Balada Dua Putra Pejabat


Rasyid dan Ibas

PEMUDA itu bernama Rasyid. Ia seorang pengendara mobil BMW. Ayahnya adalah seorang berpangkat yang juga menjadi calon presiden. Ketika pemuda itu menabrak sebuah mobil yang kemudian menewaskan dua orang, hukum seolah berpihak padanya. Jika para penabrak mau lainnya langsung masuk penjara sebagai pertanggungjawaban, Rasyid malah melenggang-kangkung ke rumah.

Mengapa? Katanya, ia membutuhkan perawatan atas trauma yang dialaminya. Pertanyaannya, siapakah yang sesungguhnya jadi korban dan butuh pemulihan trauma? Apakah si penabrak? Entah. Tiba-tiba saja, media massa meributkan dirinya yang –kon katanya—sedang berada di luar negeri. Aneh. Ia malah menikmati aneka keistimewaan dari hukum kita.

Satu lagi adalah pemuda bernama Ibas. Mobilnya adalah Audi, seharga 1,1 miliar rupiah. Ayahnya juga seorang berpangkat. Malah, ayahnya menempati pucuk pimpinan negeri ini. Sebagai putra pejabat, ia tak perlu mengasah diri dengan berbagai pengetahuan. Ia tak perlu berpeluh dan bermandi lumpur sebagaimana para aktivis yang membangun integritas, karakter, hingga memahami asam garam penderitaan rakyat.

Pemuda ini cukup memasang nama ayahnya, maka dengan mudahnya ia melaju ke gedung parlemen. Ia juga tak perlu hadir sidang demi menyuarakan mereka yang memilihnya. Ia cukup datang, kemudian staf skretariat akan datang dengan tergopoh-gopoh demi menyerahkan absensi. Setelah tanda tangan, dan langsung ngacir. Ketika ditanya hendak ke mana? “Saya sedang sibuk. Nanti saja ya?” Ia lalu menghilang bersama para ajudan.

Dua pemuda, dua kisah. Potret keduanya adalah gambaran tentang lapis-lapis atas negeri ini. Keduanya memperoleh semua keistimewaan serta jalan pintas di dunia sosial kita. Keduanya menjadi symbol betapa nikmatnya duduk di barisan atas piramida masyarakat kita. Tak perlu bekerja keras. Tak perlu paham bagaimana membangun etika dan kesantunan. Cukup mengandalkan nama besar keluarga, maka kuasa telah menggumpal di tangan. Dengan itu, hukum dan aturan bisa terbeli.


Dua pemuda, dua kisah. Kisah pemuda Rasyid menunjukkan betapa tumpulnya pedang hukum ketika hendak menebas mereka yang ‘berumah di atas angin.’ Ini memang negeri yang seolah dimiliki sgeelintir orang. Ketika mereka bersalah, maka segala cara akan ditempuh demi mengistimewakan mereka. Sedangkan kisah pemuda Ibas adalah gambaran betapa nikmatnya menjadi putra pesohor di negeri ini. Anda tak perlu pandai. Tak perlu hebat membangun jaringan. Uang dan kuasa akan datang semudah membalikkan teapak tangan.

Di saat mengenang dua pemuda itu, tiba-tiba saja saya teringat pemuda Sukarno dan pemuda Hatta. Saya membayangkan saat-saat ketika keduanya di penjara atau diasingkan demi sebuah idealisme tentang tanah air. Saya juga membayangkan pemuda Tan Malaka yang hingga akhir hayatnyaterus berjuang atas nama republik. Saya juga membayangkan pemuda-pemuda yang setiap hari berpanas-panas demi membela petani yang tertindas di negeri sana.

Apakah zaman memang sudah berubah? Apakah negeri kita sedang dijajah oleh para kolonialis baru?


4 komentar:

darmawati alimuddin mengatakan...

bukan hanya dua pemuda itu yang kerap berbuat demikian,di tanah yang kujejaki sekarang,di desa yang terletak di atas bukit, segelintir orang dengan hanya menggunakan nama ayahnya mampu mempermainkan segala aturan...
coba,bayangkan di penguasa daerah dan kroni2nya merasa tak perlu tahu apa makna keadilan. lucunya, seperti tak puas mereka berkeinginan untuk menguasai bukan hanya skala daerah tp berangan ke skala yang lebih besar...heran..

Yusran Darmawan mengatakan...

benar sekali adik Darma. Hasrat berkuasa bisa berada di mana-mana, bisa menjangkiti siapa saja.

rasyid mengatakan...

Hukum menghujam tajam ke bawah,tp tumpul ke atas..luar biasa!! Pelaku kriminal kok bs di biarkan melenggang bgitu sj,hny krn pelaku anak pejabat! Tp ad hukum Allah yg lbh dahsyat akan dia terima kelak,wkt yg akaan menjawab nya..!!!

Yusran Darmawan mengatakan...

setuju. makasih atas komennya.

Posting Komentar