Sukarno, Khadafy, dan Tragedi Oediphus

Sukarno di akhir masa kekuasaannya

PRIA itu diringkus dengan paksa. Ia dihantam berkali-kali hingga darah menetes dari luka-luka sayat di wajahnya. Ia masih sempat menyeka darah itu dengan tangan dan memperhatikannya. Mungkin ia sedang memastikan bahwa cairan merah itu adalah darah yang mengalir. Ia lalu menatap sekeliling, memperhatikan barisan massa yang sedang mengamuk dan meneriakkan nama Tuhan. Ia lalu bertanya, “Apa salah saya? Apa yang telah saya lakukan pada kalian?”

Pria itu adalah lelaki yang selama sekian dekade menjadi pemimpin yang tak tersentuh. Pria itu adalah seorang pemimpin revolusi yang telah menumbangkan sebuah dinasti dan kekuasaan despotik yang bertahta selama beberapa tahun. Pria itu adalah lelaki yang suaranya laksana auman singa gurun dan menggetarkan lawannya. Kini ia hanya seorang pesakitan biasa yang disiksa, dibunuh, lalu diseret. Ia ditembak di perut dan kepala, kemudian mayatnya dilempar di sebuah lemari pendingin di pasar daging dan menjadi tontonan banyak orang. Sungguh menyedihkan. Pria itu Muammar Khadafy, sang pemimpin Libya, pemimpin revolusi Al Fatah.

Abad ke-21 adalah abad penuh kisah-kisah sedih. Kita sama tahu apa yang terjadi dengan pemimpin Irak Saddam Husein. Kita tahu bahwa mereka memang seorang pemimpin diktator yang -mungkin-menggunakan segala cara demi melanggengkan kuasa. Tapi kita sama paham bahwa setiap orang, tak selayaknya diperlakukan dengan cara demikian. Siapapun orangnya, tak seharusnya dimaki dan dicerca sedemikian rupa hingga seolah lenyaplah segala hal baik yang dilakukannya. Setiap orang berhak menjalani peradilan, penelusuran fakta yang meskipun bermuara pada kejahatannyan mamun harus ada ruang-ruang interpretasi dan di dalamnya ada perdebatan tentang benar salah. Namun sepertinya kita masih sulit bertindak jujur, menyerahkan pada proses hukum, serta melihat segala kesalahan dengan jernih dan terang benderang.

Tragik yang dihadapi Khadafy kian menguatkan jargon yang dulu sering dibisikkan para revolusioner bahwa revolusi kelak akan memangsa anak-anaknya sendiri. Seorang revolusioner adalah seorang yang sekian tahun silam menjadi juru selamat dan dipuji setinggi langit, namun di penghujung hayatnya menjadi buronan yang kelak akan dibunuh dan dilemparkan ke lemari pendingin sebagaimana Khadafy.

Kasus Khadafy kian melengkapi catatan sejarah bahwa seorang revolusioner memiliki hasrat kuat untuk menjebol dan membongkar pasang, namun selalu alpa membangun benteng tatanan atau sistem. Bahwa sekokoh apapun tatanan yang dibangun dari hasil menjebol, namun kohesi nilai dan solidaritas antar warga amatlah penting sebagai semen perekat benteng tatanan itu. Kohesi tersebut jelas ditopang oleh kesejahteraan serta hasrat kuat untuk menegakkan keadilan. Tanpa itu semua, revolusi hanya menjadi nyanyian pengantar tidur yang didendangkan buat seorang anak kecil di malam hari. Pertanyaannya, apakah pantas Khadafy menerima perlakukan itu? Saya tak paham. Saya hanya bisa mereka-reka. Biarlah para filosof dan cendekia yang memikirkan itu.


Kisah Tragis Sukarno


Kasus Khadafy mengingatkan saya pada tragik yang juga dialami pemimpin bangsa kita Sukarno. Ia membidani lahirnya republik, mengisinya dengan filosofi dan tananan, membawa bangsa ke ranah dunia, namun berakhir tragis di dalam rumah sendiri. Sukarno pun terasing di rumah sendiri, menjalani tahanan rumah, dan menderita sakit berat yang tak diobati oleh negara.

