Senja Lara di Jacky O's



DI malam itu, aku duduk di sudut bar Jacky O’s, bar kecil di kota Athens, Ohio. Sembari meminum red berry juice, aku menyaksikan dirinya yang sedang bernyanyi di panggung sana. Kalau tak salah, ia menyanyikan lagu Autumn Leaves yang pernah dibawakan Nat King Cole. Suara mendesah segera meluncur dari bibir merahnya.

The falling leaves
Drift by the window
The autumn leaves
Of red and gold

I see your lips
The summer kisses
The sunburnt hand
I used to hold

Aku bukan penggemar Nat King Cole. Tapi mendengar lagu jazz khas Cole yang dinyanyikannya di panggung itu, tak urung membuatku larut. Aku menikmati suara mendesah, serta tubuhnya yang dibalut oleh baju sejenis kemben yang memperlihatkan sebahagian dadanya. Bagian yang paling kusuka adalah saat menyanyi, ia akan melirik ke arahku sambil tersenyum. Hmm.. Setiap ia melakukannya, ada sesuatu yang mengalir kencang di dada ini.

Sebut saja namanya Lady. Aku menemuinya di kafe ini nyaris setiap malam minggu, di sela-sela tugas kuliah yang kian menumpuk hingga membuatku nyaris semaput. Ia berasal dari satu negara di Amerika Latin. Datang ke kota kecil ini hanya untuk bekerja, tanpa berharap untuk kuliah. Di kampus dekat bar itu, biaya kuliah sedemikian mencekik leher. Aku beruntung karena di-cover lembaga penerima beasiswa. Tapi Lady tidak seberuntung diriku.

“Mengapa kamu tak suka alkohol?” tanyanya.
“Aku tak terbiasa,” jawabku
“Mengapa tak dibiasakan? Bukankah kamu sedang berpijak di bumi Amerika? Sebuah bumi di mana alcohol adalah bahasa pergaulan?”
“Aku tahu itu. Tapi aku tak tahu mana yang cocok,”
“Kamu bisa mencobanya. Untuk tahap awal, kamu bisa mencoba martini, yang merupakan cocktail dengan berbagai variasi campuran antara gin (jenewer) dan vermouth yang disuling dari air anggur.”
“Nantilah. Aku tak mau mencobanya sekarang.”
“Ah. Kamu selalu saja tak konsisten.”

Aku memang sengaja tak mau mencoba berbagai minuman yang selalu dijelaskannya. Bukan bermaksud sok alim, namun tubuhku tak cocok dengan segala jenis minuman beralkohol. Aku hanya suka minuman buah sejenis juice, yang kuanggap lebih menyehatkan.

Lady tak pernah mempersoalkan pilihanku. Kami beda bangsa, beda negara, dan beda selera. Tapi segala perbedaan itu menjelma sebagai jembatan yang kemudian menautkan kami sebagai sahabat. Yah. Aku menganggapnya sahabat. Ia pun juga sudah punya pacar yang posesif, yang pernah datang melabrak dan memintaku untuk menjauhinya.

Namun diriku seorang kepala batu. Kehangatan persaudaraan serta senyum manis itu menjadi magnet yang selalu memaksaku untuk menemuinya. Aku menerimanya apa adanya. Tak pernah aku jelalatan melihat pakaiannya yang selalu minim. Aku terbiasa melihat sesuatu dari sisi yang positif. Melalui itu, aku selalu bahagia.

Kami suka diskusi. Meskipun dalam diskusi itu aku lebih suka diam sambil memperhatikan bibirnya yang sebasah Thalia, pemain film Marimar. Ia sering becerita tentang status imigrasinya yang tak jelas. Sementara aku suka bercerita tentang keluarga kecilku yang jauh di sana. Dan setiap kali bercerita tentang topik itu, mata birunya seakan berkilat-kilat. Aku menyukai saat-saat dirinya antusias.

“Malam ini, aku ingin membahas hal rahasia denganmu. Amat penting menyangkut kematianku,” katanya berbisik di telingaku. Aku tercekat. Mengapa ia tiba-tiba saja ingin membahas kematian? Apakah ia melihat sesuatu yang tak bisa kulihat? Aku menimbang-nimbang. Ia lalu ke panggung. Namun aku masih mengenali bau khas minuman yang ditenggaknya. Ia meminum Irish Whiskey, minuman khas Irlandia yang dibuat dari barley atau gandum. Baunya menyengat.


Aku menyaksikan dirinya yang sedang bernyanyi. Jujur, dalam kesepian ini, aku membutuhkan sosoknya. Dirinya adalah satu-satunya sosok yang mau mendengar semua kisahku yang terdampar hingga negeri ini. Tanpa dirinya, hidup ini serasa hampa. Aku tak punya siapa-siapa di negeri yang serba asing ini.

Hey, apa gerangan yang hendak dibisikannya? Mengapa ia bercerita tentang kematian? Jika memang, ia sedang terancam, mengapa pula ia tiba-tiba membahas rahasia-rahasia? Mengapa harus aku? Mengapa ia tidak bercerita pada lelaki tua bangka yang selalu datang dan menggandeng pinggangnya saat pulang dari bar ini?

Aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menyaksikannya di sana. Aku meraba kantung jaket yang kukenakan. Ternyata ada kertas di situ. Aku lalu mengeluarkannya dan membacanya sekilas.

“Yos. Aku sedang terancam. Aku memintamu menyelamatkanku. Kita harus pergi jauh dari sini. Kuminta dirimu menemuinya di sana,”

Siapakah yang mesti kutemui? Untuk apa? Hey, ada apakah gerangan?

Di atas panggung sana, ia melirik ke arahku. Tiba-tiba saja, terdengar bunyi letusan senapan dari arah pintu bar. Aku melihat seorang pria berkulit hitam masuk bar dengan pistol di tangan. Semua menjerit. Semua histeris. Di atas panggung itu, kulihat Lady terkapar dengan bersimbah darah. Saat itu, tiba-tiba saja aku teringat pada pesannya. Ia telah meramalkan kematiannya sendiri. Dalam keadaan serba takut, aku mengeluarkan catatan yang diberikannya. Oh my God! Di situ tertera sebuah alamat, yang entah apa maksudnya. Apakah yang hendak disampaikannya?


To Be Continued



1 komentar:

Unknown mengatakan...

waahhh luar biasa euy apakah ini

Posting Komentar