Kuliah Inspiratif Sejarawan William Frederick

tiga tokoh pembuat sejarah Indonesia: Sjahrir, Sukarno (tengah), dan Hatta

SEJARAH itu laksana pohon besar yang tumbuh di atas cabang dan dahan fakta-fakta. Sejarah adalah kuncup bunga yang mekar setelah mendapatkan nutrisi dari kejadian dan peristiwa, dibesarkan dengan matahari filsafat pengetahuan, dan tumbuh berkat sintesis gagasan-gagasan. Lewat sejarah, manusia menemukan dirinya, menyerap saripati pengetahuan, serta menangkap makna yang bertebaran di sekujur tubuh peradaban manusia dari masa ke masa. 

Saya menggoreskan paragraf di atas usai menghadiri kuliah perdana sejarawan William Frederick di Bentley Hall Amex, kampus Ohio University. Saya merasa amat sangat beruntung bisa menghadiri kelas yang diasuh pria sepuh yang kerap disapa Bill. Saya tahu bahwa Bill amat kondang di jagad penulisan sejarah tanah air. Saya bangga bisa berada di kelas yang diasuhnya, mendengarnya merangkai fakta-fakta sejarah, sekaligus mengajak tamasya ke lorong-lorong sejarah demi mengorek jantung pengetahuan masa silam untuk menumbuhkan masa kini dan masa depan. Untuk soal ini, Bill adalah salah satu begawan yang meletakkan landasan sejarah nasional Indonesia. 

buku karya Bill Frederick sebagaimana dikoleksi almarhum ayah saya

Saya juga diliputi kebahagiaan saat menemui sosok yang bukunya telah lama memenuhi rak buku almarhum ayah saya di kampung kami, Pulau Buton yang terpencil itu. Ketika masih belajar di sekolah dasar (SD), ayah saya rajin memesan buku lewat pos. Ayah saya, seorang guru sejarah di sekolah menengah di kampung kami, adalah seorang yang melahap berbagai jenis buku sejarah dan fiksi. Ia membaca banyak karya sastra, puisi, dan filsafat, dengan intensitas yang tak bisa saya tandingi di masa kini. Meskipun cuma seorang guru biasa, ia mengoleksi banyak buku penting dalam sejarah nasional, salah satunya adalah buku Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi karya William Frederick. 

Saya masih ingat sampul buku ini yakni berwarna merah. Bahkan, hingga kini buku itu masih ada di rumah saya di kampung. Saya masih ingat betul bahwa ayah rajin mengutip komentar Frederick pada bagian awal buku yakni sejarah berasal dari bahasa Arab yakni dari kata syajaratun yang artinya pohon. Kata ayah, mungkin dikutip dari buku karya Bill Frederick, kata pohon bermakna bahwa sejarah tersusun dari cabang dan dahan pengetahuan serta kejadian yang terserak-serak di masa silam. 

Bill Frederick
Apa yang disebut dengan masa kini tidak lebih dari himpunan pengetahuan serta pengalaman, ataupun kejadian yang pernah terjadi di masa silam. “Tak hanya peristiwa dan fakta yang mengokohkan pohon sejarah. Tapi juga tafsir dan juga dinamika ingatan manusia atas peristiwa itu,” kata almarhum ayah pada suatu ketika. 

Hari ini, Senin 26 maret 2012, saya duduk di kelas yang diasuh Bill. Ingatan tentang almarhum ayah kembali memenuhi ruang-ruang berpikir saya. Sosok Bill adalah sosok yang jangkung. Ia kelihatan sudah sepuh. Rambutnya memutih. Konon, kata seroang sahabat, ia sudah pensiun dari Ohio Univ (OU), namun sesekali masih mengajar. Pada spring quarter ini, ia mengajar untuk dua subyek kajian yakni Sejarah Asia Tenggara, dan Memahami Sejarah Melalui Biografi. Saya sudah mendaftar untuk dua mata kuliah tersebut. 

Hari ini, saya duduk di kelas Sejarah Asia Tenggara. Ia memulai perkuliahan dengan menjelaskan aturan main di kelas. Saya tersentak ketika ia tiba-tiba saja mengatakan bahwa dirinya tidak menuntut seorang mahasiswa untuk menghafal setiap peristiwa. “Sejarah selalu terkait dengan opini dan subyektifitas. Kemudian ada judge yang kita berikan atas dinamika fakta dan opini tersebut. Saya menginginkan agar kalian membangun satu mata rantai sintesis antara bacaan dan sekaligus opini,” katanya. 

Lebih tersentak lagi saat ia menjelaskan beberapa buku yang wajib dibaca. Tak semuanya buku sejarah yang seringkali ketat dnegan data dan angka. Ia menawarkan buku puisi epik Vietnam berjudul The Tale of Kieu yang ditulis Nguyen Du tahun 1766. Selanjutnya, ia merekomendasikan beberapa novel yakni Burmuse Days karya George Orwell yang ditulis tahun 1934, lalu buku Not Out of Hate karya Ma Ma Lay (yang diedit oleh Bill sendiri tahun 1991). Dan terakhir, sekaligus yang paling saya senangi adalah This Earth of Mankind atau terjemahan dari Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang disebut Bill sebagai pengarang Indonesia paling hebat sepanjang sejarah. 

Saya membayangkan betapa nikmatnya kuliah sejarah yang dikisahkan dengan cita rasa novel dan puisi. Pada akhirnya, sejarah bukanlah sesuatu yang ketat memperdebatkan sumber dan pendekatan atau kesahihan informasi, tapi sejarah menjelma sebagai genangan perasaan serta cara-cara manusia memandang kejadian pada suatu masa, cara-cara manusia meresapi makna kejadian, memberikan sentuhan rasa dan emosi, sekaligus menjadi rekaman perjalanan tentang ikhtiar manusia untuk mengukir sesuatu di tebing terjal bernama sejarah.(*) 



0 komentar:

Posting Komentar