Kerikil-Kerikil Menuju Ohio

air mancur di tengah Detroit Wayne International Airport

SESAAT lagi pesawat akan mendarat di Detroit. Pramugari pesawat Delta Airlines telah membagikan dua lembar form yang wajib diisi oleh semua penumpang yang bukan warga negara Amerika Serikat (AS). Saya telah mengisi kedua lembar itu dengan data yang sebenar-benarnya. Tiba-tiba ada pula pengumuman kalau Detroit adalah salah satu bandara internasional yang merupakan pintu gerbang memasuki AS. Olehnya, semua penumpang wajib menjalani pemeriksaan oleh pihak imigrasi AS dan bakal ada pemeriksaan dokumen pribadi.

Saya langsung tercekat. Rasa khawatir seketika menjalar di seluruh tubuh ini. Di pesawat berbadan lebar yang menerbangkan saya dari Bandara Narita (Jepang) itu, saya hanya membawa tas kecil yang hanya berisikan paspor, Visa serta satu lembar DS2019, dokumen wajib yang ditandatangani pihak perwakilan pemerintah AS di Jakarta. Beberapa teman di Tanah Air sudah meramalkan jika saya bakal  tertahan. Kata mereka, tanpa lembar asuransi (yang menanggung kita selama di AS), serta lembar pernyataan dari lembaga sponsor bahwa kita adalah penerima beasiswa, maka siapapun bisa kesulitan masuk negeri Paman Sam. Yah, tahu sendirilah jika negeri itu sering bertindak tanpa alasan rasional. 

Kekhawatiran makin menjalar saat membayangkan proses pengurusan visa yang berbelit-belit. Nama lengkap saya Muhammad Yusran Darmawan ternyata bisa membawa masalah. Seumur-umur, saya tak menyangka jika nama yang bernuansa Arab itu bisa membuat pihak Konjen AS mengeluarkan lembar kuning atau yellow notice usai wawancara Visa. Saya dan teman saya (Abdul Hakim) disuruh menunggu untuk waktu yang tidak jelas kapan beraklhirnya. Saya cukup beruntung karena seminggu sesudahnya, pihak Konjen AS menyatakan pemeriksaan atas data diri saya di Washington telah dinyatakan selesai. Saya dinyatakan layak mengambil Visa. Malangnya, teman Abdul Hakim hingga kini masih menanti kepastian Visa.

lorong panjang Bandara Detroit, AS
Rasa khawatir kian menggerogoti ketenangan ini. Saya dikepung rasa panik yang sesaat telah menghilangkan ketenangan dan kejernihan, sesuatu yang selama ini selalu saya genggam erat-erat. Hari ini, saya mesti menghadapi semua masalah. Apapun yang terjadi, saya mesti berjalan tegak dan menjemput semua masalah. Saya teringat Tuhan. Saya yakin Tuhan sedang menghamparkan satu ujian berat untuk saya jalani. Mungkin inilah jalan yang mesti ditempuh. Mungkin di sinilah kesabaran dan ketenangan saya akan diuji. 

Pesawat mendarat di Detroit. Saya lalu bergerak melewati satu lorong panjang. Di sepanjang lorong tertulis kalau sebentar lagi akan ada pemeriksaan oleh pihak imigrasi Amerika. Saat melintas, beberapa polisi Amerika berseliweran. Banyak di antara mereka yang membawa anjing pelacak dan mengendus tas-tas yang dibawa penunpang. Saya hanya membawa tas kecil. Di sebelah saya, ada seorang mahasiswa asal Jepang yang mengeluarkan map berisi semua dokumen. Kami berbincang. Ia terkejut juga saat mengetahui saya hanya membawa dua dokumen. 

Kami melewati lorong panjang itu hingga akhirnya nampak loket-loket imigrasi. Kami ikut antri. Beberapa penumpang yang memakai jenggot panjang tiba-tiba disuruh masuk ruangan khusus.  Saya lalu menyentuh dagu. Ternyata saya sudah empat hari tidak mencukur jenggot. Saya lihat di kaca kalau wajah saya kian mirip Osama bin Laden. Apakah saya akan diinterogasi dan ditangkap? Saya juga memegang dokumen di tas kecil itu. Tiba-tiba saya teringat semua dokumen yang saya terima di Jakarta. Kemanakah gerangan semua dokumen itu? Mengapa pula saya tidak membawa dokumen-dokumen yang sedemikian penting itu?

