PEGGY GISH; Setetes Embun di Kota Athens

Peggy Gish dan Prof McGinn saat berdemonstrasi di Court Street

DUA tahun silam, saya melihat wanita itu berdiri di depan Court House di Athens, Ohio, sambil membentangkan poster yang bertuliskan "It's a lie that the war is protecting us". Di tengah terik yang menyengat, ia memperlihatkan poster itu kepada semua pengguna jalan. Di sebelahnya, seorang lelaki tua juga memegang poster yang bertuliskan “Prevent Future Wars.”

Seminggu berikutnya, saya kembali melihat pemandangan yang sama. Bahkan dua minggu sesudahnya. Ternyata, wanita itu selalu melakukan hal yang sama di setiap minggu. Dan sering, ia melakukannya bersama pria itu. Ketika saya mem-posting foto mereka di jejaring sosial, seorang warga Athens tiba-tiba menginformasikan kalau lelaki tua yang memegang poster itu adalah Professor McGinn, seorang warga Amerika yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati. Tapi siapakah wanita tua bermata teduh itu?

Suatu hari saya menghadiri acara piknik yang diadakan oleh komunitas interfaith atau dialog antar-iman di Athens. Di acara ini, banyak pemuka agama Kristiani, Yahudi, serta Islam yang hadir dan saling berkenalan. Saya sempat berbincang dengan seorang pendeta, yang dengan cueknya menyebut petugas imigrasi Amerika sebagai “ridiculous and stupid” saat saya bercerita tentang pengalaman di Bandara Detroit yang sempat ditahan imigrasi hanya karena nama depan saya adalah Muhammad.

Saat perbincangan itu, saya melihat wanita tua yang selalu memegang poster di Court Street. Saya lalu mendekat dan berkenalan. Kebetulan, ia sedang bersama Yojo Surjana, seorang warga Indonesia. Tahulah saya bahwa perempuan itu adalah Peggy Gish. Saya juga diceritakan kalau ia adalah istri dari almarhum Art Gish, seorang pemeluk Kristen yang juga menjadi aktivis perdamaian. Dikisahkan pula kalau Art pernah berkunjung ke Indonesia.

Beberapa tahun silam, saya pernah membaca buku Art Gish yang berjudul Hebron Journal, terbitan Mizan. Catatan Art Gish adalah kesaksian langsung dari seorang yang menyaksikan peperangan yang meluluhlantakkan Palestina. Art berbeda dengan para akademisi yang menulis peperangan hanya berdasarkan riset pustaka serta tak pernah melihat perang. Para akademisi itu hanya berada di tepi atau pinggiran. Art Gish masuk ke dalam kancah peperangan. Dengan penuh keberanian, ia menghadapi tank lapis baja Israel dengan mata tak berkedip demi melindungi rakyat Palestina. Ia membuka mata orang-orang bahwa perdamaian adalah sesuatu yang amat mulia, sebagaimana mulianya wahyu dalam kitab suci. Dan ia membumikannya lewat aksi heroik.

Art Gish dan Peggy Gish

Sayang sekali, saya tidak sempat bertemu dengan Art Gish. Ia telah meninggal dunia beberapa tahun sebelum saya tiba di Athens. Konon, ia meninggal akibat akibat kecelakaan saat sedang bertani organik. Namun saya amat beruntung sebab bisa bertemu dengan istrinya, perempuan bermata teduh yang setiap minggu akan memegang poster anti perang di Court Street. Sebagaimana suaminya, Peggy adalah aktivis perdamaian yang tinggal di Irak. Ia juga mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara AS. Di saat melihat dirinya, saya bertanya dalam hati, bisakah cinta mengalahkan kebencian? Bagi Peggy, jawabannya adalah bisa. Ia telah membuktikannya. Ia merasakan bagaimana diculik oleh militer AS. Ia menunjukkan bahwa cinta kasih adalah embun yang bisa memadamkan segala api amarah yang menyala-nyala.

Pada pertemuan itu, ia lebih banyak mendengarkan. Kami bercerita pengalaman. Ia hanya sesekali tersenyum. Saat bercerita tentang pengalamannya di Irak, ia terdiam sesaat lalu berkisah bagaimana perasaannya saat berada di satu kota yang dijatuhi bom. “Saya bersama mereka saat bom jatuh dan menghancurkan kota. Saya ketakutan sambil bertanya, di manakah kau Tuhan? Apakah Kau sedang bersama mereka yang menderita di peperangan ini?”

Kami tak lama berbincang. Sepulang dari acara itu, saya lalu mencari beberapa informasi tentang Peggy. Bersama suaminya, ia menjadi relawan pada Christian Peacemaker Teams sejak Oktober 2002 di Irak. Ia menjalani banyak profesi, tak hanya sebagai seorang ibu, namun juga sebagai nenek, petani organik, mediator komuitas, instruktur pelatihan manajemen konflik, hingga pernah memimpin Applachian Peace and Justice Network di Athens. Ia juga menulis sebuah buku yang berjudul Iraq: a Journey of Hope and Peace (Herald Press, 2004) yang mengisahkan pengalamannya saat berada di Irak.

Bersama almarhum suaminya, Peggy adalah seorang pejuang anti-kekerasan. Ia adalah anggota Church of the Brethern, yang beraliran pasifis dan meyakini bahwa semua perang adalah dosa, dan juga meyakini bahwa Yesus memerintahkan untuk memaafkan semua musuh. Saya pernah mendengar cerita bahwa pada masa perang Vietnam, banyak anggota jemaat ini yang menolak wajib militer dan memilih dipenjara.

Gereja Berthen ini memiliki tradisi yang sama dengan orang-orang Amish. Mereka tidak merokok, juga tidak dibolehkan meminum alkohol, serta tidak menyekolahkan anak di sekolah sekuler. Pantas saja, ketika melihat foto Art Gish, saya serasa melihat gambaran seorang lelaki Amish yang bertani organik dan menolak penggunaan teknologi.

Peggy Gish dalam satu diskusi

Pengalaman berbincang dengan dirinya membuka mata saya lebih lebar. Di tanah air, saya sering melihat warga Amerika dengan cara pandang tunggal bahwa semuanya sesuai karakter yang diwartakan televisi atau media, atau diteriakkan sekelompok orang. Di tanah Athens, saya menemui manusia-manusia seperti Peggy yang melihat orang lain tidak berdasarkan pada asal-usul, agama, atau materi yang dimiliki seseorang. Mereka melihat manusia sebagaimana adanya. Kesadaran kemanusiaan telah merasuk dalam sukma mereka, lalu menjelma sebagai sikap yang ramah, menghargai siapa saja, membela perdamaian, dan menentang kezaliman.

***

HARI ini saya janjian untuk bertemu Peggy di Alden Library. Ia hendak menyerahkan buku yang kelak akan saya bawa ke Indonesia. Ketika mengirim pesan lewat email, ia mengingatkan bahwa hari ini adalah hari Jumat. Ia juga mengingatkan agar saya tidak meninggakan salat Jumat. Saya amat tersentuh dengan pesannya yang amat bijak.

Seorang sahabat di Islamic Center bercerita bahwa suami Peggy adalah seorang muslim. Buktinya, ia selalu hadir untuk salat Jumat bersama-sama. Di bulan Ramadhan, ia juga berpuasa, serta tak pernah absen salat Magrib, Isha, dan Tarawih. Namun, seorang warga Athens juga bercerita kalau Art Gish juga seorang Yahudi yang tak pernah absen saat ibadah di sinagog. Ia juga masih seorang Kristen yang rutin hadir di gereja.

Saya menangkap pesan universal dari berbagai informasi itu. Bagi orang seperti Art dan Peggy, agama adalah sebuah jalan keselamatan. Ketika membaca buku Art Gish yang berjudul Muslim, Christian, and Jew (2012), saya menemukan kalimat menyentuh hati bahwa ia menemukan rasa keimanan yang kuat saat berada di masjid, gereja, atau sinagog. Ia menemukan rasa hayat ketuhanan, satu rasa yang membuat seseorang merasakan kehadiran kekuatan maha dashyat yang kemudian membuat seseorang merebahkan dirinya pada Sang Pencipta.

saat di Court Street

Jika Peggy dan suaminya mendiskusikan hal yang sama, pantas saja jika Peggy melihat kesadaran kemanusiaan sebagai sesuatu yang melampaui kesadaran sempit tentang agama sebagai kategori sosial yang membeda-bedakan manusia. Ia telah menemukan satu jalan, yang kemudian membuat dirinya sebagai embun yang mengatasi dahaga akan spiritual serta dahaga untuk menemukan kebenaran lewat sikap dan tindakan terpuji.

Hari ini saya akan bertemu Peggy. Saya amat bahagia bisa bertemu salah satu orang baik yang juga menjadi embun kebaikan bagi sebagian orang di Athens. Saat sedang menunggu sambil merenung, ponsel saya tiba-tiba berbunyi. Ada pesan masuk. Ternyata, Peggy mengirimkan pesan yang berbunyi, “Apakah kamu sudah selesai salat Jumat? Jika sudah, saya akan segera menuju ke situ.”



Athens, 28 April 2013
www.timur-angin.com

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Luar biasa. Bagi kebanyakan orang pastilah aneh. Bagiku Art & Peggy sudah mencapai tataran kebatinan yg luar biasa. Great article.

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih bro..

Posting Komentar