Kisah Para Pengemis di Amerika

seorang pengemis di sudut kota Washington DC

SAAT tiba di Stasiun bis Greyhound di Columbus, Ohio, saya terkejut ketika seorang pria dengan jaket lusuh serta celana kotor datang menyapa. Tanpa saya minta, pria berkulit gelap itu lalu bercerita kalau dirinya adalah penumpang bis yang baru saja tiba di kota itu. Ia hendak mengunjungi keluarganya, namun tidak memiliki uang di dompet. Tanpa sedikitpun merasa malu, ia lalu meminta recehan dengan kalimat simpatik. Saya punya beberapa koin, langsung saya berikan padanya. 

Selanjutnya saya duduk di dalam stasiun untuk menunggu bus. Di stasiun yang bersih dan sangat rapi itu, saya melihat beberapa pria yang juga mengenakan pakaian lusuh sambil membawa mangkuk kertas dan menemui semua penumpang, termasuk saya. Pria-pria itu lalu bercerita tentang hidupnya yang kesulitan, sehingga terpaksa menjadi pengemis dan meminta-minta kepada setiap orang di jalan raya. Biasanya, saya menyiapkan beberapa recehan untuk dibagi. 

Jika pengalaman ini dialami di kota Jakarta, ini adalah hal biasa. Hampir setiap saat di Jakarta, saya menyaksikan pengemis dengan beragam cara untuk meminta uang. Mulai dari alasan sedekah, menyeret-nyeret tubuh karena cacat, hingga dalih mendoakan calon pemberi uang recehan. Tapi ini lain. Saya mengalami interaksi dengan para pengemis saat berada di Amerika, negeri yang katanya kaya-raya karena menghisap kekayaan negeri berkembang. 

demonstrasi yang dilakukan para homeless

Pengalaman bertemu pengemis adalah pengalaman yang cukup unik buat saya. Saya harus merevisi beberapa konsep di pikiran tentang negara ini. Selama ini, saya memelihara anggapan bahwa kemiskinan yang kemudian menyebabkan warga menjadi pengemis adalah fenomena yang hanya melanda Indonesia dan negara berkembang lainnya. 

Selama ini saya beranggapan bahwa negara-negara maju seperti Amerika adalah seperti apa yang saya saksikan di film-film Hollywood. Saya membayangkan penduduk Amerika telah mencapai tingkat kemakmuran di atas rata-rata sehingga hidup berkecukupan. Tapi, setelah menyaksikan langsung bagaimana pengemis di beberapa kota di Amerika, saya akhirnya berkesimpulan bahwa apa yang disebut oleh ekonom WW Rostow sebagai high mass consumption --yakni masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi tinggi karena berkecukupan—adalah ide yang nampaknya suit untuk dibuktikan. 

Kemiskinan menjadi fenomena global yang kini perlahan menggerogoti negeri seperti Amerika Serikat (AS). Di kota seperti Colombus, para pengemis sering berkeliaran di beberapa ruang publik. Masyarakat menyebut mereka sebagai homeless alias mereka yang tidak memiliki rumah. Mereka menggelandang di jalan-jalan sembari berharap uluran tangan mereka yang melintas. Mereka sering duduk dan mengacungkan gelas plastik bekas air soda dan mengemis, ”Give me a change ... give me a change.” Atau lebih sopan, “Spare your quarter please ..” Atau, ”Spill little help...Spill little help...” Atau dengan sedikit maksa, ”Hey man, can you help me two dollars?” 

menanti sedekah

Tadinya saya beranggapan bahwa para pengemis ini cuma warga berkulit hitam. Namun, di satu ruas jalan, saya melihat seorang pria berkulit putih, berwajah bule, yang juga mengemis. Ia bergaya sok akrab dengan siapapun. Ia menebak asal lawan bicaranya, lalu mengajak ngobrol, seolah-olah kita adalah kawan lama. Saat saya menyebut berasal dari Indonesia, ia langsung menyapa, “Selamat pagi. Apa kabar?” Ketika saya tersenyum, ia lalu meminta uang sekitar dua dollar sebagai tanda keakraban. 

Sebagaimana halnya di Indonesia, keberadaan para kaum homeless di kota seeprti Washington DC adalah senantiasa menjadi incaran aparat kepolisian. Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang pengemis mengajak saya berbincang di satu kafe. Ia tidak meminta uang, hanya berbasa-basi, namun sekian detik berikutnya datang polisi dan satpam kafe itu yang memaksa pengemis itu pergi. Sebagaimana halnya warga Amerika yang suka berterus terang, pengemis itu langsung bersungut-sungut lalu menjawab, “I don’t like you. I hate you.” 

