Petualangan Kosasih di Bumi Amerika


Wonder Woman versus Sri Asih, yang dibuat R.A. Kosasih

MINGGU lalu, maestro komik Indonesia, RA Kosasih meninggal dunia. Jutaan penggemar komik Indonesia sontak kehilangan satu tokoh besar yang menjadi panutan semua komikus, serta sosok yang mengisi ingatan kolektif banyak orang. 
 
Kosasih mengisi ingatan masa kecil dengan kisah-kisahnya yang penuh perenungan. Ia berhasil menyajikan kisah pewayangan ke dalam format komik yang kemudian mengisi imajinasi banyak orang.

Di mata saya, Kosasih bukan sekadar komikus. Ia adalah filosof yang mengajarkan tentang kehidupan melalui narasi dan kisah-kisah yang dituturkanya. Mendengar berita kematiannya membuat saya bersedih karena tak bisa mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir.

Hari ini, saya mengenang Kosasih dengan cara menelusuri karya-karyanya pada beberapa perpustakaan di Amerika Serikat (AS). Di AS, kita bisa leluasa menelusuri koleksi berbagai perpustakaan, meskipun tempatnya jauh dari negara bagian tempat kita berdomisili. 
 
Bahkan, kita bisa meminjamnya, dengan memanfaatkan jaringan antar perpustakaan. Dengan cara demikian, pengetahuan bisa menyebar ke mana-mana, dan tidak dimiliki secara eksklusif di satu tempat, pada satu universitas.

Saya tak tahu persis apakah komik karya Kosasih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan kampus di tanah air. Di kalangan orang Indonesia seringkali ada anggapan bahwa komik adalah bacaan tidak penting. 
 
Padahal, buat mereka yang senang mengkaji fenomena sosial budaya pada satu masa, komik bisa menjadi peta budaya yang menjelaskan suatu masa dalam sejarah. Buktinya, seniman Seno Gumira Adjidarma bisa mendapatkan gelar doktor setelah menganalisis komik Panji Tengkorak.

R.A.Kosasih, bapak komik Indonesia (foto: Jacky Rachmansyah/TEMPO)

Lain di Indonesia, lain di Amerika. Saya tercengang saat menyadari bahwa komik karya Kosasih memenuhi rak-rak beberapa perpustakaan besar di Amerika Serikat (AS). Karya Kosasih juga tersimpan rapi di Library of Congress, perpustakaan terbesar di dunia yang terletak di jantung kota Washington DC.

Selain itu, komik karya Kosasih juga tersebar di perpustakaan beberapa universitas. Saya melihat, karyanya juga ada di University of California, Berkeley. Namun, karya Kosasih yang terlengkap hanya tersimpan di dua universitas yakni Cornell University at Ithaca, New York, serta Ohio University at Athens, Ohio. Maka beruntunglah saya yang tinggal untuk sementara di kota kecil Athens.

Saya lalu bergegas ke Alden Library di Athens, Ohio, yang sejak lama tersohor karena menyimpan koleksi ribuan naskah kajian Indonesia. Di kota kecil ini, perpustakaan Alden menjadi oase yang mengatasi dahaga saya akan kajian tentang Indonesia. Saya sangat beruntung karena di kota Athens, karya-karya Kosasih lengkap tersimpan di Alden library, dalam format yang tertata rapi sehingga enak dibaca.

Selain komik karya Kosasih, perpustakaan ini juga menyediakan koleksi naskah, mulai dari karya-karya terbaru sejarawan Taufik Abdullah, bahkan novel silat sejenis Wiro Sableng, bisa ditemukan di sini. Jangankan penulis sekelas Rendra atau Goenawan Mohammad, Anda juga bisa menemukan koleksi novel dari penulis-penulis baru seperti Dewi Lestari, Habiburrahman El Shirazy, hingga Tasaro. Semuanya tersaji lengkap di sini.

komik Kosasih di rak Alden Library
komik Mahabharata
 
Beberapa kali saya mengetes koleksi perpustakaan ini. Setiap mengingat judul buku yang pernah saya lihat di Indonesia, saya iseng-iseng mengetik di katalog online perpustakaan ini. Demikian pula ketika membaca sebuah buku dalam bahasa Inggris, saya lalu mengecek daftar pustaka. 
 
Ketika saya menuliskan sejumlah buku di daftar itu ke website Alden, dengan segera saya akan terkejut ketika menyadari semua buku itu tersedia di Alden. Saya tercengang saat membayangkan betapa luasnya koleksi perpustakaan. Betapa dimanjakannya semua orang yang datang membaca atau ingin menenggelamkan diri di tengah lautan buku-buku. 

