Pengalaman Jadi Editor Buku Jusuf Kalla


Jusuf Kalla

MESKIPUN bukan editor profesional, saya diminta oleh sebuah penerbit besar di tanah air untuk mengedit catatan-catatan mantan Wapres Jusuf Kalla. Selama beberapa hari pula, saya membaca semua catatan, memberikan koreksi editorial, serta masukan-masukan yang sekiranya bisa membuat tulisan-tulisan itu renyah dan enak dibaca. Yah, lumayanlah untuk menambah biaya bulanan.

Saya berusaha untuk mengemasnya sebaik mungkin. Rencananya, buku itu adakan diterbitkan dengan judul “JK Inspiring.” Buku itu berisikan catatan harian Pak JK, baik ditulis sewaktu beliau menjabat sebagai wapres, maupun sesudahnya. Catatannya sangat menarik sebab ditulis dengan gaya khas Pak JK yang lugas dan jujur. Saya suka catatannya yang membahas bagaimana dinamika di istana, serta situasi ketika ia memilih kebijakan yang tidak populer. Ia menjelaskan alasan rasional di balik setiap kebijakan, sesuatu yang sangat berharga bagi siapapun yang tertarik mengkaji dinamika politik.

Saya juga menyukai catatannya tentang pengalamannya selama menjadi mahasiswa, serta saat-saat memulai bisnis. Saya melihat bahwa semua lini kehidupan dan pengalaman ibarat kuas yang kemudian menentukan warna pemikirannya. Pada satu bagian ia bercerita tentang ayahnya yang berpikir praktis. Ia mengakui dengan jujur bahwa logika berpikir ayahnya yang simpel namun praktis itulah yang kemudian mempengaruhi pemikirannya ketika menjadi menteri ataupun wakil presiden.

Selama mengedit, saya teringat pada sejarawan William Frederick. Ketika belajar di kelasnya, ia senantiasa mengajarkan betapa pentingnya mempelajari latar belakang serta pengalaman personal satu tokoh sejarah. Ia beberapa kali mengulangi penjelasan bahwa di balik setiap gagasan yang kemudian mengubah sejarah, terselip kisah-kisah tentang individu yang selalu dipengaruhi oleh konteks an latar pengalaman. Sejarawan yang baik mesti memahami dengan baik interaksi bolak-balik antara agency dan struktur untuk menjelaskan sejarah.

Lagi-lagi saya bukan sejarawan. Saya hanya belajar beberapa metode untuk memahami gejala sosial. Yang pasti, siapapun yang kelak mengkaji Jusuf Kalla sebagai wapres dan tokoh penting atas berbagai solusi perdamaian di tanah air, mesti membaca catatan-catatan hariannya. Sebagai editor, saya beberapa kali tersadar bahwa banyak kejadian besar di tanah air yang dimulai dari pemikiran sederhana dan praktis seorang JK. Tak percaya? Baca buku ini.

Pengalaman mengedit catatan itu membuat saya semakin mengenal sosok JK. Saya yakin, jika beliau diberi kesempatan untuk memimpin bangsa ini, mungkin bangsa ini akan lebih mandiri, percaya pada kekuatan sendiri, serta bisa lebih melejit. Kekuatan utama JK adalah kemampuan menemukan solusi yang sifatnya praktis serta cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Namun, mesti dicatat bahwa ada pemikirannya yang saya tidak sepakati. Saya tak sepakat dengan gagasannya yang menilai hal-hal menyangkut adat dan tradisi adalah sesuatu yang mundur ke belakang. Bagi saya, pemikiran ini terlampau modernis, terlampau progresif, dan bisa menyebabkan kita kehilangan akar dan jati diri bangsa.

Saya juga tak setuju dengan gagasannya ketika menyuruh orang Papua untuk belajar pada orang Bugis. Ia melihat bahwa keterbelakangan masyarakat Papua adalah disebabkan tak adanya kebutuhan untuk kaya, sesuatu yang amat berbeda dengan orang Bugis. Saya merasa bahwa pandangannya tidak didasari oleh pandangan yang komprehensif atas pandangan dunia, filosofi, serta konteks orang Papua.

Terlepas dari itu semua, saya merasa terhormat bisa menjadi editor atas buku yang ditulis seorang mantan wapres. Saya membayangkan jika semua pejabat publik seproduktif JK dalam menyusun catatan, maka kita bisa menyibak secara perlahan-lahan semua kabut yang selama ini menghalangi pandangan kita atas dunia politik di tanah air. Kita kemudian bisa memahami bahwa mereka yang di panggung politik adalah manusia biasa yang sedang berusaha mengatur kemudi bangsa ini ke arah yang diinginkan. Kita akhirnya sadar bahwa para politisi kita berada di bawah banyak tekanan serta pengharapan yang sering serupa ranjau dan mengharuskan mereka untuk hati-hati.

Dan kelak sejarah hanya akan mencatat mereka yang menjaga hati dan menjaga agar senyum tetap mengembang di wajah orang lain.


Baubau, 25 Juli 2013


0 komentar:

Posting Komentar