Sekuntum Nasionalisme di Pesawat Garuda


pesawat Garuda di Bandara Ngurah Rai

SETIAP keberangkatan selalu menyimpan beragam kisah. Dua tahun terakhir, saya mencoba berbagai maskapai penerbangan internasional yang dimiliki berbagai negara. Pada setiap perjalanan udara, saya selalu merasakan suasana yang sama dan monoton. Ada keramahan, pelayanan, serta perhatian. Perjalanan itu menjadi biasa dan tak punya greget.

Akan tetapi, saat berkesempatan melakukan perjalanan dengan pesawat Garuda Indonesia, ada sesuatu yang berbeda. Saya merasakan sensasi yang kuat dan menggedor-gedor kesadaran. Batin saya tiba-tiba saja dibasahi rasa haru serta sesuatu yang menggenang di benak kala merasakan segala hal menyangkut Indonesia. Di pesawat Garuda, rasa kebangsaan itu tekun dirawat, disirami hingga mengeluarkan satu kuntum bunga yang semerbak mewangi. Itulah keindonesiaan.

Dua minggu silam, saya berangkat dari Makassar ke Denpasar. Ini perjalanan pertama di tanah air sebab seminggu sebelumnya, saya baru saja kembali dari perantauan di Amerika Serikat (AS) sejak dua tahun terakhir. Biasanya, saya tidak terlalu mempermasalahkan hendak menggunakan maskapai apapun. Semuanya menawarkan konsep yang sama yakni pelayanan yang baik, keramahan, serta perhatian.

Entah kenapa, pihak Oxfam, lembaga internasional yang membiayai keberangkatan ke Denpasar, membelikan tiket pesawat Garuda. Dikarenakan lama tak menaiki Garuda, ekspektasi saya adalah sebagaimana maskapai lainnya. Palingan, naik pesawat, disambut pramugari dengan senyuman, setelah itu pemberitahuan prodesu keselamatan, pembagian makanan, lalu mendarat. That’s it!

Namun, Garuda berbeda dengan semuanya. Pertama masuk pesawat itu, bulu roma saya langsung merinding. Saya mendengar instrumen lagu “Indonesia Tanah Pusaka” yang sedang berkumandang. Mungkin penumpang lain akan menganggapnya biasa. Namun, saya dibekap rasa haru saat membayangkan bahwa tanah air yang selama dua tahun ini.

Setahun silam, saya mendengarkan lagu ini dinyanyikan di Athens, Ohio. Pada saat itu, lagu ini menjadi pembuka acara Indonesia Night yang digelar oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Amerika Serikat (Permias) Athens di negara bagian Ohio, AS. Seorang sahabat asal Cina mengirimkan tautan lagu di negaranya yang ternyata menjiplak lagu Indonesia Pusaka (liputannya DI SINI).

Lagu ini demikian bermakna buat saya yang saat itu di perantauan. Lagu itu mencerminkan tanah air yang demikian luas, kaya, serta amat dirindukan. Setiap mendengar lagu ini, batin saya bergelora. Saya membayangkan betapa indahnya tanah air, serta betapa banyaknya kerja keras yang dibutuhkan untuk membangkitkan negeri.

Usai lagu Indonesia Pusaka, saya kemudian mendengar lagu-lagu lain seperti Rayuan Pulau Kelapa, hingga beberapa lagu karya komponis Ismail Marzuki.

Saat masuk pesawat Garuda, saya bertemu dengan pramugari yang mengenakan kebaya, lalu menyapa dengan senyum terkembang. Mereka berbicara dengan bahasa Inggris yang fasih kepada beberapa teman dari negeri lain. Dan ketika berbahasa Indonesia, saya tidak mendengar kalimat yang diinggris-inggriskan, sebagaimana sering saya dengar dari pramugari maskapai lain. Mungkin, itu dilakukan demi membangun kesan bahwa mereka lebih banyak berbahasa Inggris. Entahlah.
 
pelayanan di pesawat Garuda

Di pesawat Garuda, nasionalisme dirawat dan disirami secara terus-menerus. Saya melihat itu pada jenis makanan yang ditawarkan yakni berupa makanan yang akrab dnegan lidah warga tanah air seperti nasi goreng. Demikian pula pada rasa kopi yang ditawarkan. Saya agak terkejut saat melihat fasilitas hiburan berupa layar di depan kursi. Biasanya, fasilitas ini hanya bisa ditemukan pada penerbangan internasional. Namun, Garuda justru menyediakan fasilitas itu pada penerbangan lokal. Hebat khan?

Dibandingkan dengan maskapai internasional, Garuda adalah maskapai yang menjadi etalase sebuah negeri. Saya pernah menaiki pesawat asal Jepang, Cina, serta Amerika. Etalase bangsa-bangsa itu hanya nampak pada bahasa pengantar, serta jenis makanan. Kalau soal keramahan, saya menganggap bahwa semua maskapai menawarkan hal yang sama.

Sebagai etalase bangsa, maka Garuda memiliki keunikan. Mereka yang menaiki pesawat ini akan bisa measakan bahwa maskapai ini benar-benar bisa menjadi etalase atau jendela untuk melihat keindonesiaan. Itu terlihat pada bahasa, keramahan, budaya, serta pilihan-pilihan hiburan.

Sekuntum Nasionalisme

Pertanyaannya, apakah rasa kebangsaan yang ditawarkan Garuda merupakan sesuatu yang muncul belakangan, ataukah sesuatu yang melekat pada sejarah maskapai ini?

Saya teringat kalau saya pernah mencari informasi tentang ini lewat internet. Kalau tak salah, nama Garuda diberikan oleh Presiden Soekarno yang terinspirasi dari sajak Belanda yang ditulis Noto Soeroto, "Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog bovine uw einladen." Sajak ini berarti “Saya Garuda, burung Vishnu yang melebarkan sayapnya tinggi di atas kepulauan Anda”.

Sejarah Garuda adalah sejarah tentang kuntum-kuntum optimisme anak negeri yang hendak membangun jembatan untuk menghubungkan beribu pulau di tanah air. Sejarah Garuda juga beriringan dengan tahap-tahap penting perjalanan bangsa ini.

Salah satu kisah yang membuat saya merinding adalah ketika masyarakat Aceh mengumpulkan uang, lalu menyerahkan pesawat Seulawah RI-001 kepada pemerintah RI di tahun 1948. Saya membayangkan ketulusan, keikhlasan, serta semangat untuk bahu-membahu demi tegaknya sebuah negeri. Ketulisan itulah yang kemudian menjadi dasar untuk mendirikan maskapai yang kemudian merawat nasionalisme.

senyum pesawat Garuda

Di masa kini, saya menumpang pesawat Garuda untuk mengunjungi beberapa tempat di tanah air. Pada setiap perjalanan itu, nasionalisme saya selalu tumbuh. Saya membayangkan rasa keikhlasan, ketulusan, serta jati diri bangsa yang terus tumbuh dan mekar seiring waktu.

Pantas saja, jika maskapai ini telah memenangkan demikian banyak penghargaan bergengsi di bidang penerbangan. Saya melihatnya sebagai jejakjejak dari proses membumikan identitas keindonesiaan yang luhur ke dalam spirit masa kini yang dinamis dan kreatif. Jika pembumian itu dilakukan secara terus-menerus dan kontinyu, saya yakin nasionalisme akan terus tumbuh, hingga pada suatu saat akan mekar dan memancarkan aroma yang semerbak mewangi. Pada titik itu, Garuda telah sukses menyebarkan aroma dan warna kebangsaan.

Saya sedang memikirkan makna keindonesiaan di atas pesawat Garuda. Tiba-tiba saja, ada sentuhan lembut di bahu saya. Seorang perempuan berbaju kebaya tiba-tiba saja menyapa dengan senyum termanis, “Pesawat sudah mau mendarat. Saatnya menegakkan sandaran kursi.”



Baubau, 28 Juni 2013


2 komentar:

Ayu Welirang mengatakan...

Saya malah belum pernah naik pesawat Garuda, Pak. Jadi, saya belum tahu bagaimana rasanya nasionalisme itu terbang di udara bersama Garuda. :(

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks Ayu. tulisan ini disiapkan untuk lomba yang diadakan Garuda Indonesia. Lumayanlah. kalau menang, bisa jalan2 gratis ke Bali. hehehe

Posting Komentar