Sherlock Holmes, Fiksi yang 'Membunuh' Sang Pengarang

poster film

DI tepi air terjun Reichenbach, keduanya bermain catur sambil menatap tajam. Di tengah pertarungan itu, mereka tidak lagi menatap bidak catur, melainkan saling bersilat lidah. Keduanya saling menebak jalan pikiran yang diambil masing-masing, lalu mulai berdiri dan saling duel.

Sherlock Holmes, detektif yang tinggal di Baker Street, London, lalu membayangkan adegan yang akan terjadi. Ia menyusun gambaran apa yang terjadi dengan cara induksi, melalui sulaman patahan kejadian. Ia tahu akan kalah melawan si jenius Profesor Moriarty yang pernah jadi juara tinju semasa jadi mahasiswa di Cambridge. Kesimpulannya hanya satu: mereka harus sama-sama tewas di air terjun deras itu. Holmes menjepit Moriarty lalu menjatuhkan diri. Maka berakhirlah kisah detektif yang amat kondang dengan kemampuan deduksi ala saintis tersebut.

Patahan kejadian ini saya saksikan melalui tayangan film Sherlock Holmes: A Game of Shadow di Athena Grand, Athens, Ohio, Jumat (30/12) lalu. Di film ini, Holmes tidaklah tewas. Ia bangkit kembali karena ternyata masih menyimpan tabung oksigen untuk pernapasannya. Sementara di novel yang berjudul The Final Problem (kalau tak salah, saya membacanya pada tahun 1990-an dalam bahasa Indonesia), Holmes justru tewas dalam pertarungan tersebut. Mestinya, inilah akhir dari kisah detektif yang selalu didampingi sang dokter veteran perang bernama Dr John Watson tersebut.

Pada tahun 1893, pengarang Sir Arthur Conan Doyle meniatkan adegan itu sebagai akhir dari detektif kenamaan itu. Ia berpikir bahwa seorang jagoan –sehebat apapun dia—mestilah memiliki akhir. Sebab kehidupan itu sendiri sebagai satu kontinuitas yang dimulai dari satu titik, dan kelak akan berakhir pada satu titik pula.

Sir Arthur Conan Doyle
Makanya, ia menciptakan karakter Professor Moriarty yang disebutnya sebagai ‘Napoleon Dunia Kejahatan.’ Kemampuan professor matematika ini setara –untuk tidak menyebutnya di atas- Holmes dalam menyiapkan strategi kejahatan. Moriarty ibarat Lex Luthor atau sosok Doomsday bagi Superman. Atau seperti Joker dalam kisah Batman. Maka ending yang paling tepat adalah keduanya tewas secara bersamaan sebagai tanda kemampuan yang setara. Maka setelah ‘menewaskan’ Sherlock Holmes, maka Sir Arthur Conan Doyle lalu memutuskan pensiun dari dunia kepenulisan.

Namun, ia tak pernah bisa nyaman menikmati masa pensiun itu. Ia tertekan dengan para fans novel yang mendesaknya untuk segera ‘menghidupkan’ kembali sosok itu. Ia menerima ribuan surat yang isinya paksaan agar Holmes kembali bangkit. Dalam situasi serba tertekan itu, ia akhirnya menghidupkan karakter ini dalam kisah Kembalinya Sherlock Holmes. Maka bersoraklah para fans. Maka Sherlock Holmes tercatat dalam sejarah sebagai tokoh fiksi yang sukses mengalahkan pengarangnya. Ketika pengarang ini mematikannya, ia justru hidup kembali. Hebat!

A Game of Shadow

karakter lama
Film ini membangkitkan kembali kenangan tentang sang detektif yang pernah menghiasi bacaan di masa kecil. Mulanya, saya tak terlalu tertarik menyaksikan film yang diolah dari novel karya Sir Arthur Conan Doyle itu. Hampir semua novel yang diangkat jadi film selalu saja mengalami interpretasi ulang sehingga Nampak amat berbeda dengan versi novelnya. Saya sudah pernah kecewa dengan Harry Potter. Namun setelah menyaksikan film ini kekecewaan itu harus dikubur dalam-dalam.

Robert Downey Jr benar-benar menjadi personifikasi sosok Holmes sendiri. Ini sangat berbeda dengan film Sherlock Homes tahun 1930-an yang menggambarkannya sebagai sosok serius dengan jubah dan pipa cangklong. Padahal, di novel, gambaran sehari-harinya memang pencandu kokain, nyentrik, dan suka bikin eksperimen aneh. Semakin rumit kasus, maka semakin waraslah si Holmes. Ia semakin normal. Itu bisa terlihat pada kisah Skandal Raja Bohemia.

