Calon Doktor di Usia "ABG"


ilustrasi

USIA lelaki itu belum genap 23 tahun. Tapi jangan tanya dengan apa bacaannya. Ia kerap menenteng buku-buku serius dan menghabiskan waktu untuk membaca. Dalam usia semuda itu, ia sudah mengkhatamkan berbagai buku tentang teori-teori sosial, serta filsafat politik. Maklum saja, ia adalah mahasiswa program doktoral bidang ilmu politik di satu universitas bergengsi di Amerika Serikat (AS).

Jangan kaget. Di tanah air, saya mendapati kenyataan bahwa mahasiswa program doktoral adalah mereka yang berusia 40 tahun ke atas. Banyak anggapan bahwa mereka yang belajar di level doktoral adalah mereka yang rambutnya telah memutih, berkacamata tebal (karena kebanyakan membaca), memakai kemeja rapi yang dikancing hingga leher serta bercelana kain.

Anggapan ini tak melulu salah. Lihat saja mahasiswa program doktor di banyak kampus tanah air. Mengapa banyak yang belajar di level doktor adalah mereka yang usia mulai sepuh? Jawabannya karena biaya kuliah memang mahal. Kampus tak menyediakan beasiswa untuk mereka yang muda dan potensial. Tanpa bermaksud menggeneralisir, mereka yang sepuh sering tak punya banyak waktu untuk menjelajah di rimba pemikiran. Mungkin saja hari-harinya dipenuhi pikiran tentang keluarga, anak, karier, atau mungkin istri kedua atau ketiga. Hehehe.

Namun di tanah Amerika, saya banyak bertemu mahasiswa program doktoral yang usianya masih amat muda. Dalam usia muda, mereka telah bergelut dengan dunia riset, berakrab dengan filsafat pengetahuan, serta pelan-pelan menentukan posisi epistemologisnya di belantara ilmu pengetahuan. Mereka akan mengonstruksi teori baru. Bukankah ini amat mengejutkan?

Di kampus-kampus Amerika, para calon doktor ini dipekerjakan oleh kampus. Biaya kuliahnya ditanggung oleh kampus, dengan syarat mereka harus bekerja. Banyak di antara mereka yang menjadi asisten pengajar yang mengasuh kuliah di level sarjana. Ada pula yang menjadi asisten peneliti yang men-support para profesor dengan kegiatan ilmiah.

Saya mengenal beberapa mahasiswa India yang usianya belum 25 tahun. Namun pengetahuannya berada di level profesor ilmu sosial. Mereka tekun membaca dan suka berdiskusi. Matanya akan berbinar-binar ketika kita mengajak diskusi tentang beberapa teori seperti post-kolonial, teori kritis, ataupun studi-studi ekonomi politik. Dengan penguasaan bahasa Inggris yang amat baik, mereka sangat percaya diri dalam berargumentasi.

ilustrasi

Saya juga mengenal beberapa mahasiswa Cina yang memenuhi program doktor bidang fisika atau teknik. Usia mereka amat muda. Beberapa di antaranya nampak seperti “anak baru gede” yang suka memakai baju-baju unik yang trendy, musik-musik khas remaja. Di hari Sabtu dan Minggu, mereka akan bertebaran di beberapa bar sambil cekikikan bersama rekan-rekan sebayanya. Akan tetapi di hari Senin hingga Jumat, mereka akan menjadi manusia akademik yang menenteng banyak buku, mengunyah-ngunyah teori, lalu mendebatnya dengan penuh antusiasme.

Mahasiswa Indonesia

Tak hanya mahasiswa Amerika atau mahasiswa negara Asia lain seperti Cina, Jepang, Korea, ataupun Jepang. Saya juga banyak bertemu mahasiswa-mahasiswa Indonesia, yang dalam usia muda telah mulai mengukir jejaknya di pasir pengetahuan. Dalam usia di bawah 25 tahun, mereka telah bersaing di level yang lebih tinggi.

Mereka menunjukkan bahwa tak perlu menunggu usia sepuh untuk menggapai asa pengetahuan. Usia yang muda itu adalah perlambang dari energi yang meluap-luap untuk menjelajah rimba-raya pengetahuan, lalu bercengkerama dengan berbagai pemikiran dunia.