***

BAIKLAH. Akan saya kisahkan padamu nasib semua dokumen penting itu. Hari itu, 2 September 2011, saya baru saja tiba di Bandara Soekarno Hatta setelah terbang selama 2 jam dari Makassar. Rencananya, malam itu juga saya akan berangkat ke Amerika lewat Singapura dan Jepang. Saya dalam kondisi yang sangat lelah setelah semalam sebelumnya menyiapkan tas dan perlengkapan.  Saya juga membawa tas koper yang isinya pakaian, serta tas kecil yang isinya dompet berisikan uang dollar serta paspor dan Visa.

Seluruh dokumen penting, saya pindahkan dalam tas ransel yang rencananya akan saya bawa ke manapun.  Seluruh dokumen itu saya bagi dalam dua map besar. Satu adalah ijazah serta kopian, yang nanti akan dipakai saat mendaftar kuliah di Amerika. Satu lagi berisikan semua dokumen dari sponsor beasiswa seperti pernyataan bahwa saya  penerima beasiswa, letter of acceptance (surat pernyataan diterima di Ohio University), lembar asuransi dari Amerika, hasil pemeriksaan kesehatan, serta beberapa dokumen penting lain. Kedua map dokumen itu saya simpan dalam tas ransel bersama baju adat, serta laptop merek Acer.

Tiba di Bandara Soekarno Hatta, saya langsung menuju antrian bagasi. Bandara ini jauh lebih ramai dari biasanya. Saat itu memang lagi puncak-puncaknya arus balik di bandara. Saat menunggu tas koper, saya sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan. Saya harus menghubungi pihak sponsor untuk memberi tahu kondisi terbaru. Saat tas koper saya mendekat, saya lalu menyimpan ransel di trolly. Saya hanya bergerak selama lima menit, namun saat kembali, tas ransel itu telah hilang. 

Sungguh, saya tak mempermasalahkan laptop yang hilang, meskipun di situ banyak naskah saya yangt belum kelar. Saya sedih ketika mengingat nasib semua dokumen penting yang emstinya saya bawa untuk diperlihatkan ke imigrasi. Tahukah kamu betapa paniknya saya saat itu? Saya gelisah dan segera bergerak menuju security bandara. Mereka ikut sibuk dan mencari-cari. Tapi setelah dua jam mencari-cari, hasilnya nihil. Dengan sangat terpaksa, saya lalu meninggalkan bandara dan segera naik bis Damri menuju Gambir, lalu ke satu hotel di Jalan Kramat Sentiong. Tiba di hoel saya kembali gelisah. Saya tak bisa melakukan apapun tanpa dokumen itu. 

Saya lalu menahan taksi dan kembali ke bandara. Dua jam mencari tas, saya akhirnya menyerah. Pencarian juga saya lakukan di halte dan bis Damri. Lelah, saya mengontak dirimu yang sempat marah-marah. Saya juga mengontak pihak sponsor beasiswa (Mbak Nune dan Mas Riki) demi memberitahuakn apa yang terjadi. Kupikir mereka akan marah-marah. Namun di luar dugaanku, mereka tetap tenang. Mbak Nune (semoga Tuhan tak pernah melepaskan genggaman kasih atas dirinya yang amat baik) malah menguatkan semangat serta memberikan motivasi. Katanya, ”Tetap tenang ya. Istigfar. Tenang tenang tenang. Itu terus yang terucap dalam hati dan fokus. Nanti di imigrasi tetap tenang. Urusan dokumen bisa disampaikan ke kantor pusat di New York. Yang penting Mas Yusran tetap tenang.”

Kalimat ini serupa embun sejuk yang menyirami kegelisahan. Di saat bersamaan, dirimu juga telah menemukan ketenangan dan memberikan semangat. Siang itu, saya lalu mengambil tas koper. Saya lalu mengambil tas kecil yang isinya paspor dan Visa. Kemudian langsung menuju bandara untuk siap-siap menuju Singapura. Kali ini, saya ikhlas dengan apapun yang terjadi. Saya tak ingin gagal setelah lebih setahun memimpikan perjalanan ini. Kalaupun gagal, saya ingin gagal tidak sebagai pecundang. Saya mesti menghadapi segala risiko yang terjadi.

