Membaca Zaman Bergerak

ilustrasi

KEMARIN, saya meminjam buku An Age of Motion karya sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi. Buku yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Zaman Bergerak ini membahas tentang radikalisasi di Jawa tahun 1912 hingga 1926. Baru baca beberapa lembar, saya langsung terpikat dengan gaya penulisan di buku yang merupakan disertasi di Cornell University ini. Saya serasa terlempar ke masa tahun 1920-an, merasakan langsung degup pemikiran tokoh-tokoh yang hidup di masa itu, serta bisa memahami mereka lewat kalimat-kalimat yang mereka tulisan di media massa. 

Saya tidak ingin meembaca buku ini dengan bersegera mungkin. Saya ingin membaca dengan gaya close reading yakni mengikuti aliran-aliran kata demi kata, hingga menyerap maknanya yang dalam. Saya serasa tidak sedang membaca buku sejarah. Saya seolah membaca novel sejarah yang ditulis dengan gaya khas Pramoedya Ananta Toer. Apakah Shiraishi belajar menulis pada Pramoedya? 

Tampaknya iya. Menurut informasi dari sejarawan Sonnny Karsono, Shiraishi belajar gaya menulis pada Pramoedya. Makanya, kata-katanya demikian bertenaga, serta amat hati-hati dalam menuliskan fakta dan kejadian pada satu masa. Tapi ada pula yang mengatakan buku ini ditulis dengan gaya sejarawan Jepang, yang amat hati-hati melihat setiap pecahan fakta, tidak ingin terlalu banyak menulis opini atas fakta itu, kemudian merangkai setiap pecahan fakta dengan penuh dedikasi. 

surat Takashi Shiraishi

Kata seorang teman, ini sangat beda dengan gaya sejarawan Amerika yang belum apa-apa sudah membahas lintasan ideologi dalam penulisan sejarah. Alasan lain mengapa saya suka buku ini adalah karena menyajikan suasana debat pemikiran yang sangat jenius pada zamannya. 

Saya seringkali terkagum-kagum, betapa tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr Tjipto Mangunkusumo, Mas Marco Kartodikromo, ataupun Haji Misbach bisa sedemikian cerdas membaca situasi zaman dan menuliskan buah pemikiran mereka dalam media massa yang terbit saat itu. Padahal, tokoh seperti mas Marco justru sama sekali tidak bersekolah, namun entah mengapa, mereka demikian cerdas dalam menulis. 

Hal lain yang bikin saya suka adalah gambaran tentang tokoh zaman itu adalah tokoh yang amat idealis dalm memikirkan bangsanya. Meeka tak berharap banyak, selain dari kemerdekaan yang dilihat sebagai tujuan bersama. Makanya, buku ini selayaknya dijadikan referensi bagi siapa saja yang ingin belajar untuk memiliki empati terhadap sesamanya. 

Maksudnya, bagaimana kita menyerap pengetahuan berempati terhadap sesama lewat dinamika pemikiran dan praksis para perintis negara-bangsa menentang kolonialisme, menentang suatu filosofi yang menolak penerapan nilai kemanusiaan dalam arti sesungguhnya. Satu juga pelajaran berharga yang saya dapatkan dari buku ini. Dahulu, perbedaan ideologi dan filosofi pergerakan sudah sedemikian kental. 

suasana Solo tempo doeloe
ilustrasi tentang gadis Jawa di masa kini
Hebatnya, semua tokoh yang hidup di masa itu bisa sedemikian solid dan bersatu demi menggapai kemerdekaan. Silakan bandingkan dengan aktivis masa kini, yang berjuang dengan filosofi berbeda, namun saling sikut kiri-kanan. Bandingkan dengan tokoh kita hari ini yang hanya sibuk mengutip ilmuwan asing, tanpa paham bahwa di zaman silam, tokoh bangsa ini telah merumuskan pemikirannya dengan baik dan berdebat dalam diskursus yang sehat dan sedemikian cerdas. Mestinya kita malu karena tidak punya kearifan dan kecerdasan sebagaimana tokoh-tokoh yang hidup di Solo pada tahun 1920-an. 

Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan buah kalimat dari Hadji Misbach, seorang Muslim komunis yang amat tersohor sebagai sosok yang berusaha mencari titik temu antara Islam dan komunisme. Saya kutipkan buah pemikirannya: 

Nah! Sekarang njatalah bahwa perintah Toehan kita orang diwadjibkan menoelong kepada barang siapa jang dapat tindesan, hingga mana kita berwadjib perang djoega djika tindesan itoe beloem dibrentikannja"




2 komentar:

Dewi mengatakan...

kalo ndak salah, ilustrasi yang ditampilkan bukan gadis Jawa bang, tapi gadis Bali.. (kalo dilihat dari pakaiannya sih..)

Yusran Darmawan mengatakan...

iya yah. sy baru sadar kalo lebih mirip gadis Bali. makasih Dewi..

Posting Komentar