Cukur ala "Madura" di Amerika

SERING saya berpikir bahwa untuk menyerap denyut nadi satu masyarakat, anda tak perlu jauh-jauh ke pusat pemerintahan atau kekuasaan. Cukup mendengar obrolan di satu tempat biasa, yang jauh dari kuasa, namun mencatat dinamika zaman dengan lebih jernih. Itu yang saya rasakan saat singgah memotong rambut di Winchester, desa kecil dekat Colombus, Ohio, Amerika Serikat. Suasananya sama persis dengan tempat potong rambut di Indonesia. Hmm… Benarkah? 

suasana cukur di Winchester, AS.
perhatikan posisi yang dicukur justru membelakangi cermin

Sebelum jauh bahas dinamika sosial dan hal-hal yang bikin ribet itu, mending kita bahas dulu perbandingan suasana tempat cukur di Amerika dan di Indonesia. Setiap dua bulan, rambut saya selalu saja memanjang. Dikarenakan saya malas merawat rambut yang gondrong, maka saya selalu mendatangi tempat potong rambut. Di blog ini, saya sudah menulis tentang suasana potong rambut hingga beberapa kali. Jadi, mudah melakukan perbandingan. 

Di Baubau (Buton), saya suka nongkrong di dekat terminal lama. Cuma ada kursi dan cermin kecil. Sementara di kota Makassar, saya suka nongkrong di dekat kampus Unhas. Di situ, kursinya adalah kursi biasa yang terbuat dari kayu. Saat saya pangkas rambut di Kramat Sentiong, Jakarta, kursinya agak canggih sebab bisa diatur kemiringannya. Tapi, alat-alat cukurnya, sama saja, baik di Makassar atau Jakarta. 

Saya agak hapal prosedurnya. Saat tiba, langsung disambut senyuman. Trus sang tukang cukur akan menyampirkan kain yang menyelubungi badan kita. Saya sering menggerutu karena kainnya tidak pernah dicuci dan berbau aneh. Setelah itu, tukang cukur mengambil gunting elektrik. Kadang membasahinya dulu dengan sejenis oli campur minyak tanah, lalu mulai menghidupkannya. Setelah itu, ia mulai memangkas dengan gunting biasa. Sebagai proses akhir, ia mengambil kuas, lalu mengolesinya dengan sabun (yang lagi-lagi gak pernah diganti sejak zaman Adam hingga baunya aneh), trus mengolesinya di tengkuk hingga pipi. 

Setelah itu ia mulai memotong bulu-bulu halus dnegan pisau kecil. Seusai itu, ia lalu mengambil sikat rambut (mengingatkan saya pada sikat untuk menyemir sepatu). Ia akan menyikat kepala kita dengan tanpa memikirkan aspek manusiawi, lalu memberi bedak, kemudian melepas kain tersebut. Prosesnya selesai. 

suasana tukang cukur madura di Jakarta

Bagaimanakah halnya di Amerika? Prosesnya tidak jauh beda. Tapi, bahan kain untuk menyelimuti adalah kain yang bersih. Sang tukang cukur sangat hati-hati ketika menyampirkan di tubuh kita. Ia juga menjalankan prosedur seperti di Indonesia, yakni bertanya dulu hendak dicukur model apa. Karena saya tidak tahu jenis-jenis cukur dalam bahasa Inggris, saya hanya menjawab singkat, “Make me more handsome!”. Dia tersenyum. Proses dimulai. 

Satu hal yang unik dan membedakan antara cukur di Amerika dan di Indonesia adalah posisi. Di Indonesia, baik di salon maupun tukang cukur Madura, posisi kursi yang akan dicukur, selalu menghadap ke cermin besar. Di beberapa tempat, cerminnya ada di depan dan di belakang. Jadi, kita bisa mengamati pergerakan si tukang cukur. Apakah ia mencukur tidak sesuai keinginan kita, ataukah jangan-jangan ia sedang berniat jahat dengan mengiris leher dengan pisau. 

Di Amerika, khususnya desa kecil Winchester tempat saya singgah, posisi justru membelakangi cermin. Saya duduk di kursi yang berhadapan dengan semua yang akan antri untuk dicukur. Anda bisa bayangkan betapa malunya saya menjadi tontotan semua pengantri yang duduk melingkar. Semua memperhatikan saya dan sesekali bertanya macam-macam. Saya serasa menjadi terdakwa. Selama dicukur, saya tak pernah menyaksikan wajah di cermin. 

tukang cukur di Baubau, Buton

Secara keseluruhan, prosesnya sama di Indonesia. Yang membedakan hanyalah alat-alat yang digunakan yang lebih higienis dan mutakhir. Tapi lebih dan kurangnya sama persis. Nah, satu hal yang juga sama adalah rata-rata di semua tempat cukur selalu ada dialog antara pendukur dan yang dicukur. Tempat ini jadi tempat yang sangat egalitarian, di mana semua orang membahas berbagai topik, mulai dari hal yang remeh-temeh, sampai hal yang besar-besar. Saat dicukur, saya bisa menangkap tema-tema yang dibahas. Mulai dari soal walikota, mobil sampah yang jarang datang, hingga soal pertandingan superbowl. 

Kesimpulan saya; masyarakat Indonesia dan Amerika sama-sama suka membahas banyak hal di tempat cukur seperti ini. Mereka suka bercerita segala hal menyangkut pengalamannya, dan berharap orang lain mendengarkannya. Makanya, saya betah mendengarkan dialog di situ. Menurut saya sih, ini sama saja dengan tempat cukur ala Madura yang banyak bertebaran di Indonesia. Saya juga berpikir, jika suatu saat saya mesti melakukan riset di satu tempat di sini, saya akan mendatangi tempat cukur. Karena di situ terdapat semua informasi dan jadi ajang pertemuan banyak orang. 

By the way, saat bahas tukang cukur Madura, saya jadi ingat satu hal yang ada di Indonesia dan tak ada di Amerika. Satu hal itu adalah pijatan. Saya merindukan pijatan khas di tengkuk dan kepala usai dipijat. Di Amerika, tak ada pijatan. Yang ada adalah tagihan sebesar 10 dollar untuk sekali cukur. Satu lagi, pencukur di Amerika berwajah sangar kayak preman. Sementara langganan saya di Jakarta, pencukurnya adalah seorang waria cantik yang suka dandan seksi. Saat saya datang, ia akan berbisik dengan suara melambai, “Mas Ganteng… Mau dibikin tambah ganteng yaa. Kan udah ganteng tuh….”  


Athens, Ohio, 6 Maret 2012


BACA JUGA







3 komentar:

yuyu ichsani mengatakan...

wktu s k US dlu, s g sempat nyalon.. tp katanya di barbershop itu ad bbrp service y bwt s penasaran dg istilah "art of shaving".. iya yah kak?

Mustika mengatakan...

wah..keren juga nih..di tunggu postingan yang lain nya mas..salam dari ayu mustika

Unknown mengatakan...

Kebetulan sekali saya lagi mencari info tentang Mencukur

Posting Komentar