Menjejak Sisi Lain INDONESIA

KEMBALI, saya diserang hasrat untuk membaca sebuah buku. Di tanah air, jika hasrat ini mengepung, maka saya dengan segera akan ke toko buku, lalu membelinya. Atau tidak, saya akan memesan buku itu dengan cara online. Ada banyak cara yang saya tempuh untuk memiliki sebuah buku.


Tapi di sini, di tanah Amerika Serikat (AS), saya harus berdamai untuk tidak banyak membaca buku berbahasa Indonesia. Saya tak punya banyak pilihan dan harus meneteskan 'liur' saat melihat ada buku bagus terbit di tanah air, dan saya tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memiliki buku tersebut. Walhasil, saya hanya bisa gigit jari.

Saya ingin membaca buku baru berjudul "Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965." Ini buku baru yang belum banyak ditemukan di toko buku, namun sudah dibedah di mana-mana. Buku ini berisikan tentang periode sebelum tahun 1965, periode sebelum malam tanggal 30 September, yang disebut sejarawan Taufik Abdullah sebagai 'malam jahanam.' Buku ini spesifik pada tema kebudayaan, politik, dan sejarah, dan hendak menautkan jejak tentang serpih keindonesiaan yang hilang sebelum tahun 1965. Keindonesiaan yang dimaksud bukanlah sebuah lanskap geografis, melainkan sebuah jiwa, semangat, hasrat yang menggelegak, serta dinamika perhelatan gagasan serta serpih kebudayaan yang kemudian remuk dan nyaris hilang jejaknya.

Di rentang waktu itu, sebagian orang hanya mengetahui tahun 65 yang identik dengan gerakan 30 september yang kemudian dikenal dengan G-30-S PKI. kisah yang berdarah-darah itu merenggut jutaan nyawa dengan waktu beberapa bulan saja. Buku yang masih terbit di akhir tahun 2011 dan dieditori Jennifer Lindsay ini memutar kembali drama dalam babakan yang silam di rentang waktu yang singkat (1950-1965). Lantas, warisan apa yang penting dari drama yang disebut sebagai 'tragedi' itu? Jawabnya mungkin sejarah. Sejarah yang ditulis kembali. Hilmar Farid menyebutnya teleologi dalam sejarah. Saya tak paham apa maksud Hilmar (saya menyapanya Fai) dengan pernyataan itu. Mungkin yang dimaksudkan dengan teleologi sejarah adalah mereduksi sebuah peristiwa sejarah dalam hal-hal yang simplistis sehingga mengaburkan banyak realitas sejarah lain. Entah, saya hanya bisa menduga-duga.

Menurut info dari sahabat Patta Hindi Azis, buku setebal 606 halaman ini menghimpun hasil kajian indonesianis dan sarjana Indonesia tentang riwayat kebudayaan di tahun 1950-1965 an itu. "Buku ini memanfaatkan lanskap Indonesia sebagai cerita. Tak hanya tragedi 65, juga perang dingin, hubungan intenasional, aspirasi kolonial hingga terciptanya kehidupan budaya dan intelektual semarak hadir dalam sejarah tahun-tahun itu," kata Patta.

Sayang sekali, saya hanya bisa berharap agar buku itu segera tiba di Alden Library. Saya ingin sekali membacanya sebab berkesesuaian dengan tesis saya saat belajar di kampus Universitas Indonesia (UI). Yah, apa boleh buat. Mungkin saya harus banyak bersabar dan rajin membaca ulasan dari beberapa sahabat serta media yang menuliskan telaah atas buku ini. Atau, adakah di antara Anda yang bisa membantu saya?


Athens, Ohio, 24 November 2011

3 komentar:

Patta Hindi Asis mengatakan...

kemarin dalam diskusi itu akan diterbitkan dalam versi inggris kanda...smoga smpe di Amerika secepatnya

Muhammad Ismet Karnawan mengatakan...

ada juga buku baru tadi saya beli di jogja, keren. Judulnya "kuasa stigma dan represi ingatan". Penulisnya Tri Guntur Narwaya, Terbitan Resist Book Jogja, September 2010

Anonim mengatakan...

Edisi Inggris, berjudul "Heirs to World Culture", akan terbit januari 2012. Diterbitkan oleh KITL Press, Leiden.

Posting Komentar