40 Tahun Dicekam Kesunyian


MINGGU lalu, saya dan teman-teman mahasiswa internasional di Athens, menyaksikan sebuah film dokumenter yang mengangkat tragedi 1965. Film yang berjudul “40 Years of Silence” karya Robert Lemelson ini memukau semua hadirin sehingga beberapa di antaranya terharu saat mengetahui penderitaan korban tragedi 1965 yang mendapat stigma sebagai kaum komunis.

Saya dan teman-teman adalah generasi yang tumbuh pada masa Ode Baru, yang sukses melakukan ‘cuci otak’ pada segala hal menyangkut komunis. Kami tahu tahu apa realitas yang sedang terjadi. Maka film ini membuka mata dan pikiran kami, bahwa peristiwa di tahun 1965 tersebut telah menimbulkan luka-luka sejarah yang cukup besar, menimbulkan duka berupa tewasnya jutaan orang, serta para keluarga yang kemudian menderita trauma berkepanjangan.

Kami tak banyak tahu kalau selama 40 tahun, para korban tersebut memendam luka atas apa yang terjadi di masa silam. Mereka memendam pedih atas segala yang terjadi di masa silam, membawa itu sebagai bom waktu siap meledak dalam dirinya, kemudian menerima situasi ketika keberadaannya di masyarakat mengalami penghinaan.

Tiba-tiba, saya jadi memikirkan ulang apa yang disebut sejarah. Tenyata sejarah tidak selalu berkaitan dengan sesuatu yang objektif dan ‘benar-benar terjadi.’ Sejarah juga berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa direkayasa demi kepentingan pihak pemerintah. Lewat sejarah, pemerintah mereproduksi apa yang disebut kebenaran, menistakan satu kelompok tertentu, dan menempatkannya sebagai pihak yang bersalah dan menanggung luka-luka sosial.

pemutaran film
suasana pemutaran film
suasana diskusi

Film ini disutradarai Robert Lemelson, seorang professor bidang antropologi di University of California at Los Angeles (UCLA), film ini juga diedit oleh Pietro Scalia, pemenang dua penghargaan editing terbaik Academy Award. Ia tahu betul bagaimana memasukkan adegan-adegan yang bernas dan merampas perhatian. Menurut informasi, dari 400 jam lebih materi yang terekam, berhasil diperas dalam video berdurasi yang ”hanya” 86 menit.

Usai pemutaran film, kami menggelar diskusi yang menghadirkan sejarawan Sonny Karsono, sutradara asal Kolombia Camilo Perez, dan mahasiswa asal India, Pronoy Rai. Diskusi dipandu pengamat politik Iqra Anugrah. Masing-masing bisa memaparkan sisi-sisi lain dari film ini yang sempat terabaikan.

Saya menikmati pemutaran film dan diskusi. Meskipun, saya merasa sedih saat memikirkan nasib para korban yang masih harus menanggung beban atas apa yang pernah terjadi di masa silam. Seusai diskusi, saya memelihara pertanyaan dalam diri, bisakah kita mengadili seseorang atas perkara masa silam, sementara di saat bersamaan kita mengabaikan masa depan orang tersebut? Di akhir film, diperlihatkan lapangan yang menampilkan kuburan massal di Bali. Ada adegan ketika sejumlah burung putih memenuhi pepohonan di dekat kuburan tersebut. Warga Bali percaya kalau burung-burung itu adalah reinkarnasi dari para arwah yang datang ke situ demi melihat kuburannya sendiri. Sungguh satu ending yang amat kuat!



Athens, 28 April 2012


1 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

“Sejarah adalah milik pemenang.” ahh saya lupa siapa yang mengatakannya.

Posting Komentar