Koleksi Kosasih

Komik karya Kosasih tersimpan di Alden di jajaran koleksi studi Asia Tenggara. Namun, oleh pihak pustakawan, komik karya Kosasih disejajarkan dengan beberapa komik klasik Amerika yang menjadi tonggak penting sejarah komik yakni Edgar’s Rice Burrough’s Tarzan, karya Hal Foster, serta Buck Rogers karya John Dillie dan Dick Calkins. Kesemua komik itu menjadi penanda untuk memahami peta kebudayaan pada masa tersebut.

Saya memperhatikan bahwa di Alden Library, komik Kosasih tersimpan dalam satu rak yang posisinya berdekatan. Dengan mudah, saya bisa menemukan kesemua komik tersebut, mulai dari Mahabharata, Ramayana, Ken Arok dan Ken Dedes, Candrabirawa, Arjuna Sasrabahu, Bambang Wisanggeni, Lahirnya Rahwana, Lahirnya Sri Rama dan Dewi Sinta, Batara Kresna, Putra Rama, Wayang Purwa, Bharata Yudha, Bomantara, dan banyak lagi. 
 
Saya mencatat bahwa dari semua koleksi Kosasih yang sering disebut media tanah air, bisa ditemukan di perpustakaan ini.

bagian dalam komik Putra Rama
 
Namun, saat mengamati beberapa komik tersebut, kesan saya, banyak kisah komiknya yang mirip dengan komik Amerika. Wajar saja karena penciptaan karya mendapat pengaruh dari banyak hal. Selalu ada proses belajar.

Lihat saja komik Sri Asih. Komik karya Kosasih yang dibuat pada tahun 1954, mendapat pengaruh kuat dari tokoh Wonder Woman yang digambar oleh William Moulton Marston pada tahun 1946. Namun, Kosasih tidak menjiplak. Ia menjadikan komik Amerika itu sebagai inspirasi untuk melahirkan sosok baru jagoan wanita asal Indonesia.

Kosasih melakukan pribumisasi atas komik Wonder Woman sehingga bisa diterima oleh warga Indonesia. Di sini, elemen Wonder Woman menjadi hilang, sehingga muncullah jagoan baru dengan karakter yang sama.

Komik lain yang juga menjadi trade mark Kosasih adalah Ramayana dan Mahabharata. Yang menarik buat saya, Kosasih memasang tulisan, “Cerita Mahabharata di sini didasarkan pada pusaka Hindu, tidak ada fantasia atau tambahan. Karena itu, tidak ada tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.”

Namun, dalam penyajian komik ini, saya justru melihat bahwa Kosasih melakukan revolusi besar yakni melakukan pengindonesiaan karya Bhagavad Githa asal India itu ke dalam kebudayaan Indonesia. Kita bisa melihatnya lewat upaya penggambaran karakter sebagaimana pementasan wayang orang. 
 
Beberapa karakter digambarkannya sebagaimana karakter dalam budaya Jawa. Ia tidak menggambarkan Gatotkaca seperti raksasa, sebagaimana karakter dalam versi India, namun karakter yang muncul adalah seperti pewayangan yakni baju hitam dengan gambar bintang di dadanya.

sampul komik Ramayana

Komik Kosasih penuh dengan perenungan. Kosasih menyajikan dialog yang panjang antara Sri Kresna dan Arjuna pada perang Baratha Yudha. Mereka tidak membahas tentang nada gentar yang merayapi hati Arjuna. Tapi mereka justru mendiskusikan makna kehidupan serta siklus yang silih-berganti. 
 
Melalui komiknya, Kosasih seakan hendak mengenalkan tentang pentingnya kearifan serta kebijaksanaan dalam memahami kehidupan dengan segala dinamikanya. Melalui komiknya, ia menjadi filosof yang datang dengan membawa pandangan baru tentang dunia yang harus dihadapi sebagaimana Arjuna saat menghadapi Karna, atau saat Srikandi hendak mengalahkan Bhisma.

Saya sangat menikmati proses membaca ulang komik karya Kosasih. Saya disadarkan terus-menerus bahwa makna keindonesiaan bukanlah sesuatu yang final dan selesai. Keindonesiaan adalah proses yang terus-menerus mengalami pengayaan makna yang dilakukan oleh manusia-manusia yang mencipta karya sebagaimana Kosasih. 
 
Selain seorang pembuat komik, Kosasih mewakili banyak kriteria seperti filosof, storyteller, serta revolusioner. Ia juga menyapukan kanvas dalam imajinasi banyak orang di Indonesia, termasuk saya.

Sungguh, saya tak menyangka bahwa saya akan menemukan Kosasih bukan di tanah air, melainkan di Amerika, sebuah negeri yang belum sempat dilukis Kosasih dalam komik-komiknya.(*)


Athens, Ohio, 31 Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar