Abraham Samad: Dari Warung Kopi Hingga Ketua KPK

Abraham Samad

SEJAK awal saya sudah memperkirakan kalau Abraham Samad akan masuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya paham integritasnya. Tapi saya tidak menyangka jika ia akan terpilih sebagai pimpinan lembaga yang paling disegani itu. Saya tidak menduga jika ia akan memimpin gerakan pemberantasan korupsi di seluruh Indonesia. Padahal saya tahu persis bahwa ia memulai semuanya dari hal-hal yang sederhana. Dimulai dari satu tempat kecil bernama warung kopi.

Kurang lebih delapan tahun silam, saya hanyalah wartawan biasa di Kota Makassar. Di kota ini, warung kopi bukan sekadar tempat nongkrong dan menghabiskan hari. Tapi di situ ada dinamika, ada perkenalan, serta kaderisasi politik di kalangan semua yang hadir. Mungkin kedengarannya aneh. Tapi warung kopi adalah sebuah ruang sosial yang egaliter di mana setiap orang memiliki posisi yang sama. Di situlah banyak orang saling kenal, diskusi, kemudian berbagi pendapat.

Dulu, setiap hari Rabu, selalu ada diskusi di warkop Phoenam yang diadakan oleh Radio Mercurius Top FM. Tema yang paling hangat dibahas adalah tema politik dan korupsi. Saya cukup setia menghadiri diskusi itu. Selain untuk menikmati aroma khas kopi Toraja, saya cukup menikmati perbincangan dengan beberapa sahabat dan senior di Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di antara salah seorang yang sering saya temani nongkrong terdapat seorang pria ceking, berkulit legam, dengan sorot mata tajam. Pria itu Abraham Samad.

Pada masa itu, hampir semua wartawan bersahabat dekat dengannya. Sepintas penampilannya dingin, sorot matanya juga tajam. Awalnya saya tak mau mengakrabkan diri dengannya. Namun beberapa kakak senior dan sahabat saya sering bersamanya, maka sayapun jadi ikut-ikutan akrab dengannya. Ia adalah sosok yang mudah tertawa, agak kontras dengan tampilannya yang sangar. Di warung kopi itu, kami sering mendiskusikan situasi terkini di tingkat lokal. Waktu itu, Makassar menjadi satu kota yang juga menjadi sentrum diskusi atas berbagai wacana. Pada saat wacana korupsi menguat, Abraham menjadi ikon aktivis LSM yang vokal menyuarakan isu ini. Ia juga sangat dekat dengan aktivis organisasi Islam di Makassar.

saat promosi doktor di Unhas
Sebelumnya, ia pernah mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas ini hanya punya satu baliho di perempatan Lapangan Karebosi, dikarenakan tidak punya uang. Nasib belum berpihak padanya. Nasib itu pula yang membuatnya kian kondang sebagai aktivis.

Ia lalu kembali ke jalur yang selama ini ditekuninya yakni sebagai pengacara dan aktivis anti korupsi. Ia membela kasus besar. Di antaranya terdakwa Bom Makassar, Kaharuddin dan Muhtar Dg Lau. Ia juga ikut membela terdakwa teroris Agus Dwikarna, yang ditangkap dan masih ditahan pemerintah Philipina tanpa pengadilan jelas. Di luar aktivitasnya, ia juga suka membaca wacana keislaman, sampai-sampai ia mengidolakan pemimpin Iran, Rafsanjani, hingga diabadikan sebagai nama anaknya.

Pada masa itu, ia sering jadi pembicara diskusi kecil di warung-warung kopi. Dalam banyak kesempatan, saya selalu jadi moderator diskusi, dan Abraham jadi pembicara. Pernah pula saya jadi pembicara, dan ia jadi pendengar yang aktif memberikan masukan saat diskusi. Kedekatan kami hanya saat membahas tema tertentu, namun sahabat saya di Makassar menjadi sosok terdekatnya, yang selalu menemaninya dalam banyak kesempatan. Pernah pula saya bertengkar dengannya hanya gara-gara komentarnya yang agak pedas. Namun itu tidak merusak persahabatan yang terlanjur di bangun.

Kiprah Abraham

Saya masih ingat. Dulu ia mendirikan Anti Corruption Committee (ACC) bersama beberapa orang akademisi. Lembaga itu menjadi corong baginya untuk menggedor kasus-kasus korupsi di Sulsel. Pada akhir yahun 2003, ia tampil di depan saat memprotes kasus korupsi yang diduga dilakukan anggota DPRD Sulsel. Sayang sekali, kasus itu ditutup oleh kejaksaan karena dianggap kurang bukti.

Namun, kasus itu cukup untuk melambungkan namanya sebab berani berhadapan dengan kekuasaan. Ia jadi populer di media. Hampir setiap ada ulasan korupsi, Abraham yang akan kami mintai keterangan. Di luar itu, kami tetap setia duduk-duduk di warung kopi sambil mendiskusikan banyak hal. Saya hanya bisa mendengar kiprahnya dari para sahabat lain di Makassar.

