Saat Produk Indonesia Berjaya di Amerika

kopi Sumatra sebagaimana dijual di Starbuck

NAMANYA Chris. Ia berasal dari Ghana, sebuah negara di benua Afrika. Sebagai mahasiswa Ohio University at Athens, ia sering bercerita kepada mahasiswa internasional tentang kesebelasan negerinya yang berhasil menembus turnamen piala dunia.

Hari ini, ia tiba-tiba masuk kelas sambil mengenakan baju yang bermotif kembang-kembang. Setelah saya perhatikan, pakaian itu amat mirip dengan batik yang sering dikenakan di Indonesia. Saat saya tanya apa nama baju tersebut, ia menjawab singkat, “Baju ini bernama African batik.” What? 

Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai efek Nelson Mandela. Segera setelah mantan Presiden Afrika Selatan itu mengenakan batik, maka produk asli Indonesia –yang telah dikukuhkan sebagai warisan dunia itu—langsung naik pamor dan juga menjadi identitas kebanggaan Afrika. Saat saya bertanya pada Chris apakah ia mengetahui dari mana asal batik, ia langsung menjawab singkat, “Bukankah semua orang tahu kalau batik berasal dari Indonesia?” 

kopi Sumatra di Walmart
kopi Sumatra di satu kafe
Chris, sahabat asal Ghana, yang berbaju batik

Pernyataan Chris membuat saya tersentak. Saya akhirnya menyadari bahwa Indonesia bukan saja negeri yang terkenal dengan kemolekan tanah airnya. Indonesia bukan saja negeri yang menjadi laboratorium ilmu sosial sehingga para ahli berbondong-bondong untuk riset tentang ilmu sosial dan kemudian terkenal di seluruh dunia. Indonesia juga sebuah negara yang memperoduksi banyak barang yang kemudian di lempar ke pasaran internasional, dan kemudian mendunia. 

Saat-saat seperti ini, saya tiba-tiba merasakan kebanggaan sebagai warga Indonesia. Saya amat bangga ketika sebuah barang yang merupakan produk asli yang lahir dari bumi Indonesia tiba-tiba menjadi digunakan warga dunia.

Saya amat tersanjung karena di tengah kegersangan tokoh Indonesia yang bisa berbicara di pentas internasional, kita masih bisa menemukan produk khas negeri kita yang menembus pasaran dunia. Bukan cuma sekali saya tersentak mendengar produk khas Indonesia seperti batik. 

made in Indonesia

Saat berkunjung ke Walmart, raksasa ritel di Amerika Serikat (AS), saya menyaksikan beberapa jaket yang terdapat label Made in Indonesia. Saya juga menyaksikan kopi Sumatra yang dipromosikan sebagai kopi terbaik.

 Saya agak terkejut karena di jajaran kopi terbaik yang dijual di pasar ritel terbesar itu, terdapat kopi bermerk kopi Sumatra, lengkap dengan gambar rumah gadang, rumah khas di Sumatra Barat. Sayang sekali karena tak ada kata Indonesia di situ. Bahkan kopi jenis Starbuck pun tak malu-malu mengumumkan bahwa dari 10 kopi terbaik yang dimilikinya, lima di antaranya adalah kopi Toraja, Aceh, Bali, Sumatra, dan Java. 

Kepopuleran kopi khas Indonesia tidak hanya di tempat raksasa ritel seperti Walmart. Saat saya singgah di satu kedai kopi di tepi Court Street d Athens, saya pun menyaksikan terdapat kopi bertuliskan Sumatra. Bukankah ini pertanda kalau produk Indonesia identik dengan rasa eksotik yang sesungguhnya dicari oleh para penikmat kopi?

 Tak hanya kopi. Saya pernah hendak membeli sebuah sepatu bermerek Nike. Ketika memeriksa labelnya, saya melihat label Made In Indonesia. Saat itulah saya berpikir, mengapa kita di Indonesia harus membeli produk tertentu dengan harga mahal, sementara di saat bersamaan justru produk itu dibuat dalam negeri kita? Mengapa pula bangsa kita udah tergila-gila dengan segala hal yang berbau asing? 

Inferioritas Budaya 

Banyaknya produk Indonesia yang beredar di pasaran internasional, tak urung membuat saya sering memikirkan hal ini. Di negeri kita, terdapat banyak gerai Starbuck yang dibuka, kemudian anak bangsa kita berbondong-bondong memasuki gerai kopi itu demi mengidentifikasi dirinya sebagai American Style, sementara di saat bersamaan, gerai kopi itu justru mengandalkan produk lokal Indonesia yang dikemas ulang menjadi produk luar.