Nah, Downey berhasil mengangkat karakter asli sang detektif yang memang penyendiri, pencandu kokain, aneh, dan suka eksperimen. Sutradara Guy Ritchie sukses mengangkat novel menjadi film yang lebih berisi ketimbang beberapa novel atau serial tentang sosok ini. Kombinasi Holmes dengan Watson (karakter yang sangat hidup di tangan Jude Law) juga lebih kuat chesmistry-nya. Dialog yang segar dan jenaka dari keduanya menjadi pemanis yang membuat penonton tak mau beranjak. Dalam film ini, saya sangat menikmati ‘kecemburuan’ Holmes pada Watson yang baru saja menikah. Nah, emosi dan jenaka serta tantangan untuk mengalahkan Moriarty inilah yang kemudian menjadi daya tarik film.

Dalam film ini, Holmes terlihat lebih banyak salahnya daripada benarnya. Beberapa kali ia salah menebak apa yang hendak dilakukan Moriarty. Mungkin ini dimaksudkan untuk menggambarkan kehebatan Moriarty. Sayangnya, saya agak kecewa dengan karakter ini di film yang diperankan Jared Harris. Ia sukses menampilkan sosok yang kejam, tapi nampak kurang bengis. Aspek intelektual sang professor juga tak terlalu kelihatan, meskipun ada adegan ia membaca buku seni. Saya menganggap tokoh yang paling pas memerankan ini adalah Anthony Hopkins, sebab gambaran saya tentang Moriarty adalah karakter Dr Hannibal Lecter yang diperankan Hopkins. Jahat, bengis, cerdas, serta gila!

Jared Harris sebagai Professor James Moriarty

Kelemahan yang mungkin terasa di novel ini karena terlalu berkutat pada hubungan emosional antara Holmes dan Watson, tanpa banyak mengeksplorasi sisi-sisi lain Moriarty. Padahal, sebagai Napoleon Dunia Kejahatan, ia tentu memiliki aspek emosi yang sesungguhnya amat menarik untuk ditelusuri. Mudah-mudahan ini bisa dieksplor pada film Holmes berikutnya. Semoga!

Induksi ataukah Deduksi?

Sesungguhnya, ada kerancuan istilah yang selalu tampil di novel dan film, juga selalu diulang oleh para peresensi. Dalam penggambaran Watson, Holmes adalah sosok yang sangat hebat dalam hal kemampuan deduksi. Ia bisa merangkai ulang semua fakta menjadi satu bangunan utuh. Namun jika dilihat dari aspek filsafat ilmu, istilah deduksi itu justru tidak tepat. Sebab deduksi adalah penarika kesimpulan dari aspek yang sifatnya umum ke khusus.

Apa yang dilakukan Holmes justru adalah induksi. Ia selalu memperhatikan detail-detail kecil, kemudian membangun eksplanasi atau penjelasan setelah merangkai semua fakta. Ia memulai dari fakta khusus, lalu membangun generalisasi atas kejadian. Memang, sang pengarang sendiri memiliki latar seorang fisikawan yang memguasai ilmu forensik. Inilah sebab mengapa Holmes sangat ahli merangkai fakta kecil dan membangun narasi kuat. Apakah deduksi ataukah induksi? Menurut sang pengarang, yang benar adalah induksi. Kalaupun Holmes dikabarkan jago deduksi, maka itu adalah bagian dari ketidaknormalanya atau kenyentrikannya ketika mengubah-ubah istilah logika dengan semaunya. Iya khan?



4 komentar:

hakim_71 mengatakan...

wow... ulasan yang bagus... sepakat, Holmes menggunakan cara berpikir induktif, dari yang khusus ke umum.

maman mengatakan...

usul kanda, selain arsip blog tambah gadget labels atau kategori untuk memudahkan pencarian, seperti sosial, budaya, motivasi, film dan lain-lain... salam.

Unknown mengatakan...

"Semakin rumit kasus, maka semakin waraslah si Holmes."
SETUJU! lol
memang aneh, tapi itulah sisi menariknya si Sherly. kk~

Anugerah (ugha) mengatakan...

Untuk pertama kalinya Saya menonton Film Sherlock Holmes. Saya menikmatinya. :D

Saya pernah bilang ke salah seorang teman. Menurut Saya, film yang bagus itu ketika saya harus menaruh "kepala di bawah dan kaki di atas" ketika menontonnya.

Saya seperti mendapat lotre, ketika menonton film ini. Mendapatkan Robert Downey jr dan Jude Law. Hahaha...

Komenku sepertinya Out Of Topic (OOT), tapi tidak apa-apaji K' toh? :D

*tetap menerawang jauh, kapan ya Saya bisa foto di bawah Patung Liberty* :))

Posting Komentar