialisme di kampus yag sangat kapitalis itu. Mereka
menyalakan lilin perenungan atas sistem yang tak disetujuinya.
Yang saya senangi dari Gerald adalah
hasrat belajarnya yang begitu menggebu-gebu. Dalam usia semuda itu, ia amat
menguasai filsafat dan pemikiran sosial, sesuatu yang justru tidak dikuasai
mahasiswa Jerman lain. Saya mengenal sedikit mahasiswa Jerman di kampus itu.
Namun tak satupun yang bisa menemani diskusi tentang filsuf Imanuel Kant yang menuliskan
tesis tentang ‘kritik atas rasio murni.’
Gerald membantu saya untuk mengenali
beberapa istilah filsafat asal. Ia menjelaskan makna ‘weltanshaung, zeitgeist,
serta dialectics dalam pahaman Hegelian. Penjelasannya yang bermakna tersebut
membantu saya untuk memahami bahwa istilah-istilah itu telah diterjemahkan
secara serampangan di Indonesia. Pantas saja ada yang mengatakan bahwa bahasa
adalah gerbang untuk memahami kebudayaan. Bagaimana mungkin kita paham tradisi
dan pemikiran jika tak paham bahasa sebagai pintu masuk ke khazanah budaya.
Di luar dari diskusi dengan tema spesifik,
saya tak banyak mengetahui sisi-sisi lain kehidupan Gerald. Kami memang tak
pernah berbicara dari hati ke hati tentang dunia yang dihadapi masing-masing.
Hingga akhirnya anak muda ceria dan cerdas itu kembali ke negaranya.
***
HARI ini, Linda kembali mengirim kabar.
Katanya, sejak kembali dari Amerika, Gerald selalu nampak bad mood. Profesornya di Jerman bertanya-tanya mengapa anak itu
nampak berbeda dengan saat sebelum ke Amerika. Tak ada yang tahu alasannya,
hingga beberapa bulan kemudian ia meninggal dunia.
Sebagai salah satu teman yang mengenalnya,
saya hanya bisa berspekulasi. Kepada Linda, saya katakan bahwa Gerald telah
memilih jalannya sendiri, meskipun itu adalah sebuah kematian. Linda tetap
kukuh bahwa itu jalan yang slaah sebab orangtuanya menanam harapan bahwa kelak
anaknya akan berbuat banyak pada semesta.
Saya hanya bisa menduga-duga. Mungkin saja
ia hendak mengikuti jalan yang diretas para filsuf Jerman yang banyak berakhir
tragis. Mungkin ia ingin seperti Marx yang mati tragis dalam keadaan miskin.
Atau seperti filsuf lainnya yang mati dalam keadaan merana dan tertembak.
Yang pasti, jika betul bunuh diri, ia
menjadikan kematian sebagai satu pilihan. Di saat jutaan manusia lainnya tak
ingin meninggal, ia justru menjemput kematian tersebut. Ia memilih sendiri
tanggal kematiannya demi tetap menjadikan dirinya sebagai manusia yang punya
kebebasan memilih, bahkan tanggal kematian sekalipun.
Waktu memang amat singkat untuk mengenal
anak muda itu. Saya hanya bisa mengenang sahabat muda itu. Bahkan saya masih
menyimpan catatan terakhir yang dikirimkannya melalui facebook. Saat itu ia
hendak kembali ke Jerman. Setelah berbasa-basi dan menjelaskan bahwa ia sedang
pamit, ia lalu menitip pertanyaan, “Apakah
kamu yakin kalau kamu adalah manusia yang benar-benar bebas dari kekangan
sistem sosial dan budaya?”
Baubau, 18 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar