Mencari Hiu buat Sarasvaty

Anakku sayang,.
Bulan ini dirimu telah berumur empat bulan. Sebulan lagi, ibumu berencana untuk membawamu ke Baubau di Pulau Buton. Kamu akan melewatkan usia enam bulan di sana. Saat itu pula, dirimu akan segera mendapatkan makanan sebagai pendamping air susu ibu yang setiap hari kamu minum. Ibumu sempat gelisah memikirkan apa makanan pertama yang akan kamu rasakan. Ia ingin agar makanan pertama itu bisa menjadi sejarah dan simbol penuh makna yang kelak memberi warna bagi dirimu, membentuk karaktermu, dan menguatkan hatimu kelak.

The beautiful Ara

Kamu beruntung sebab terlahir di sebuah masyarakat kota yang telah menyediakan semuanya. Kamu terlahir berkat bantuan seorang dokter ahli kandungan yang menyiapkan segalanya dengan matang di sebuah rumah sakit yang cukup mewah. Sementara diriku terlahir berkat bantuan seorang bidan desa di sebuah dusun kecil di utara Pulau Buton. Tak secanggih alat-alat yang mendeteksi keberadaanmu sejak dini, kemudian membantu proses terpisahnya dirimu dari ibumu. Bahkan, sebelum dirimu menggapai usia enam bulan, para dokter dan ahli gizi telah memiliki rekomendasi tentang makanan apa yang sebaiknya kamu makan.

Anakku sayang,.
Aku ingin mengisahkanmu tentang kekuatan sebuah tradisi. Aku menyebut tradisi sebagai himpunan kearifan yang kemudian diejawantahkan dalam sebuah ritual. Kita sering melihatnya sebagai sebentuk ritual, namun pada lapis-lapis terdalam, terdapat himpunan kearifan dan pengetahuan yang berurat akar pada kebudayaan dan pahaman filosofis manusia untuk menggapai kesempurnaan.

Di negeri kita, hampir semua kebudayaan memberikan definisi tentang pemberian makanan pertama bagi bayi. Orang Melayu Aceh atau Tamiang punya tradisi membawa bayi keliling rumah keluarga dan di setiap rumah, sang bayi akan disuapi. Mungkin ini dimaksudkan agar si bayi dikenal seluruh warga komunitas tersebut. Orang Jawa juga punya rupa-rupa tradisi untuk bayi yang pertama mendapatkan makanan tambahan. Pada usia tujuh bulan, sang bayi akan menjalani prosesi Tedak Sinten, atau turun ke tanah sebagai perlambang kehidupan yang kelak akan dijalani. Nah, bagaimakah halnya dengan dirimu kelak? Apakah kamu pun akan menjalani ritual pemberian makanan tambahan?

Dulu, ibuku (kelak kamu akan memanggilnya nenek) juga memikirkan hal sebagaimana ibumu. Betapa beruntungnya ibuku karena diriku lahir di tengah perkampungan nelayan sederhana di mana tradisi dan adat adalah tangan-tangan lembut yang menuntun hidup masyarakatnya di Buton Utara. Kami tak punya pengetahuan kesehatan yang memadai. Kami hanya keluarga nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada kemapuan meniti buih dan menaklukan samudera. Laut adalah ibu sekaligus semesta yang menyapih dan membesarkan semua manusia, sebagaimana ibu menyapih diriku di masa kecil.

Kami punya warisan pengetahuan berharga yang dijaga sejak masa ratusan tahun silam, termasuk bagaimana memberikan makanan pertama pada bayi. Tahukah kamu apa makanan yang pertama diberikan padaku saat berusia enam bulan? Ibuku berpegang pada tradisi untuk memberikan ikan hiu sebagai makanan pertama.

ritual memberi makanan pada laut oleh nelayan Buton

Aku tidak sedang bercanda. Aku sedang serius, duhai anakku sayang. Mungkin kamu ketakutan mendengarnya. Di sini, di tanah Amerika Serikat, ikan hiu adalah salah satu hewan yang paling ditakuti. Siapapun yang berenang di pantai, selalu saja mengkhawatirkan ikan bergigi runcing yang kecepatannya laksana torpedo demi menelan mangsa. Bahkan sutradara kondang Steven Spielberg (mungkin di masamu kelak namanya sudah menjadi sejarah) membuat film Jaws yang berisikan horor tentang ikan yang beringas setiap melihat darah. Ia menangkap momen ketakutan publik dunia terhadap ikan beringas itu, lalu mengemasnya jadi tontonan horor.

Tapi di Pulau Buton, tempatku tumbuh sebagai bayi, ikan hiu justru menjadi makanan pertama yang diberikan pada bayi. Hiu bukanlah santapan untuk orang dewasa. Dagingnya keras dan tidak nikmat. Nelayan Buton hanya menangkapnya saat tertentu, khususnya ketika ada hajatan untuk memberi makan buat bayi-bayi di kampung. Mereka menangkap ikan mengikuti tradisi yang telah berurat akar, termasuk kapan saat tepat menangkap hiu. Mereka juga mengikuti pantangan menangkap lumba-lumba dan ikan duyung.

Nak, aku tahu persis kalau pelaut dan nelayan Buton adalah para bahariwan luar biasa yang melintasi laut hanya dengan perahu cadik, berkelahi dengan ikan pari, bermain-main dengan ikan hiu, dan sesekali menyapa ikan duyung di tengah laut dalam. Lautan adalah semesta yang melingkupi kehidupan, dan menyapih kami sebagai warga yang berumah di pesisir lautan itu.

Almarhum kakekku (kamu memanggilnya kakek buyut. Ah, andaikan beliau masih hidup) adalah nelayan hebat yang hanya dengan perahu kecil jenis koli-koli bisa melintasi samudera selama berhari-hari dan kembali dengan perahu penuh ikan. Memori terindah masa kecilku adalah saat menungguinya di tepi laut, melihat-lihat setiap perahu yang datang, dan ketika kakekku yang datang, aku akan bersorak dengan penuh kemenangan lalu mengambil ikan paling besar untuk dibakar ramai-ramai.

Mereka tak menyisakan ketakutan pada ikan ganas itu sebab mereka memiliki pengetahuan tentang bagaimana menaklukannya, dan membawanya pulang sebagai santapan. Mereka yakin bahwa lautan adalah ibu yang sesekali mengutus ikan hiu bukan sebagai penganggu, namun sebagai santapan untuk bayi yang pertama. Lautan ibarat Dewa Poseidon yang memerintahkan semua hiu sebagai armada untuk menyerahkan dirinya kepada nelayan Buton untuk diserahkan pada bayi-bayi.

hiu amat ditakuti. tapi aku pernah memangsanya saat masih bayi

Apa makna pemberian ikan hiu buat bayi? Mungkin di situ tertera harapan kalau kelak sang bayi akan menjadi manusia dewasa yang gesit melintasi samudera kehidupan. Di situ ada harapan bahwa kelak sang bayi akan tumbuh menjadi manusia yang tak pernah takut menghadapi ancaman. Mungkin di situ ada symbol keberanian dan doa yang dirapal ke angkasa agar diriku menjadi petualang yang berkelana jauh demi membawa sesuatu yang berguna bagi masyarakat.

Anakku sayang..
Ibumu gelisah memikirkan ikan hiu yang kelak diberikan padamu. Aku sudah menghubungi ibu di kampung menanyakan apakah ikan hiu masih mudah ditemukan sebagaimana diriku dahulu. Ibuku bilang, ia sudah lama tidak mendengar ada nelayan menangkap hiu.

Mungkin kampanye lembaga internasional tentang pelestarian laut itu sudah berhasil. Ataukah ini pertanda kalau keluarga kita di kampung mulai kesulitan menemukan hiu di lautan bebas sana? Ataukah Poseidon tak lagi ramah buat kita? Entahlah. Aku sudah menghubungi ibumu dan berkata ikan hiu sudah tak mau lagi menepi untuk nelayan. Tapi ibumu tiba-tiba menjawab, dengan tidak putus asa. “Jika hiu tak ada, siapa tahu kelak anak kita akan mendapatkan daging ikan duyung?”



Athens, OHIO, 16 November 2011
Saat memikirkan paper yang belum kelar

3 komentar:

Ika mengatakan...

ya Ampun Ara, ayahmu kasih gambar hiu yang gede banget gitu dan banyak giginya tuh, gimana makannya ya, kamu kan belum punya gigi....

Patta Hindi Asis mengatakan...

di pulau Buton ikan segar yang rasanya manis, gurih dan kaya protein itu kelak akan menjadi asupan berharga ditambah sisipan cerita sejarah orang Buton yang juga pelaut ulung nusantara...

salam hangat kanda

atun mengatakan...

tenang aja kakakku hiu masih ada meskipun jarang, semoga saat tiba waktu cakra dan ara makan pertama hiu msh bisa ditemukan di pasar wameo

Posting Komentar