Malaikat-Malaikat Kota Boston

BEBERAPA tahun silam, antropolog kawakan Universitas Hasanuddin (Unhas) pernah mengatakan bahwa seorang sahabat ibarat malaikat yang kelak akan membantu dirimu. Sekarang, kalimat itu membekas benar dalam diri saya. Saya baru saja menjalani tur atau perjalanan mengunjungi beberapa kota. Di satu kota, saya menemukan betapa banyak sahabat yang membantu, berbagi suka dan duka, serta tak pernah lelah mengulurkan tangan. Merekalah manusia terbaik yang pernah saya temui. 

bersama rekan perjalanan Iqra Anugrah dan Elizarni
saat berpose di Natural History, New York

Berkunjung ke Waltham, Boston, saya serasa berkunjung ke kota kecil Athens. Di sini, saya bertemu banyak sahabat dekat yang selalu membuat saya merindukan kampung halaman. Saya menikmati saat-saat bersama teman seperjuangan saat belajar bahasa di Jakarta, juga beberapa sahabat yang membantu saya dan teman-teman untuk mengeksplorasi Waltham. Setiap kali mengenang para sahabat ini, saya kembali terngiang ucapan Mattulada bahwa para sahabat adalah barisan malaikat yang kelak akan menerbangkan dirimu ke langit-langit impian. Itu yang saya temukan pada kawan-kawan di Boston. 

Mungkin, ada sejumlah asumsi filosofis di balik makna kalimat tersebut. Saya melihatnya sebagai bagian dari hukum alam. Ketika kamu berbuat kebaikan, maka selalu akan ada kebaikan yang mengalir dan akan menghampiri dirimu. Saya teringat kata seorang teman yang merupakan pedagang di Tanah Bugis. Ia tak henti-hentinya mengeluarkan duit demi membantu sesama. Saat saya tanya mengapa ia melakukan itu, ia lalu menjawab singkat, “Kelak ketika saya kesusahan, maka akan selalu ada jalan dari siapapun untuk membantu saya.” 

Mungkin jalan yang dimaksud itu adalah pertolongan sahabat. Tapi, dengan tulusnya ia berkata, tidak selalu sahabat yang membantu. Bisa jadi, pertolongan itu datang dari seseorang yang justru sama sekali tidak kita kenal. Sahabat itu mengemukakan kalimat inspiratif. Bahwa ketika dirimu berbuat kebaikan, maka semesta akan mencatat kebaikan tersebut dan membalasnya dengan cara yang amat ajaib, yang seringkali tidak diduga. 

bersama Siti Nurlaili Djenaan di kampus Brandeis University, Boston

Demikian pula sebaliknya, ketika kamu membenci atau sedang menghina seseorang, maka semesta juga akan memberikan balasan dengan cara yang amat tak diduga. Inilah hukum alam yang tak tercatat, namun terus berdenyut di jantung kehidupan kita semua. Pada dasarnya, ujaran-ujaran kebaikan itu adalah bagian dari nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Sewaktu kecil, saya sering diajarkan bahwa memiliki sahabat seribu orang, amatlah sedikit. 

Sementara memiliki musuh satu orang, amatlah banyak. Namun, saya sadar benar, betapa sulitnya memiliki sahabat seribu ornag tersebut. Betapa sulitnya membangun persahabatan dan keakraban lalu menjelmakannya sebagai sesuatu yang abadi. Betapa sulitnya membangun benang merah saling pengertian, lalu menjaganya sebagaimana menjaga porselen hingga terus abadi. 

sahabat di Waltham sedang latihan nari sama.
Dari kiri: Irfan Amalee, Zainal Abidin, Siti Nurlaili Djenaan, dan Harli Abdul Muin

Hari ini, saya merenungi betapa baiknya kawan-kawan di Boston. Mulai dari Endri yang meyediakan tempat bermalam, Zainal yang rajin mengantar ke manapun, Lily, Harli, Agus dan Irfan yang ikut menemani saat hendak menghabiskan waktu di tepi kampus Brandeis University. Juga terimakasih tak terhingga buat rekan seperjalanan Elizarni yang membantu saya untuk menelusuri padang ilalang kota Boston, menemani saya menelusuri pelosok kota, berbagi ceria dan nikmat di perjalanan, berbagi bahagia, serta berbagi ruang-ruang dalam hati masing-masing untuk saling belajar, menerima kekurangan, serta hasrat untuk bertualang sampai batas terjauh di persada kehidupan ini. Terimakasih para sahabat! 


Athens, 25 Maret 2012

0 komentar:

Posting Komentar