Anging Mammiri Pukau Warga Amerika

bersama Yuli, sesama alumnus Fisip Unhas

KEMARIN, Minggu (9/10), saya menghadiri Indonesian Cultural Day di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS). Acaranya sangat ramai sebab dihadiri seluruh staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di AS serta keluarga Indonesia yang tinggal di sana. Dalam acara ini, banyak atraksi seni yang ditampilkan, mulai dari reog Ponorogo, hingga lagu-lagu daerah, termasuk lagu Anging Mammiri yang memukau warga Amerika.

Lagu ini dinyanyikan seroang wanita yang amat cantik. Dengan suara yang khas, ia memukau banyak orang yang kemudian menitikkan air mata. Pada layar besar di dinding, terdapat banyak slide gambar tentang Makassar. Saya pun ikut larut dengan lagu tersebut lalu membayangkan bagaimana indahnya menjalani hidup di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Saat lagu ini dinyanyikan, hampir semua orang tiba-tiba bersorak sambil bertepuk tangan. Pada saat itu, saya baru sadar kalau ada sejumlah ibu-ibu yang mengenakan baju bodo duduk di sebelah belakang. Saya lalu menemuinya dan berbincang-bincang. Ternyata mereka adalah warga Makassar yang sudah lama bermukim di Amerika.

nampang dulu di depan kampus Univesity of Pittsburgh

Beberapa di antaranya menikah dengan warga Amerika hingga sudah pindah kewarganegaraan, namun jiwa Makassar masih di hati masing-masing. Mereka datang bersama anak-anaknya yang berwajah blasteran. Uniknya, semua anak-anak itu memakai pakaian adat khas Bugis Makassar. Yang perempuan memakai baju bodo, sedangkan yang lelaki mengenakan songkok tobone.

Saat sedang berbincang, datang bergabung penyanyi lagu Anging Mamiri itu. Saya terkejut karena ternyata kami saling mengenal. Ternyata perempuan itu adalah Yuli Bahri, alumnus Fisip Universitas Hasanuddin. Ia masuk Fisip tahun 1999, dan kemudian lulus tahun 2004. Ia datang ke Amerika sejak lima tahun silam untuk bekerja. Kini ia terdaftar sebagai mahasiswa di University of Pittsburgh.

Menurut Yuli, populasi etnik Bugis-Makassar relatif banyak di Amerika. Apalagi banyak yang sudah menjadi warga negara AS. Mereka tersebar di sejumlah Negara bagian seperti Washington DC, Maryland, New York, New Jersey, dan Pennsylvania. Tadinya, saya pikir mereka adalah mahasiswa, tapi Yuli meykinkan banyak di antara mereka yang bukan mahasiswa. Mereka bekerja di beberapa sektor produktif di AS. Bahkan ada yang menemati posisi penting.

Masih kata Yuli, mereka rajin menjalin silaturahmi dan kontak melalui media jejaring sosial. Tak hanya itu, mereka juga rutin mengadakan arisan serta latihan menari bagi anak-anak Indonesia. Tak lupa, Yuli juga mengundang pada pertemu warga Bugis-Makassar serta pembentukan ikatan alumni Universitas Hasanuddin yang akan segera digelar di Washington DC. Di akhir pertemuan, seorang ibu yang berbaju bodo dating menyapa. Saat saya tanyai apakah ia bangga memakai baju bodo, ia menjawab dengan bahasa Inggris yang fasih, “Saya memang sudah lama meninggalkan tanah Bugis. Tapi jiwa Bugis masih menyala di hati saya.”

kok matanya tertutup?


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan yang Informatif..

Posting Komentar