Saat Dicium Cewek Amerika Latin

ilustrasi

SEBUT saja namanya Marimar. Ia mahasiswa pada satu program di Center for International Studies, Ohio University at Athens. Ia penggemar telenovela dan sedang menyusun tesis tentang itu. Makanya, ia cukup fasih menjelaskan tentang cultural studies dan reproduksi kelas dalam setiap tayangan telenovela. Kata seorang teman, Marimar berasal dari sebuah negara di sebelah selatan benua Amerika. Saya sendiri tak tahu persis, apakah Chile ataukah Uruguay.

Saya mengenalnya sejak pertama datang di Athens, Ohio. Mulanya kami cuma ngobrol biasa saja. Namun selanjutnya, kami mulai akrab. Mulai saat itu pula, saya mulai sengaja menghindarinya. Tahu apa alasan saya? Sebab dalam setiap pertemuan, ia akan menciumi saya di depan umum. Saya jadi amat malu di hadapan banyak orang, khususnya sahabat asal Indonesia. Bukan cuma malu karena dicium, juga malu karena diledekin. Dicium nih yeee..!

Inilah yang disebut relativisme kebudayaan. Apa yang disebut konsep-konsep dalam kebudayaan laksana karet gelang yang bisa ditarik ulur. Kita senantiasa melihat sesuatu berdasarkan cara pandang kita sendiri.

Filosof Thomas Kuhn mendefinisikannnya sebagai paradigma yakni cara-cara melihat sesuatu yang dipengaruhi latar sejarah, social, serta kebudayaan yang dianut seseorang. Bagi saya, yang terlahir penganut kebudayaan Indonesia, dicium di depan umum adalah sesuatu yang bisa mendatangkan malu dan rasa risih.

Bahkan dengan perempuan yang juga muhrim sekalipun, kita orang Indonesia mustahil melakukannya di depan umum. Selama di Indonesia, saya tidak pernah melihat seorang suami menciumi istrinya di hadapan banyak orang. Kita menganggap itu sebagai hal yang tak pantas. Kebudayaan kita telah mendefinisikan apa yang disebut pantas dan tidak pantas tersebut. Nah, bagaimanakah dengan mereka yang hidup dalam setting sosial yang berbeda dengan kita?

Bagi mereka yang hidup di Amerika Latin, tradisi berciuman di pipi adalah bagian dari keakraban. Saya sering melihat sahabat saya di kampus yakni Armando menciumi rekan sesama negaranya, dalam setiap perjumpaan. Mereka melakukan itu sebagai bukti persahabatan. Mereka tak risih, meskipun saya sering melihatnya dengan tatapan mata penuh pengharapan. (Apa saya juga bisa mencium? Ah, malu nanya kayak gini. Hehehe).

Bagi mereka, itu adalah tanda persahabatan sekaligus kehangatan. Mereka penganut budaya yang ekspresif dalam konteks menyatakan persahabatan atau kasih sayang. Ciuman menjadi bahasa simbolik yang mempertautkan mereka dengan orang lain, menjadi jejak bahwa di antara dua orang tersebut ada ikatan batin, ada saling keterhubungan, sekaligus ada suara kecupan, serta jejak-jejak di pipi kita yang bersemu saking malunya.

ilustrasi 2

Dalam sebuah literatur, saya menemukan data bahwa ciuman menjadi bahasa universal di banyak negara. Warga suku Maori di Selandia Baru memiliki salam "hongi" yakni "berbagi nafas." Setiap bertemu sahabat, mereka akan menekan hidung ke hidung temanya sebagai tanda bahwa mereka sahabat dekat. Wah, kalau kayak gini, pengen juga saya menjalin persahabatan dengan banyak cewek cantik. Biar setiap ketemu, bisa mencium gratis. Hehehe.

Orang Belanda, Swiss, dan Rusia juga punya tradisi ini. Mereka memberikan ciuman pipi sebanyak tiga kali (dimulai dari pipi kiri) bila mereka bertemu dan berpisah dengan teman dekat. Sementara orang Inggris juga punya tradisi mencium saat bertemu dan berpisah. Ciuman pipi dilakukan minimal sekali antara pria dan wanita. Kata seorang teman, antara sesama jenis tidak dianjurkan untuk saling menciumi.

Nah, ini sangat berbeda dengan ciuman di bangsa-bangsa Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Saat merayakan Idul Adha di Athens, saya bersalaman dengan banyak pria Arab. Uniknya, setelah bersalaman, lalu dilanjutkan dengan ciuman pipi sebanyak empat kali. Satu kali di pipi kanan, dan tiga kali di pipi kiri. Saat mencium, bibir harus berbunyi, "mmuaach," sebagai tanda menikmatinya. Saat itu, saya risih berat saat diciumi pria-pria Arab itu (saya menulis pengalaman itu DI SINI). Bayangin, saya dicium lelaki yang wajahnya penuh cambang, serta kekar-kekar. Saya bisa saja menolak. Tapi saya takut kalau harus menyakiti mereka. Terpaksa saya pura-pura saja menikmatinya.

makan bersama seusai salat Idul Adha bersama mahasiswa asal Malaysia

Meskipun risih, saya tahu persis bahwa mereka melakukannya dalam konteks persahabatan dan perkenalkan. Ini adalah bahasa universal yang menunjukkan seseorang menyukai dan menganggapmu sebagai sahabat. Meski dirimu tak nyaman, namun demi persahabatan, maka rasa tidak nyaman itu sebaiknya disingkirkan jauh-jauh.

Dibandingkan dicium pria Arab itu, saya ‘sedikit’ lebih nyaman saat dicium Marimar. Awalnya, saya bertemu di Kafe Bibliotech di Alden Library. Usai diskusi, ia lalu pamit setelah sebelumnya –tanpa saya duga—tiba-tiba mendaratkan ciuman. Saya jelas kaget. Namun saat itu, saya menoleh kepada seorang sahabat asal Indonesia yang baru tiba, sambil berbisik, “Ini Amerika. Di sini cewek yang datang mencium kita.”

Siang ini, saya kembali bertemu Marimar di bis kampus. Sejak jauh melihat saya, entah kenapa, ia tiba-tiba tersenyum. Pipinya yang tembem itu bersemu kemerahan karena diterpa angin dingin di musim salju ini. Tiba-tiba, perasaan saya jadi panas dingin. Saya tak tahu hendak berkata apa sebab saya membayangkan bahwa hari ini bakalan dapat cium lagi nih. Jika Anda dalam posisi saya, seberapa beranikah Anda menolak ciuman?



1 komentar:

Anonim mengatakan...

wow.. in artikelta' yg bisa memotivasi buat belajar di LN haha

Posting Komentar