Bulan Maret 1967, Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden. Sukarno harus angkat kaki dari Istana Merdeka dan pindah ke Bogor. Sebetulnya sejak lama ia sudah diperlakukan sebagai tahanan rumah. Siapapun yang menemuinya mesti melewati hadangan prajurit yang menjaganya. Sejak awal 1968 Bung Karno berada dalam “karantina politik” dan tinggal di pavilyun Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke peristirahatan “Hing Puri Bima Sakti” di Batutulis Bogor. Sementara itu tuntutan masyarakat dibuat sedemikian rupa agar semakin keras mendesak Sukarno diadili dengan dalih keterlibatan dalam peristiwa G30S. Persangkaan itu diperkuat kenyataan bahwa Sukarno tidak mau mengutuk PKI yang pimpinannya terlibat dalam percobaan kudeta tersebut.

Putri Sukarno, Rachmawati, lalu menemui Soeharto di Cendana meminta agar Bung Karno dipindahkan ke Jakarta. Awal tahun 1969, Sukarno pindah ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala). Sementara itu Presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib. Setelah sakit Sukarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan menghentikan interogasi. Sebelum Prof Mahar Mardjono (dokter yang memeriksanya) meninggal, ia sempat menceritakan kepada Dr Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh dokter berpangkat tinggi. Sukarno tinggal sendirian dan menemui ajal, tanpa mendapat pemgobatan memadai. Ia menerima tragik, sesuatu yang tak dibayangkannya, bahkan di saat-saat menjalani pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan saat dibuang ke berbagai tempat di tanah air.

Membaca kisah Sukarno serasa membaca kisah dalam mitologi Yunani kuno: penuh dengan kisah penaklukan dan berujung pada tragedi. Ciri khas mitologi Yunani adalah selalu menempatkan tragedi sebagai elemen paling penting untuk menjelaskan kehidupan. Tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan, dan lewat itulah nilai-nilai moral ditemukan.

Ketika Oediphus -kisah masyhur dalam drama Sophocles- berhasil mengalahkan sphinx dan meraih tahta tertinggi di Thebe, maka itu adalah sebuah penaklukan dan kejayaan. Namun tatkala ia harus menusuk matanya sebagai bukti atas keterlibatannnya -yang dilakukan secara tidak disengaja-atas pembunuhan Raja Thebe sebelumnya serta tindakan mengawini ibunya Iacoste, maka itu adalah akhir dari kisah tragik yang baginya. Ia menjadi prasasti dari dilema manusia untuk menemukan dirinya dalam sebentang peta konstalasi kosmos.

Kisah Sukarno bisa pula dibaca sebagai kisah penaklukan yang kemudian berakhir tragis. Ia adalah seorang cerdik cendekia yang berhasil menggiring bangsa pada gerbang kemerdekaan. Ia berhasil memerdekakan sebuah bangsa yang tengah beringsut untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme. Lewat jargon revolusi, ia menggelorakan semangat massa dan rasa cinta yang dalam pada negeri hingga siap menjadi martir demi revolusi. Sayang, seperti halnya kisah Yunani kuno, Sukarno kemudian ditikam oleh negeri yang begitu dicintainya. Ternyata, revolusi -sebagaimana sering didengungkannya-harus memangsa anak-anaknya sendiri. Dan itu adalah tragis Sukarno.

Dalam hidup Sukarno, hanya ada sekutu dan seteru. Jika belakangan ia mati dalam konspirasi dan kesendirian, maka itu hanyalah tragedi yang menjadi akhir dalam kisah hidupnya. Bermula dari keterasingan, meraih kegemilangan, kemudian berujung pada tragedi yang telah menjadikannya sebagai mangsa dari kereta besar bernama revolusi.

Sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, Sukarno dan Khadafy adalah Oediphus yang ditusuk matanya dan mengerang dengan suara yang terdengar hingga jauh.



Athens, Ohio, 29 Oktober 2011

2 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Waktu melihat berita tentang Khadafi itu sungguh sangat muak melihatnya. Dia diperlakukan layaknya binatang.

“Kekuasaan” adalah cobaan terberat yang diberikan Tuhan kepada manusiaNya. Jarang saya melihat yang bisa tetap lurus di jalanNya ketika menerima cobaan kekuasaan itu.

dan seperti yang dikatakan oleh Jonathan Swift; “Politik, seperti yang dipahami pada umumnya, hanyalah korupsi.”

Anonim mengatakan...

manusia adalah makhluk Tuhan yang paling aneh keberadaanya...

Posting Komentar