*** 

KALI ini saya sudah berada di antrian menuju imigrasi. Saya lihat seorang pemuda asal Timur Tengah digelandang menuju ruang pemeriksaan. Saya mesti tetap tenang dan tidak panik. Batin saya mengingat beberapa doa yang pernah diajarkan. Dalam sepersekian detik, saya teringat ajaran ibu tentang mantra yang bisa melembutkan hati seseorang yang hendak marah pada diri kita. Kami, orang-orang Buton, terbiasa dengan berbagai bacaan serupa mantra. Saya pernah menggunakan mantra ini beberapa kali ketika hendak bertemu orang-orang. Hasilnya sangat efektif. Setiap menggunakan mantra itu, kemarahan bisa dijinakkan menjadi kelembutan. Saya lalu mengutuk diri saya, mengapa mantra  ini tidak saya rapalkan sejak awal? Saya mulai merapal mantra ini dalam hati sambil menatap ke arah petugas imigrasi.

Sahabat asal Jepang itu dipanggil. Ia mengeluarkan map-map berisi dokumen dalam tasnya. Petugas imigrasi lalu menstempel paspor dan memberikan lembaran I-94 sebagai dokumen imigrasi. Saya lalu menanti panggilan. Tiba-tiba saja seorang perempuan bule berambut prang di loket sana –yang memakai baju biru—tiba-tiba memanggil. Inilah waktunya. Saya lalu datang menuju imigrasi.

Dalam bahasa Inggris, ia menanyakan nama serta meminta paspor. Ia membaca nama depan saya Muhammad, lalu menanyakan lembar DS2019. Tanpa saya duga, ia bertanya hal-hal yang tak ada hubungannya dengan kedatangan saya ke Amerika. Ia bertanya apa makna tulisan yang ada di baju kaos yang saya kenakan. Saat itu, saya memakai baju bertuliskan ”Walaupun Saya Buaya, Namun Saya Sudah Tobat dan Menjadi Vegetarian.” Tak mau mengartikan secara panjang, saya hanya menjawab singkat dan sedikit berbohong, ”I’m handsome.” Perempuan itu tersenyum dan kembali menanyakan berapa dollar uang yang saya bawa. Setelah itu ia mempersilakan saya untuk masuk Bandara Detroit. Pemeriksaan selesai.

Saya serasa melangkah di atas awan. Tak sanggup saya lukiskan kegembiraan ini. Saya seperti hendak berlari saking gembiranya. Saya lalu mengambil bagasi, kemudian memasuki Bandara Detroit dan mencari pesawat  yang akan menerbangkan saya ke Colombus, OHIO. Saya telah melampaui satu titik paling krusial dan paling menegangkan dalam hidup. Ternyata, ketenangan serta kejernihan dalam menghadapi sesuatu serupa  benteng yang akan menyelamatkan kita di manapun berada. Ketenangan serta pikiran yang tetap jernih adalah cahaya terang yang membuat langkah tetap fokus dan tidak terpengaruh dengan kekhawatiran yang menjalar hingga nyaris memantek langkah. Saya juga belajar bahwa kesabaran menghadapi sesuatu adalah kunci utama untuk membuka lapis-lapis kehidupan yang penuh tantangan dan penuh onak duri, namun keberanian  laksana pedang tajam yang akan menebas semua masalah di hadapan mata.

Hari ini, saya telah melangkah di Negeri Paman Sam. Saya memasuki kehidupan baru yang penuh dinamika. Dan semoga Yang Maha Menyinari  tak pernah lelah memancarkan cahayanya untuk menerangi semua jalan yang saya lalui. Semoga!


Athens, 3 September 2011

4 komentar:

Ayok Hatma mengatakan...

Mengharukan... Semoga tas-nya kelak bisa ketemu, dan Semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT, kabaraktina tana wolio selalu bersamamu kawan...

mila mengatakan...

Wah...saya ikut deg-degan juga menyimak kisahnya... Moga sukses disana ya, Bang...

Anonim mengatakan...

Kisah mengharukan. Semoga sukses..Dari Ndoke..

Anon Kuncoro mengatakan...

Mantaps pak... bangga dan salut nih... semua kerikil itu bagaikan kalimat "Fa inna ma'al 'usri yusra (Yusran hehehehe)"

Posting Komentar