Mesin Waktu William Frederick


TAK banyak warga Amerika Serikat (AS) yang memahami seluk-beluk Indonesia dan Asia Tenggara, sebagaimana Prof William Frederick, sejarawan di Ohio University. Meskipun kelasnya terbilang ‘berat’, saya merasa sangat beruntung bisa mengambil dua mata kuliahnya di quarter ini. Kepada pria yang disapa Bill ini, saya berguru sejarah Asia Tenggara, serta kuliah memahami sejarah melalui biografi.

Buat saya yang bukan dari latar sejarah, saya sempat ‘tersiksa’ dengan disiplin ala Amerika yang diterapkannya di kelas. Untuk pertama kalinya saya bertemu professor yang amat demanding alias menuntut banyak dari semua paper dan tugas-tugas yang diberikannya. Tadinya saya tertatih-tatih. Namun akhirnya, saya bisa mengikuti ritmenya, sedikit memahami apa yang diinginkannya. Usai mengikuti kelasnya, saya seakan menemukan ‘mata hati’ dalam menulis dan memahami sejarah.

saat Bill menjelaskan prajurit Myanmar

Pada akhirnya, nilai atau hasil ujian menjadi tidak penting. Saya tak peduli apakah lulus atau tidak di mata kuliahnya. Saya jauh lebih menikmati kuliah tatap muka serta interaksi dengannya. Ia ibarat pesilat yang mencapai taraf tertentu dalam dunia kelahi. Ia tak lagi membawa pedang, sebagaimana mereka yang baru belajar satu atau dua jurus. Namun saat dibutuhkan, ia bisa mengubah ranting menjadi senjata.

Dalam banyak diskusi, ia memperhatikan dengan seksama semua uraian para mahsiswanya tentang sejarah. Namun setiap kali ia berkomentar, saya selalu tercengang dengan detailnya pengetahuan yang dimilikinya. Ia mengetahui dengan detail hal-hal kecil hingga hal-hal besar tentang sejarah Indonesia. Ia jauh lebih paham tentang Indonesia, memahami dengan baik pikiran mereka yang hidup sebelum merdeka, hingga saat kemerdekaan.

Lewat Bill, saya jadi tahu hubungan antara Kartini dengan Abendanon yang dipertemukan Snouck Hurgronje (yang banyak dimaki rakyat Aceh), tentang bagaimana dokumen Belanda yang menyebutkan Wolter Monginsidi sebagai seorang kriminal, kesalahan terbesar Tan Malaka ketika menunjuk seorang preman sebagai pengikut yang kemudian membunuh dirinya, tentang Darul Islam yang ternyata merambah hingga Jawa Timur, hingga cerpen-cerpen Ajip Rosjidi dan Idrus yang membahas pendudukan Jepang di tanah air. 

Tak hanya itu, ia juga bisa menjelaskan bagaimana lagu-lagu Rhoma Irama bisa menjadi petunjuk untuk memahami kebudayaan kontemporer serta denyut nadi suara rakyat serta dinamika sosial di Indonesia. 

Jangan kira ia hanya berputar-putar di Indonesia saja. Ia bisa menjelaskan hal-hal detail tentang monarki Thailand. Ia paham bagaimana Jose Rizal menginspirasi warga Filipina lewat novel, atau Phan Bhoi Chau menentukan arah zaman di Vietnam yang berpijak di landasan Konfusius, atau tentang U Ottama, seorang pria Burma yang belajar di Inggris, lalu memutuskan menjadi biksu dan mengolah ajaran Buddha sebagai energi penggerak sejarah Burma.

Di mata Bill, semua tokoh sejarah punya latar belakang sendiri. Semua pernah hidup pada satu setting sosial serta keluarga yang kemudian membentuk tingkah lakunya. Manusia selalu punya dua sisi yakni baik dan buruk yang senantiasa berdialektika. Lewat dua sisi itulah, zaman senantiasa bergerak hingga memberikan kita inspirasi di masa kini. 

Tan Malaka

Saya paling suka dengan pernyataannya bahwa sejarah adalah ilmu yang selalu berurusan dengan judgement atau penilaian. Sejarawan tak perlu menghindari pemihakan atau memberikan opini. Lewat opini, sejarawan bisa menunjukan kejernihan dalam memahami satu teks sejarah, termasuk kejernihan untuk mengakui keterbatasan dalam memahami sesuatu. Ia juga mengatakan bahwa sejarah itu adalah sesuatu yang hidup dan terus berdenyut. Sebagaimana kata filosof Jerman, Goethe, betapa dungunya manusia-manusia yang tak pernah mau belajar dari masa 3.000 tahun.

Selama lebih tiga bulan, Bill seakan membawa saya berkeliling ke masa silam Asia Tenggara, memahami kaitan antara kejadian satu dan kejadian lain, memahami manusia besar dan manusia kerdil di sekujur peradaban sejarah.

Saya banyak bertemu dan berdiskusi dengan para sejarawan ataupun ilmuwan sosial. Banyak sejarawan yang hanya berputar-putar pada satu topic atau satu area. Bill tidak. Ia memulai riset tentang Surabaya, setelah itu ia mulai memahami Indonsia, kemudian Asia Tenggara, dan kini ia dianggap sebagai salah satu Begawan atau suhu yang mengajarkan sejarah dunia di kampus Ohio.

Saya sukar menjelaskan mengapa ia sedemikian banyak tahu tentang kejadian. Saya kesulitan mengurainya. Hanya ada satu penjelasan. Jangan-jangan, ia memiliki mesin waktu yang kemudian membawanya ke masa lalu, lalu mencatat semua kejadian itu, lalu membawanya di masa kini. Jika asumsi ini salah, mengapa ia tahu banyak hal?




1 komentar:

Socio Geeks mengatakan...

asyik banget bang Yusran bisa ketemu sumber yang sangat penting tentang sejarah Indonesia dan Asia Tenggara umumnya. Salam

Posting Komentar