Kita sama tahu bahwa batik Indonesia amat popular hingga ke negeri lain. Namun, entah kenapa, kita merasa jauh lebih percaya diri ketika mengenakan pakaian bermerek seperti Pierre Cardin, Dolce, atau Prada? 

Jika soalnya adalah merek, maka bisakah kita bayangkan, seberapa banyak kekayaan yang semestinya bisa membesarkan anak bangsa kita, namun justru digunakan untuk memperkaya kaum kapitalis di negeri lain sana. Ada beberapa tesis yang bisa dikemukakan untuk menjawab kegelisahan ini. 

Pertama, bangsa kita mengidap semacam inferioritas kebudayaan. Kita selalu ingin mengidentifikasi diri kita sebagai bangsa asing. Kita sering mengecat rambut kita menjadi pirang. Kita sering memakai produk asing, semata-mata demi terlihat seperti bangsa asing.

Kita mudah terjebak dengan pesona sebuah label atau merek, dan di saat bersamaan mengabaikan fakta bahwa barang tersebut sesungguhnya adalah produk khas negeri sendiri. Dugaan saya, mungkin ini adalah warisan dari proses berpikir khas colonial yang di masa silam mendefinsikan bangsa kulit putih seolah identic dengan kemajuan. Kita dipaksa untuk berpikir dan berbusana ala bangsa asing. 

gerai Starbucks di Jakarta

Kedua, ini adalah buah dari kesuksesan pihak korporasi yang menanamkan image atau gambaran tentang merek yang ideal di kepala kita semua. Pihak korporasi berhasil memaksakan kategori bermerek dan tidak bermerek, kemudian menjadikan kita sebagai penerima limpahan berbagai produk internasional, yang ujung-ujungnya adalah memperbanyak pundi-pundi mereka.

Kita, bangsa Indonesia, yang penduduknya mencapai lebih 240 juta jiwa hanya diposisikan sebagai konsumen yang pasif, tanpa menyadari bahwa produk kita sendiri yang dikemas ulang lalu dijual ke negeri kita sendiri. 

Ketiga, ada semacam relasi yang tidak seimbang ketika barang-barang tertentu diproduksi di Indonesia, kemudian dijual untuk konsumsi pasaran internasional. Kita sedang menyaksikan relasi timpang ketika barang itu dibuat dnegan biaya murah di Indonesia, apalagi gaji buruh amat murah, kemudian dijual lagi di pasaran internasional dengan harga selangit.

Contoh yang bisa disajikan di sini adalah sepatu Nike, produk buatan Indonesia pesanan perusahaan Amerika, yang harganya bisa sampai ratusan dollar di luar negeri. Padahal, gaji buruh perusahaan itu justru lebih rendah dari harga sepatu Nike. Bukankah ini sangat tidak adil? Dengan cara membuka usaha di Indonesia, pihak Nike bisa dapat keuntungan berlipat ganda dengan harga buruh yang amat murah. 

Pada akhirnya, yang paling dirugikan adalah anak bangsa yang mencari sesuap nasi di perusahaan tersebut. Warga kita hanya mendapatkan remah-remah berupa gaji yang tidak seberapa, sementara perusahaan itu justru menangguk dollar dalam jumlah besar. Mungkin ini mesti dilihat sebagai tantangan buat bangsa kita.

Di saat pemerintah mesti mengampanyekan penggunaan produk dalam negeri, mestinya juga diikuti dengan kebijakan industrialisasi yang memberikan porsi keuntungan bagi bangsa sendiri. Memang, si satu sisi, saya amat bangga saat menemukan banyak produk hebat yang berasal dari negeri sendiri. Tapi di saat bersamaan, saya juga sedih saat membayangkan nasib para buruhnya.

Yah.. Inilah paradoks dalam kebudayaan kita yang mesti diselesaikan sebelum roda zaman akhirnya menggilas kita hingga terseret tertatih-tatih.(*)



3 komentar:

Atyra mengatakan...

mantapp kak...Bangga sebagai bangsa Indonesia dan memanglah seharusnya kita mencintai produk sendiri toh produk2 kita tak kalah bagusnya dg produk Luar,malah orang Luarpun bangga dg produk Indonesia..., I love Battiik always..hehehe

Salam cinta Indonesia^^

adhari'sabroad mengatakan...

Sepatu bermerk seperti Nike dll yang dipasarkan di Turki juga kebanyakan made in Indonesia. Padahal itu didalam mall.

Unknown mengatakan...

Cintailah produk di dalam negeri sendiri. Jangan termakan merk!! Kualitas barang in indonesia gak kalah dg barang luar, karena sya skrg tinggalndi luar negeri.

Posting Komentar