Pasar Petani, Pasar Kehidupan


tampak depan

DI Athens, terdapat pasar yang khusus menyediakan semua produk lokal. Namanya farmer’s market sebab semua pedagangnya adalah petani yang berumah di sekitar Athens. Namun, pasar ini juga menjadi arena untuk mengasah kepekaan sosial, serta penguatan kapasitas untuk menemukan isu-isu yang lagi aktual di masyarakat.

Selama ini, saya berpikir bahwa Amerika Serikat (AS) adalah negeri industri. Tapi, beberapa negara bagian justru merupakan basis pertanian yang tangguh. Para petani dan para aktivis itu menjadi bagian dari satu mata rantai yang saling bersinergi. Di Athens, mereka bekerja sama untuk mempromosikan produk lokal. Mereka berkampanye agar produk impor dibatasi, juga agar warga menghindari makanan instan yang cepat saji.

Pemerintahnya juga memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi petani. Setiap Sabtu, pasar petani disediakan sebagai wadah bagi petani untuk memasarkan produknya. Pasarnya bersih. Produk yang dijual semua adalah bahan organik. Banyak sayur-mayur di situ. Tak hanya itu, sesekali para petani dipersilakan untuk menjajakan dagangan di kampus, berinteraksi dengan para mahasiswa serta saling belajar bersama. 

transaksi
Kim Mi, sahabat asal Jerman
salah satu lapak

Setiap kali berkunjung ke pasar petani itu, saya selalu senang. Kadang saya membeli apel atau madu. Tapi biasanya, saya hanya melihat-lihat. Saya menyenangi suasananya. Saya menikmati sapaan ramah para petani itu. Sesekali, saya ikut nimbrung dan mendengarkan topic-topik apa yang lagi hangat. Di pasar itu, saya menemukan keramahan serta kehangatan, yang terpancar dari hati. Keramahan yang benar tulus, bukan sesuatu yang artifisial atau dibuat-buat.

Setiap kali berkunjung ke pasar itu, saya seolah disadarkan terus-menerus bahwa di negeri Paman Sam ini, posisi petani adalah posisi yang sejajar dengan semua profesi. Di sini, di negeri yang sekuler ini, semua manusia memiliki status sosial yang sama, tanpa melihat latar belakang atau penampilan. 

Di sini, tak pernah saya melihat seseorang yang malu berprofesi petani atau malu karena tinggal di perkampungan. Mungkin ini dipengaruhi fakta bahwa seorang petani bisa sejahtera dan punya finansial yang cukup memadai. Tapi, saya menangkap spirit penting yakni semua manusia memiliki posisi dan status yang sama dalam peta sosial, tanpa harus melihat latar belakangnya.

stand aktivis petani 
promosi
jualan kalung dan perhiasan

Di saat bersamaan, saya langsung mengingat kondisi di tanah air. Saya beberapa kali riset lapangan di perkampungan dan bertemu petani. Di Indonesia, petani identic dengan kebodohan, kekotoran, atau akses pendidikan yang rendah. Kita bisa menampik kenyataan ini. Namun, jika sering berkunjung ke desa-desa, kita akan menemukan kenyataan menggiriskan ini. Mereka yang bekerja di sektor pertanian adalah mereka yang seolah tak punya pilihan. Profesi itu dipilih arena tak punya skill yang memadai untuk bersaing di urban area.

Gambaran tentang petani ini tak lebih dari konstruksi pengetahuan kita. Ada semacam kuasa yang bekerja di kesadaran kita dan mempengaruhi persepsi kita tentang petani. Kita pun ikut melabelnya sebagai kampungan, kotor, atau tidak sekolah. Lantas, jika petani itu kotor, apakah itu salah? Justru keliru ketika menganggap petani harus wangi dan bergaya sebagaimana om-om di Pasar Senen. Parahnya adalah kita sering menghakimi yang lain dengan menggunakan standar kita sendiri. Nah, pertanyaannya, apakah kita yakin bahwa diri kita lebih dari yang hendak dihakimi itu?

Di farmer’s market ini, saya hanya bisa mengeja aksara kehidupan. Kita juga terlanjur memberi cap bahwa petani adalah mereka yang belepotan lumpur di sawah. Puluhan tahun republik ini merdeka, pemerintah masih saja gagal mendidik masyarakat untuk melihat petani sebagai profesi yang bisa berkiprah di banyak lini kehidupan. 

Mestinya petani bisa menjadi pedagang dan pengusaha sehingga kesejahteraan juga mereka bisa lebih baik. Mestinya pemerintah bisa membuka pasar khusus bagi petani, menyediakan tempat yang bersih dan higienis buat mereka, lalu memosisikan mereka sebagai manusia yang seutuhnya. Mestinya petani bisa jadi satu profesi yang diucapkan dengan penuh kebanggaan dan keyakinan bahwa negeri ini akan kekuangan pangan dan kemudian terancam colaps tanpa mereka. Bukankah petani adalah profesi terbesar di Indonesia? Benarkah? Lantas, kenapa pemerintah kita tidak peduli?




7 komentar:

Ayu Welirang mengatakan...

Kondisi petani dan usaha agroindustri di luar negeri sangat jauh berbeda dengan kondisi di negara kita ya Pak. Saya salut dengan kepekaan para petani luar yang bisa memadukan aspek kehidupan dengan mata pencaharian mereka sebagai petani, yang biasanya dinilai sangat rendah kalau di negara kita sendiri.

Yusran Darmawan mengatakan...

itulah. mestinya negara mendidik warganya utk tidak melihat pekerjaan petani dgn seblah mata.

Dwi Ananta mengatakan...

Tapi kak mengapa semua menjadi tugas pemerintah? .___. untuk itu bukankah lebih baik pada kesadaran masing-masing?
impian saya tuh kak :) tinggal di pedesaan sembari berkebun dan beternak :)

togelmarket2 mengatakan...

makasih gan infonya dan semoga bermanfaat

indowlatoto mengatakan...

Makasih atas limpahan ilmunya

indowlatoto mengatakan...

Makasih atas limpahan ilmunya

dingdongtogel mengatakan...

dan salam kenal sob

Posting Komentar