Kiriman Buku Sang Professor


SEBUAH buku terkirim dari tanah Malaysia. Tersimpan dalam amplop tertutup, saya melihat tulisan University of Malaya di sampul surat. Nama saya tercetak rapi dengan alamat jelas. Segera saya melihat belakang surat. Di situ tertera nama pengirim Bunda Nurhayati Rahman. Tahulah saya. Buku yang saya minta beberapa minggu silam, akhirnya tiba di kampung Athens.

paket yang saya terima

Beberapa minggu silam, saya ingin menulis artikel tentang Colliq PujiE, wanita luar biasa yang terlahir di tanah Bugis. Saya mengumpulkan banyak literatur, mulai dari tulisan Sirtjo Koolhof, Kern, Ian Caldwel, Roger Tol, hingga terjemahan La Galigo yang dibuat Muhammad Salim. Namun, saya jarang menemukan catatan tentang sang pengarang naskah terpanjang di dunia, yang kemudian dikembangkan menjadi naskah teater dan dipentaskan di semua kota besar dunia itu. 

Saat itulah saya teringat sebuah buku yang ditulis Prof Nurhayati Rahman.

Mereka yang menggeluti dunia filologi di tanah air, pastilah mengenal nama Nurhayati. Ia adalah satu dari sedikit guru besar di Univesitas Hasanuddin yang bisa melanglang buana ke banyak negara demi memperkenalkan pesona khasanah pengetahuan Bugis dalam kitab tersebut. Ia terlibat proyek penerjemahan naskah klasik La Galigo hingga terbit dalam dua jilid, dan selanjutnya, secara konsisten, ia merawat pengetahuan tersebut hingga menjadi pohon gagasan yang kian rimbun.

Ia memulai dari naskah klasik. Selanjutnya, analisisnya bergerak terus hingga menjangkau ranah kebudayaan dan sejarah. Naskah itu adalah pintu masuk baginya untuk menyibak dunia yang lebih luas, dunia yang menyimpan lapis-lapis misteri masa silam. Berkat naskah itu, ia melanglang buana ke tanah Belanda, hingga akhirnya menjadi professor tamu di beberapa negara seperti Korea Selatan dan Malaysia. Saya tahu persis bahwa tak banyak guru besar di Unhas yang seperti dirinya.

Ia juga konsisten memperjuangkan Colliq PujiE atau Arung Pancana Toa agar disahkan sebagai pahlawan nasional. Ia menggelar seminar internasional, lalu menyusun buku yang isinya adalah biografi Colliq sebagai seorang manusia yang pernah hidup pada satu pusaran sejarah tertentu. 

Sebagai filolog, ia tidak mau terjebak pada genangan makna dan kata. Ia menaruh perhatian pada para penulis teks, yang keberadaannya sering hanya sebagai catatan kaki atau baris-baris tidak penting dari satu naskah sejarah. Makanya, ia lalu menulis biografi Colliq Pujie sebagai wanita yang kemampuannya jernih dan bisa menuliskan naskah La Galigo hingga jadi naskah terpanjang didunia.

karya Prof Nurhayati
pementasan teater La Galigo di Lincoln Center Festival, New York
sampul depan

Beberapa minggu silam, saya mengontak Prof Nurhayati. Saya bertanya apakah ia masih memiliki buku Colliq Pujie yang pernah ditulisnya. Ajaib. Tanpa saya minta, ia menawarkan diri untuk mengirimkan buku itu. Betapa saya tersentuh dengan kebaikannya.

Buat saya, Prof Nurhayati bukan sekadar guru. Dalam pergaulan sehari-hari, ia memosisikan dirinya sebagai seorng ibu. Makanya, saya dan teman-teman yang pernah bekerja sebagai peneliti di Divisi Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas, memanggilnya Bunda. Ia memang seorang Bunda dalam pengertian memberikan perhatian dan membukakan akses dan peluang kepada semua teman-teman agar menemukan gagasannya.

Dari sekian banyak professor di bumi Sulawesi Selatan (Sulsel), saya hanya berutang budi kepadanya. Di saat saya lulus sekolah dan tengah menganggur, ia mengajak saya bergabung sebagai peneliti di lembaga yang dipimpinnya. Padahal, saya belum pernah mengambil mata kuliahnya. Saya juga sama sekali belum akrab dengannya. Tapi ia memberikan kepercayaan penuh sehingga saya pernah ditunjuk sebagai koordinator proyek revitalisasi naskah tradisi di Sulawesi Selatan yang didanai Toyota Foundation.

Ia juga yang memberikan rekomendasi sehingga saya bisa melolosi beasiswa dan kemudian menimba ilmu di tanah Athens, Ohio. Terhadap semua kebaikannya, saya mencatatnya dengan tinta emas di hati ini. Semoga saja dirinya, yang kini menjadi visiting professor di Malaysia, bisa dianugerahi kesehatan dan kekuatan sehingga terus memperkenalkan pesona kebudayaan Bugis ke mancanegara.

Kepadanya, saya haturkan terimakasih dan takzim yang dalam atas kebaikan serta buku yang kini di tangan saya. Semoga usianya terus dipanjangkan oleh Yang Maha Mengenggam sehingga dirinya terus menginspirasi.(*)


Athens, 2 Juni 2012

BACA JUGA:



2 komentar:

Ika Farihah Hentihu mengatakan...

Saya juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bunda Prof. Nurhayati dimana saya juga salah satu penikmat buku Bunda Nurhayati Cinta, Laut dan Kekuasaan. Saya sangat menikmati. Meskipun Galigo bagi saya, saya adalah pemula..

Andi Rahmat Munawar mengatakan...

keduanya guruku....bunda prof mengajari saya lewat buku bukunya...kanda yusran mengajari saya lewat lisannya...hormatku untuk mereka berdua...

Posting Komentar