Setiap kali bersama mereka, saya tak pernah malu untuk menyampaikan rasa kagum. Saya membayangkan diri saya pada usia mereka. Pada masa itu, saya masih dalam kecemasan apakah kelak bisa lulus program sarjana atau tidak. Maklumlah, saya seorang mahasiswa pemalas, yang lebih suka nonkrong di luar kelas.

Hari-hari saya dahulu adalah berpindah-pindah ruangan untuk bertemu kawan-kawan aktivis ataupun pura-pura jadi aktivis (sebagaimana saya), lalu di malam hari, akan dsibukkan dengan begadang untuk sesuatu yang sering nampak klise bagi banyak orang yakni mengisi pengkaderan mahasiswa, merancang aksi, sesekali menulis artikel untuk media massa, ataupun sesekali menulis puisi yang hanya sesekali dikirimkan pada beberapa mahasiswi. Itu pun selalu gagal memantik kekaguman.


Namun, jangan pernah berpikiran bahwa mereka yang muda ini adalah mereka yang masih hijau dan tak punya pengalaman. Seorang kawan mahasiswa doktoral asal Indonesia telah melanglangbuana ke banyak tempat di Asia demi mengajarkan perdamaian. Pada diri mahasiswa doktor ini, saya melihat kombinasi antara kearifan pengetahuan, serta kemampuan praktis dalam mengenali kenyataan.

Seorang kawan lainnya juga masih memelihara idealisme di benaknya. Ia masih memelihara semangat pembebasan serta keyakinan bahwa kelak Indonesia akan lebih baik dari sebelumnya. Ia seorang yang mengasah dirinya dengan baik demi mendedikasikan pengetahuannya kelak untuk masyarakat.

Satu hal yang menjadi kekhawatiran saya. Saya takut kalau-kalau mereka kelak tidak berkeinginan untuk kembali ke Indonesia. Sebab mereka mudah saja bekerja di banyak negara, lalu menjadi profesor di kampus-kampus besar di berbagai negara lain.

Akan tetapi, saya juga menyadari bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang mesti diabadikan untuk kemanusiaan. Di manapun mereka berada, sepanjang mereka mendarmabaktikan ilmunya untuk pembebasan manusia, maka mereka akan menjadi nyala api inspirasi yang membersitkan optimisme kita tentang masa depan yang jauh lebih baik dari hari ini. Di manapun juga, mereka akan bisa memberi konstribusi bagi bangsa.

Yang pasti, saya bangga bisa mengenal mereka yang muda, optimis, dan rendah hati dengan pengetahuannya.(*)



Athens, 3 April 2013

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan yang Menggelitik dan menggugah kebijaksanaan.

olpage.blogspot.com mengatakan...

Indonesia juga bisa kanda jika sistem pendidikan kita dipangkas... tapi berapa tahun lagi yah impian itu, SD hanya 3 tahun saja, SMP 2 Tahun dan SMA 2 Tahun, jika model pendidikan yang ada di Amrik bisa tiru di Tanah Air saya yakin HDI akan menigkat. sarjana doktoral yang usia muda akan tercetak dimana-mana... :) Yakusa

Yusran Darmawan mengatakan...

iya. mestinya banyak doktor berusia muda di negara kita.

Nana mengatakan...

3-5 tahun lagi sepertinya di Indonesia pun mulai banyak doktor muda, bang Yusran.. Ini berdasarkan pengamatan saya.. Teman2 se-angkatan saya saat ini ada yang sedang menempuh pendidikan doktor Ilmu Lingkungan di UNDIP. Hmm,, usianya masih 24 tahun. Lulus sarjana langsung melanjutkan program magister (hanya 1 tahun) dan lanjut lagi program doktor.

Terus, kalo nanti kebijakan dari DIKTI untuk penerima Beasiswa Unggulan angkatan 2011 dan 2012 mengijinkan untuk dapat langsung melanjutkan ke program doktor, saya rasa teman2 banyak sekali yang berencana mengambil program doktor. Saat ini, teman2 penerima BU yang sudah lulus dari program magister sedang menunggu keputusan dari DIKTI..

Yusran Darmawan mengatakan...

Hallo mbak nana. makasih atas komentarnya. mudah2an saja akan banyak para doktor baru yang berusia muda di tanah air kita. mereka bisa memperkaya banyaknstudi dan kajian tentang keindonesiaan.

Posting Komentar