Inspirasi Timnas Indonesia

 

SEBELAS anak muda itu berlari di lapangan hijau. Mereka memang kalah. Mereka takluk. Tapi mereka tak benar-benar kalah. Mereka memenangkan hati banyak orang bahwa di lapangan itu, mereka telah bertarung atas nama bangsa. Mereka bertarung atas nama ratusan juta rakyat Indonesia yang menyaksikan pertandingan dengan berdebar.

Kesebelas anak muda itu seolah hendak berkata lantang bahwa mereka punya kemurnian hati dan semangat untuk membawa nama bangsa, tanpa harus terikat pada ambisi para politisi yang handal mempolitisasi sepak bola. Mereka seolah berkata bahwa demi bangsa negara, mereka akan ikhlas untuk bertempur hingga titik darah penghabisan.

Kesebelas anak muda itu adalah para pemberani. Bambang dan Okto seolah menampar banyak politisi bahwa di dunia sepakbola, loyalitas pada klub serta pemimpin federasi adalah omong kosong ketika berhadapan dengan kepentingan bangsa. Sebuah bangsa dibangun di atas puing-puing ambisi dan ego pribadi. Ketika bangsa memanggil, maka diri menjadi lebur. Ketika ibu pertiwi menagih, maka kehormatan akan dipertaruhkan.

Mereka yang membawa nama bangsa adalah mereka yang melihat kepentingan yang lebih besar. Bukan sekadar uang atau nama, namun setiap tetes darah yang mengaliri tubuh bangsa. Mereka menunjukkan pada para politisi busuk yang seolah mengendalikan bola, bahwa kecintaan pada negeri adalah mata air yang menjadi darah dan semangat yang menetes-netes bersama keringat dan darah.

Bahwa sepakbola adalah arena nasionalisme sekaligus senjata anak-anak muda. Di lapangan itu, mereka adalah anak-anak muda yang bermain lepas, tanpa harus terikat pada segala kepentingan para politisi bangsat itu. Mereka memang kalah. Sering orang hanya melihat hasil di papan skor yang bagiku sering tak mencerminkan apapun. Bermain baik kala mengalahkan Singapura, membuat mereka tak berhasil memperagakan formasi batik dengan kelincahan ala reog Ponorogo ketika melawan Malaysia.

Persis, seperti dikatakan pesepakbola kondang Michel Platini, “Dalam bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.” Manusia mengira awal adalah segalanya. Bola mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya. Maka, bila sudah menggelinding, bola adalah dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch: “Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.”

Tapi apapun hasil pertandingan, di stadion itu, aku melihat semangat yang menggila. Aku merinding melihat permainan tim nasional yang terus menjebol tanpa kenal lelah. Andik Vermansyah, Elie Aboy dan Bambang Pamungkas bertarung tanpa kenal lelah. Mereka seperti garuda terluka yang mempertaruhkan kehormatan dan harga diri bangsa. Di lapangan itu, aku tidak sedang melihat sebuah kesebelasan yang tengah berjuang menggapai point penting kemenangan. Aku melihat mereka sebagai pejuang-pejuang bangsa yang mempertaruhkan nyawa dan kehormatan bangsa hingga titik akhir. Inilah bangsa Indonesia dan masyarakatnya yang kucintai. Kalian -para pemain bola yang luar biasa itu– telah mempertontonkan bahwa bangsa ini tidak akan pernah menyerah hingga detik akhir.

Mungkin kalian bukanlah yang terbaik. Mungkin ada seseorang terbaik yang tiba-tiba saja tak ingin bergabung sebab takut akan diputus kontraknya. Maka keberanian untuk menghadapi semua tantangan demi bangsa adalah kekuatan serta energi terbaik yang kalian miliki. Lewat itu, kalian menunjukkan bahwa kalian masih punya harga diri, dibandingkan pemain lain, serta politisi biadab itu.


Kalian memperlihatkan ciri khas anak muda yang tengah merayakan kegembiraan lewat sepakbola. Bola adalah arena tempat mereka bermain lepas, tanpa harus terbebani dengan politik ala generasi tua yang sibuk berebut pencitraan. Generasi bajingan itu adalah generasi yang tak kenal sejarah. Mereka adalah generasi yang hanya bisa mengklaim kemenangan kalian, namun saling tuding ketika kalian kalah. Mereka yang hanya bisa diam ketika melihat kalian terluka dengan darah yang menetes-netes saat berjibaku di lapangan itu, namun demikian pongah ketika kalian menang.

Tapi lapangan ini tetaplah milik kalian. Kalian memang anak-anak muda yang punya tafsir sendiri atas politik. Di saat mereka mengklaim semua kemenangan itu, kalian telah bekerja tanpa kenal lelah untuk bangsa ini. Lapangan ini menjadi saksi dari kebahagiaan bermain bola di tengah samudera dan gelora nasionalisme yang berkobar-kobar. Lewat permainan menawan itu, kalian telah menunjukkan bahwa negeri ini bisa bersatu, melupakan perbedaan.

Semangat itu telah memincut hati kami para pencinta sepakbola. Inilah bangsa kita, yang tak akan pernah menyerah hingga titik akhir. Mereka boleh saja memenangkan pertandingan ini, tapi kita memenangkan banyak hal, termasuk sportivitas, serta darah juang sebagaimana para pendiri bangsa ini yang telah melepaskan apapun.

Kalian telah menunjukkan sikap yang hebat pada semua pemain bola yang enggan membela bangsa. Kalian telah menohok ulu hati para politisi bangsat itu. Kalian telah menanam kembang harapan pada jantung 240 juta bangsa yang Indonesia. Kalian telah menyalakan api semangat untuk terus memperbaiki diri dan tak berpuas hati pada apa yang digapai. Dan lewat upaya untuk belajar, bekerja, serta berrefleksi di atas setiap kekalahan, kita menapak jalan menuju kemenangan.

Kemenangan itu milik kita. Milik anak-anak muda.


Athens, 1 Desember 2012


2 komentar:

isti mengatakan...

sayang sekali saya engga sempat nonton, pas tau Indonesia kalah, saya kecewa luar biasa. Tapi setelah membaca postingan ini, saya bangga sama semangat anak2 muda ini berharap para politisi pengurus sepak bola berhenti memikirkan kepentingan mereka sendiri.

WILLIAM GUNAWAN mengatakan...

Minta izin share abang....

Posting Komentar