Ada pula pengemis yang cukup kreatif. Ia berusaha menghibur orang-orang, misalnya melontarkan kalimat yang menyenangkan. Saya pernah melihat pengemis yang suka menyapa gadis-gadis di malam Minggu. Ketika gadis–gadis cantik melintas, ia akan berteriak, ”Hey Young ladies don't break so many hearts tonight!!” Ada juga yang berdiri di depan toko CVS, seolah-olah sebagai doorman. Ia akan membukakan pintu kepada siapapun yang datang lalu meminta recehan. Tapi ketika polisi datang, ia akan lari terbirit-birit. 

di emperan toko
duduk bersama seluruh "harta"

Saat ini, pemerintah AS sedang berjuang untuk mengatasi masalah homeless yang jumlahnya kian membengkak. Pada tahun 1980-an, jumlah mereka hanya sekitar 200.000 hingga 500.000 orang. Tapi di tahun 2009, jumlah mereka mencapai 1,56 juta orang. Mereka tidak memiliki rumah dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Jumlah ini seakan menunjukkan bahwa terdapat satu dari setiap 200 warga Amerika yang tidak memiliki perumahan layak. 

Krisis kapitalisme di Amerika memang sudah sedemikian parah. Kaum menengah merosot dan sekitar 30 juta orang AS yang tak beruntung, nasibnya kian buruk, menjadi gelandangan, pengemis atau sejenisnya. Presiden Barack Obama dan seluruh elite AS tak bisa menyembunyikan rasa malu mereka jika ditanya ‘mengapa makin banyak orang miskin di negeri anda?’. Dengan jumlah yang demikian banyak, tidak heran jika isu pengemis dan kemiskinan selalu menjadi isu politik. 

Belum lama ini, Presiden Barrack Obama meluncurkan paket ekonomi yang kemudian diharapkan bisa menjadi peluang bagi kaum miskin untuk melepaskan diri dari kemiskinannya. Namun, kebijakan ini justru menjadi cibiran bagi politisi Partai Republik. Dalam berbagai diskusi dengan beberapa orang di sini, ada banyak sebab mengapa seseorang menjadi pengemis dan gelandangan. Kebanyakan karena tidak mendapatkan pekerjaan sehingga menyebabkan kemiskinan. 

demonstrasi para homeless di Athens, Ohio

Ada juga yang mengatakan kalau negara memberikan banyak asuransi serta kupon bagi mereka untuk mendapatkan makanan, susu, rumah layak. Juga ada jaminan bagi warga miskin yang hendak bersekolah. Berbagai jaminan ini seakan tidak bisa mengurangi jumlah mereka yang miskin dan memenuhi slump area atau kawasan kumuh di negara itu. 

Pada akhirnya, negara superpower itu ternyata tidak seindah yang dilihat di film-film. Fenomena kemiskinan yang kian meninggi itu menjadi alarm bagi pemerintahnya untuk kembali berfokus pada isu-isu dalam negeri ketimbang mengurusi dunia internasional. Yang pasti, para pemimpin negeri itu sering menjadi sasaran olok-olok dari kritikus, televisi, atau oleh para pengemis di jalanan, yang sedang berjuang untuk hidup. Masihkah negeri ini menjadi superpower? 



5 komentar:

Ayu Welirang mengatakan...

Bedanya, mungkin--ini mungkin loh ya--pengemis di Amerika sana masih bisa memegang teguh tata cara untuk meminta bantuan, dalam hal ini adalah uang atau sedikit sedekah. Mereka tidak menggunakan cara-cara yang membuat iba para calon pemberi sedekah, tapi dengan memberikan suatu gambaran bahwa mereka itu bukannya malas bekerja atau malas cari uang dengan cara lain. Mereka hanya sedang tak beruntung sehingga harus seperti itu. Yah, begitulah. Entahlah bagaimana realita di sana, saya tidak tahu. Saya belum pernah ke sana. Tapi ingin sekali melihat kota-kota di Amerika. Semoga bisa... :)

Unknown mengatakan...

realitanya mungkin terletak di bagaimana karakter masyarakat indonesia ;)

Yusran Darmawan mengatakan...

@Ayu: iya. mereka gak memakai cara utk membuat orang lain iba. tapi mereka punya banyak cara2 kreatif lain utk membuat orang lain mengeluarkan koin. malah, ada pula yang menipu. sy mengalaminya bbrp kali

Yusran Darmawan mengatakan...

@Herda: iya. semuanya terletak pada karakter kita. makasih atas komennya.

lakarontang mengatakan...

Klo di jepng bgmna? udg ada postingannya blm?

Posting Komentar