Sebulan sebelum ke Amerika Serikat (AS), saya sudah mendengar berita tentang dirinya yang bersaing menjadi Ketua KPK. Kata seorang teman yang berprofesi sebagai staf ahli DPR, Abraham bisa menjadi kuda hitam sebab dirinya bisa menjadi jalan tengah dari perdebatan banyan kubu di DPR. Kata teman itu pula, Abraham banyak di-backup oleh partai politik, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Setahu saya, ia memang banyak dekat dengan fungsionaris PAN dan PDIP di Makassar. Apalagi ia pernah menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk DPRD Sulsel melalui PAN. Mungkin kedekatan itu bisa jadi faktor yang melejitkan dirinya, namun jika tak waspada, agenda penegakan korupsi di Indonesia bisa terus tertunda.

Hari ini, saya membaca berita kalau dirinya terpilih sebagai Ketua KPK. Tak tanggung-tanggung, ia jadi pimpinan lembaga negara yang kini jadi harapan untuk mengatasi korupsi. Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan mengatakan, pihaknya menginginkan pimpinan KPK yang independen. “Abraham ini punya komitmen mengerjakan kasus-kasus yang sering kita bilang empat kasus itu (Century, cek pelawat, Gayus Tambunan, wisma atlet-red),” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (2/12).

aksi di KPK

Dari pernyataan ini, saya bisa menangkap kesan bahwa politik Indonesia masih berkutat pada dinamika, kontestasi, serta bargaining di balik layar. Politik Indonesia ibarat panggung di mana panggung depannya adalah sesautu yang ditampilkan ke publik, sementara di panggung belakang terdapat dinamika dan tawar-menawar yang ujung-ujungnya adalah bagaimana menjaga dan merebut jejaring kuasa. Bagi saya, penunjukkan Abraham tidak murni dikarenakan kapasitas serta integritasnya, namun lebih pada sosoknya yang diharapkan bisa mengemban amanah untuk menuntaskan agenda partai politik.

Hal Positif

Tapi saya melihat ada dua hal positif di baik penunjukannya. Pertama, Abraham merepresentasikan sosok muda yang bisa energik dan punya ide besar. Ia bisa menjadi harapan pada sosok yang bisa bekerja keras untuk menuntaskan kasus korupsi. Saya percaya integritas serta kemampuannya menjaga jarak dengan kekuasaan. Ia seorang yang tangguh dalam hal menjaga dan menuntaskan amanah banyak orang.

Kedua, Abraham bukan sosok yang dicemari kepentingan kuasa. Setidaknya, ia bekerja di daerah dengan cakupan lokal yang tidak banyak bersentuhan dengan kepentingan Jakarta. Apalagi, ia memang menjadi kuda hitam dari pertarungan banyak kubu di DPR yang menginginkan sosok Ketua KPK berasal dari sosok terdekatnya. Makanya, saya banyak berharap agar dirinya bersih dari tarikan-tarkan antar partai politik, meskipun dirinya juga didukung partai politik.


Ketiga, penunjukkan Abraham menebalkan kepercayaan diri pada aktivis LSM di grass root, pada lapis terjauh yang berumah di daerah-derah, bahwa merekapun bisa memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi bangsa ini. Sebagaimana kata Trimedya, “Orang daerah sekali-kali harus memimpin,” katanya. Penunjukan Abraham menunjukkan bahwa kiblat wacana di tanah air tidak selalu dikuasai mereka yang berumah di Jakarta. Naiknya beliau mengajarkan kita bahwa mereka yang setia bekerja di daerah, dengan cakupan isu-isu yang lokal sekalipun, bisa terpilih untuk mengemban isu yang jauh lebih besar. Di sinilah letak tantangannya.

Hari ini, saya merenungi masa-masa yang lewat. Saya tak menyangka jika aktivitas sederhana di warung kopi, bisa mengantarkan seseorang ke jenjang yang lebih tinggi. Ia menempa dirinya dalam diskusi dan geakan sosial, menginspirasi banyak orang, hingga naik ke jenjang tertinggi dalam hal pemberantasan korupsi. Saya menanti-nanti sejarah besar yang ditorehkannya. Mungkin waktunya akan banyak tersita. Tapi saya masih berharap agar ia masih bersedia nongkrong bersama sambil menikmati segelas kopi Toraja, sambil menyaksikan semilir senja di bumi Anging Mammiri. Mungkinkah saat itu masih ada Abraham?


Athens, OHIO, 2 Desember 2011

1 komentar:

Am_Traveler mengatakan...

sy msh ingat baliho-nya, kereennn.... beliau & istrinya jg tidak segan2 membantu orang yang bahkan tidak mereka kenal sebelumnya. Sy & teman punya pengalaman ditolong di pelataran parkir TO jl.ratulangi - makassar (yg sekarang sdh jadi resto fast food). Hanya sebuah pertolongan kecil, namun sangat membekas dihati.

Posting Komentar