Ode buat Muslinah


ilustrasi

SEBUAH pesan terpampang di jejaring sosial. Seorang sahabat, Muslinah, telah meninggal dunia dengan tenang di Makassar, Sulawesi Selatan. Saya sangat mengenalnya. Saya pernah melalui masa-masa bermahasiswa bersamanya, ketika kami sama-sama hendak mencari jejak kami di rimba kemahasiswaan.

Di masa itu, kampus pernah menjadi tempat para pendekar yang suka menunjukkan kelihaian berkelit atas seliweran badik. Di suatu waktu ketika orang-orang lebih suka dengan hura-hura atau berhamburan ke diskotik, saya kemudian berkenalan dengan banyak anak-anak muda hebat yang mencintai dunia ilmu pengetahuan.

Dari sekian banyak orang itu, saya mengenal Muslinah sebagai satu di antaranya. Di masa itu, kami sama-sama sadar bahwa duduk di koridor kampus Fisip Unhas demi menelaah pengetahuan bukanlah sesuatu yang seksi bagi orang-orang. Tapi, kami sama-sama sadar bahwa upaya untuk mengorek-ngorek jantung pengetahuan mesti terus dilakukan agar mahasiswa tidak terjebak dengan kenyamanan serta birokrasi kampus yang menganggap mereka sebagai gelas yang harus diisi.

Di masa itu, kami semua masih amat muda. Kami masih memelihara satu tunas idealisme bahwa jauh lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk keadaan. Maka forum-forum diskusi menjadi jalan keluar bagi kami. Awalnya memang tak mudah. Kami kenyang dengan tuduhan komunis, atheis, hingga membawa-bawa aliran tertentu. Kami juga kebal dengan tuduhan ditunggangi gerakan buruh.

Di masa itu, intelektualitas menjadi mercusuar yang kemudian menjadi cahaya terang ke mana kami bergerak. Bersama sahabat-sahabat yang hebat, generasi Fisip tahun 1995 – 2002, kami membangun tradisi baru yang kemudian berbuah lebat. Hanya dalam tempo beberapa bulan, semua orang tiba-tiba bangga dan ingin jadi anak kajian.

Di masa itu, kami sukses membangun mitos bahwa tidak sah status kemahasiswaan seseorang ketika tidak jadi anak kajian. Tidak pantas seseorang berkeliaran di semua lembaga kemahasiswaan jika tak pernah ikut diskusi, tak punya pengalaman di forum studi, tak pernah menulis di Identitas, atau tak pernah sekalipun berpanas-panas demi demonstrasi dengan jaket merah kebanggan Universitas Hasanuddin.

Muslinah adalah satu dari sejumlah mahasiswi ilmu politik yang amat suka dengan diskusi. Ia termasuk satu dari sedikit orang yang bisa mengurai gender dari aspek filosofis, hingga bagaimana mengoperasionalkan konsep itu di lapangan. Pada masa itu, Muslinah sering bersama beberapa perempuan seperti Sukma atau Dani. Mereka adalah srikandi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian mewarnai sejarah organisasi itu di kampus Unhas.

Saya tak terkejut ketika mendengar Muslinah menjadi pucuk pimpinan di organisasi perempuan HMI. Ia memang mumpuni dan punya pengetahuan luas. Setahu saya, ia juga seorang periset yang handal. Belakangan, ketika saya memilih karier sebagai jurnalis, ia berkarier di dunia riset dan pergerakan sosial. Ia lalu mengawal lembaga Acsi, yang kemudian jadi kawah candradimuka baginya untuk menempa diri.

Saya mengenangnya sebagai satu orang baik yang kemudian mati muda. Dari sekian banyak sahabat, saya akan mengenangnya sebagai seseorang baik yang pernah mengajari banyak orang untuk menemukan diri. Belakangan, saya semakin menyadari bahwa ilmu pengetahuan tak boleh diperangkap dalam pemikiran seseorang. Ilmu pengetahuan harus menjadi cahaya yang menerangi kegelapan hati orang lain. Lewat cara itulah, Muslinah telah berjihad demi membangunkan banyak orang di kampus bahwa ada cara-cara terang untuk memahami kenyataan.

Dalam satu kesempatan, ia pernah membahas tentang jalan-jalan menggapai kesempurnaan. Kini, ia telah menemukan jalan menyempurna itu. Ia telah mengalami penyatuan dengan Yang Maha Sempurna, sesuatu yang lama dirindukan para sufi-sufi yang mewariskan jejak cahaya di pekatnya ketiadaan pengetahuan.

Hari ini, saya mendengar berita tentang kepergian Muslinah. Saya mnundukkan kepala dan merapal mantra ke udara. Semoga Yang Maha Mengenggam tak pernah melepaskan genggaman kepadanya di alam sana.

Selamat jalan sahabat!


0 komentar:

Posting Komentar